banner Air dan Konstruksi Kekuasaan (Coretan Filosofi Akar Rumput Jalan Setapak)

Air dan Konstruksi Kekuasaan (Coretan Filosofi Akar Rumput Jalan Setapak)



Suara Numbei News -  Beberapa tahun lalu, dunia sempat dikejutkan oleh sebuah kabar dari ujung selatan benua Afrika. Cape Town, kota metropolitan modern di Afrika Selatan, menghadapi ancaman yang terdengar seperti ramalan kiamat: “Day Zero.” Sebuah hari yang diramalkan sebagai titik nol ketika semua keran di kota itu akan berhenti mengalirkan air.

Warga diberitahu untuk mulai membatasi penggunaan air hanya 50 liter per hari. Itu berarti satu ember air untuk mandi, minum, mencuci, dan memasak.

Sebagian besar keluarga di kawasan perkotaan tidak siap menghadapi kenyataan ini. Ironisnya, masyarakat kelas atas masih bisa mengandalkan borehole dan tanki pribadi. Yang paling menderita? Komunitas miskin di township yang bahkan sebelum krisis pun sudah terbiasa hidup dengan kelangkaan air.

Lalu muncul pertanyaan: bagaimana ini bisa terjadi di kota yang tidak asing dengan infrastruktur modern dan sistem pemerintahan yang relatif stabil?

Jawabannya tidak hanya soal kekeringan atau pertumbuhan populasi. Krisis ini mengundang kita untuk melihat lebih dalam: bagaimana sebenarnya masyarakat, pemerintah, dan dunia memaknai air?

Air dan Politik Identitas di Afrika Selatan

Afrika Selatan adalah negara dengan sejarah ketimpangan struktural yang panjang. Jejak apartheid tidak hanya membekas pada sistem politik dan ekonomi, tetapi juga dalam pola distribusi sumber daya, termasuk air. Ketika “Day Zero” menjadi isu nasional, perdebatan publik menyingkap kembali jurang sosial yang tak pernah sepenuhnya tertutup.

Masyarakat kulit putih di wilayah elit masih bisa menjaga taman mereka tetap hijau, sementara masyarakat kulit hitam di pinggiran kota hanya bisa mengantre air sejak pagi.

Peneliti sosial Steven Robins (2019) menyebutkan bahwa krisis air ini memperjelas bagaimana akses terhadap infrastruktur, termasuk air, sangat dipengaruhi oleh warisan kolonialisme dan apartheid.

Dalam tulisannya di Journal of Southern African Studies, Robins menyatakan bahwa krisis tersebut membuka kembali luka-luka lama yang selama ini ditutupi oleh retorika pembangunan dan transformasi.

Meneropong Krisis Lewat Lensa Konstruktivisme

Kita cenderung terbiasa melihat isu krisis air dari kacamata teknokratis: curah hujan, debit sungai, kapasitas bendungan, atau efisiensi perpipaan. Tapi pendekatan ini hanya menyentuh kulitnya saja.

Di balik kebijakan dan distribusi air, terdapat konstruksi sosial dan politik yang membentuk siapa yang dianggap “berhak” atas air dan siapa yang seharusnya “mengalah.”

Inilah ruang di mana teori konstruktivisme dari ilmu hubungan internasional menawarkan wawasan yang relevan. Alexander Wendt (1992) dalam tulisannya yang berpengaruh, Anarchy is What States Make of It, menekankan bahwa realitas dalam sistem internasional dibentuk melalui interaksi sosial dan konstruksi makna, bukan sekadar kekuatan material.

Jika kita terapkan ini ke dalam konteks Afrika Selatan, maka air bukan lagi dipahami sekadar sebagai sumber daya fisik, tetapi sebagai simbol politik, identitas, dan relasi kuasa.

Ketika negara mendefinisikan air sebagai aset ekonomi yang dapat diatur melalui mekanisme pasar, maka konsekuensinya adalah peminggiran mereka yang tidak mampu membayar. Sebaliknya, bila air dipahami sebagai hak dasar manusia, pendekatannya akan sangat berbeda.

Diplomasi Air dan Identitas Negara

Afrika Selatan juga memiliki peran penting dalam geopolitik air di Afrika bagian selatan. Negara ini terlibat dalam berbagai negosiasi lintas batas terkait pengelolaan sungai seperti Orange, Limpopo, dan Vaal.

Tapi pola negosiasi yang digunakan, menurut Ken Conca (2006) dalam bukunya Governing Water, masih terjebak dalam logika kedaulatan dan kontrol teritorial. Air lebih sering dilihat sebagai alat negosiasi antarnegara, bukan sebagai kepentingan bersama yang lintas batas.

Konstruktivisme menilai bahwa sikap suatu negara dalam isu lintas batas sangat dipengaruhi oleh bagaimana negara itu membentuk identitasnya sendiri.

Afrika Selatan, dalam banyak kesempatan, berusaha menunjukkan dirinya sebagai kekuatan regional yang mandiri dan dominan. Sayangnya, narasi ini justru sedikitnya mempersempit ruang kolaborasi dan solidaritas antarnegara dalam hal pengelolaan air bersama.

Infrastruktur Penting, Tapi Tak Cukup

Kita tidak sedang menafikan pentingnya infrastruktur. Desalinasi, bendungan, sistem perpipaan, dan pelatihan manajemen air tetap sangat krusial.

Namun, seperti yang dikatakan Mike Muller (2018) dalam tulisannya di Nature, membangun infrastruktur tanpa mengubah cara pandang terhadap air hanya akan menciptakan solusi jangka pendek. Tanpa perubahan nilai dan kebijakan yang lebih adil, krisis akan datang kembali dan mungkin dengan nama lain, atau di tempat lain.

Pelajaran Global, Dari Cape Town ke Jakarta, dari Sungai Orange ke Sungai Citarum

Kita tidak bisa menganggap ini hanya sebagai “masalah Afrika.” Banyak kota besar di dunia sedang berjalan di jalur yang sama. Di Jakarta, kita menghadapi ancaman penurunan permukaan tanah dan pencemaran air. Di Meksiko City, sistem airnya sudah tidak seimbang selama puluhan tahun. Di beberapa kota di India, air tanah telah habis digali sampai ratusan meter.

Semua ini menunjukkan bahwa kita perlu membongkar ulang cara kita membingkai air dalam kebijakan. Kita harus mengganti narasi dari “kelangkaan” menjadi “ketimpangan.”

Kita harus mulai menyadari bahwa air bukan hanya soal efisiensi teknis, tetapi juga tentang siapa yang memegang kontrol, siapa yang dikorbankan, dan bagaimana masyarakat diberi ruang untuk mengelola sumber daya secara kolektif.

Air Sebagai Cermin Relasi Sosial

Ketika kita menyalakan keran hari ini, mungkin air masih mengalir deras. Tapi krisis tidak selalu datang dalam bentuk banjir atau kekeringan. Kadang ia datang perlahan, menyusup lewat kebijakan yang tidak adil, lewat kontrak privatisasi yang tidak transparan, lewat pembiaran terhadap komunitas yang selalu berada di pinggiran distribusi.

Teori konstruktivisme memberi kita satu pelajaran penting: untuk mengubah kenyataan, kita harus mengubah cara kita membentuk makna. Dan untuk membentuk makna baru tentang air, kita harus mulai dengan satu kesadaran: bahwa air bukan komoditas, bukan alat politik, tapi warisan kolektif yang harus dijaga bersama. *** 



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama