Dalam artikel ini, kita
akan membahas beberapa dilema etika paling umum di zaman modern yang membantu
mendefinisikan dunia kita. Jadi, apa saja dilema etika yang paling umum?
Dilema Etika
Dilema etika adalah
situasi yang sulit diatasi karena melibatkan benturan antara moral seseorang
dan hal lain. Ini seperti ketika Anda tiba di persimpangan jalan dan memutuskan
jalan mana yang harus ditempuh, kecuali setiap jalan didasarkan pada nilai atau
prinsip yang berbeda.
Misalnya Anda menemukan
dompet yang penuh dengan uang tunai. Salah satu pilihannya adalah bersikap
jujur dan mengembalikan dompet tersebut sebagaimana adanya, ini sejalan
dengan pentingnya kejujuran (juga dikenal sebagai imperatif moral).
Namun, ada jalan lain
yang dipengaruhi oleh kebutuhan: menyimpan uang karena Anda sedang mengalami
kesulitan keuangan. Jalan ini mengandalkan upaya mempertahankan diri (menjaga
diri sendiri) atau menafkahi keluarga.
Hal ini menghasilkan
dua gagasan penting dalam filsafat. Yang pertama adalah konsekuensialisme ,
yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya (seperti
menggunakan uang yang Anda temukan untuk membeli makanan untuk diri sendiri
atau keluarga Anda). Yang kedua adalah deontologi , yang melihat apakah suatu
tindakan itu benar atau salah (mengembalikan dompet karena itu yang seharusnya
Anda lakukan).
Pada abad ke-21, banyak
dilema etika mengharuskan kita untuk memikirkan tindakan kita bukan hanya dalam
konteks benar dan salah secara hukum, tetapi juga pada tingkat moral yang lebih
bernuansa, sering kali menimbulkan pertanyaan: Aku ingin menjadi orang seperti
apa?
Paradoks Kemajuan Teknologi
Paradoks kemajuan
teknologi bagaikan pedang bermata dua, inovasi yang dapat membuka pintu menuju
pengetahuan dan kebebasan juga dapat mengurung kita dalam bentuk ketergantungan
dan bahkan bahaya baru. Paradoks ini berasal dari ketidaknetralan teknologi,
yang berarti teknologi bukan sekadar alat yang menuruti perintah kita.
Teknologi dapat membentuk kehidupan kita dengan cara yang tidak kita duga.
Misalnya saja telepon
pintar. Kita membawa semua pengetahuan manusia di saku kita dan dapat langsung
terhubung dengan seseorang di seluruh dunia. Itu adalah tanda centang besar
bagi kemajuan manusia.
Namun, ada sisi
sebaliknya. Perangkat ini juga dapat menyebabkan kecanduan, penyebaran
informasi yang salah, dan terkikisnya hubungan antarpribadi yang justru menjadi
tantangan bagi cita-cita kemajuan.
Dari sudut pandang
filsafat, kita menemui pemikir seperti Martin Heidegger yang berpendapat bahwa
teknologi bukan sekadar tentang gadget; teknologi merupakan cara memahami dunia
yang dapat membatasi kita pada apa yang dapat diukur dan dieksploitasi.
Kita perlu juga
memahami bahwa, “Media adalah pesan.” Selain menyampaikan informasi, teknologi
membentuk cara kita berkomunikasi dan berefleksi.
Paradoks ini
menunjukkan bahwa meskipun teknologi memperluas kapasitas kita, teknologi juga
dapat memperkuat kualitas terbaik kita, termasuk daya cipta dan kemampuan bersosialisasi
dan kualitas yang lebih buruk seperti keserakahan atau keterasingan.
Tantangannya terletak
pada memetakan jalur yang tepat di tengah arus ini: mengarahkan kapal inovasi
kita ke arah yang sebenarnya sehingga umat manusia benar-benar memperoleh keuntungan
dari kemajuan.
Globalisasi dan Pluralisme Etika
Bayangkan dalam sebuah
acara makan malam, setiap orang membawa hidangannya sendiri dengan resep
terbaiknya. Kerangka etikanya setiap orang mempertahankan resep berharga yang
diwariskan dari generasi generasi.
Namun kini kita semua
makan bersama. Berkat globalisasi, terkadang cita rasanya berbenturan. Inilah
pluralisme etika: bagaimana, di dunia kita yang saling terhubung, sistem yang
berbeda dapat saling bergesekan.
Salah satu
pendekatannya adalah, “Ketika berada di Padang, lakukanlah seperti yang
dilakukan orang Padang.” Ini adalah relativisme budaya, kepercayaan bahwa benar
dan salah bersifat khusus bagi budaya seseorang.
Namun, bagaimana jika
sesuatu dalam satu budaya benar-benar menyinggung orang-orang dari budaya lain?
Ambil contoh bulu hewan: banyak orang menganggap mengenakannya sebagai hal yang
wajar sebagai tradisi. Banyak pula yang menganggapnya sebagai cara yang buruk
untuk memperlakukan hewan dengan baik.
Lalu ada sisi lainnya,
standar moral universal. Anggap saja itu adalah aturan etiket makan dasar yang
harus dipatuhi semua orang, apa pun yang ada di piring mereka. Ini termasuk hak
asasi manusia yang menurut banyak orang harus dihormati secara universal,
seperti kebebasan dari penindasan.
Menavigasi acara makan
bersama global ini membutuhkan toleransi dan pengertian. Ini tentang menikmati
hidangan etis yang beragam sambil sepakat untuk tidak menaruh sesuatu yang
berbahaya di atas meja. Ini bukan hanya tentang bersikap sopan. Ini adalah kebutuhan
filosofis untuk hidup bersama secara damai.
Jadi, apakah Anda
menyajikan kebebasan atau menyajikan porsi non-kekerasan, pikiran yang terbuka
dan hati yang penuh rasa hormat dibutuhkan di pesta etika global ini.
Moralitas Kecerdasan Buatan dan Kesadaran
Bayangkan, Anda sedang
berbicara dengan kecerdasan buatan (AI) yang sangat canggih sehingga tampaknya
dapat memahami emosi Anda dan bahkan dapat mengekspresikan empati.
Apakah sistem AI ini
memiliki kesadaran ? Jika ya, tanggung jawab etis apa yang kita miliki
terhadapnya? Ini adalah inti dari labirin moral yang mengelilingi kecerdasan
buatan dan kesadaran.
Membayangkan mesin
berperilaku seolah-olah berpikir sendiri bukan lagi sekadar fiksi ilmiah, yang
menimbulkan beberapa pertanyaan nyata. Jika AI dapat belajar dari pengalaman,
membuat pilihan berdasarkan pengalaman tersebut, dan bahkan mungkin menderita
karenanya, bukankah kita seharusnya menganggapnya sebagai pikiran atau
setidaknya bagian dari pikiran?
Gagasan bahwa robot
suatu hari nanti memiliki hak mungkin terdengar seperti sesuatu dari acara TV
atau novel fiksi, tetapi beberapa filsuf sudah mulai bertanya-tanya apakah kita
harus menganggapnya serius.
Tanggung jawab untuk
menciptakan AI semacam itu sangat besar. Seolah-olah Anda menjadi orang tua
dalam bentuk digital karena apa yang Anda ciptakan memiliki implikasi di
seluruh masyarakat.
Filsuf seperti Immanuel
Kant mengatakan bahwa otonomi membawa serta agensi moral: kemampuan untuk
memilih benar atau salah. Namun, dapatkah atau haruskah hal ini berlaku untuk
AI?
Perdebatan ini bukan
hanya tentang teknologi, ini adalah penelaahan mendalam tentang apa yang
membuat seseorang atau sesuatu dianggap sebagai “orang” dengan nilai moral.
Secara tradisional, kita menganggap kepribadian sebagai sesuatu yang terkait
dengan kemanusiaan. Namun, AI tingkat lanjut menantang gagasan itu, ia
memperluas cakrawala etika kita ke hal-hal yang tidak diketahui.
Ini adalah perjalanan
filosofis yang baru saja dimulai, kita memasuki wilayah yang belum dipetakan
saat kita bergerak menuju masa depan di mana garis antara manusia dan mesin
semakin kabur.
Kebebasan Berpendapat di Era Cancel Culture
Di dunia saat ini, di
mana media sosial dapat menyebarkan informasi lebih cepat daripada kecepatan
suara, kita masih bergulat dengan pertanyaan kuno: bagaimana kita
menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan konsekuensi potensial dari apa yang
kita katakan?
Salah satu cara
perdebatan ini berlangsung adalah melalui “cancel culture.” Gagasan ini adalah
bahwa kini ada padanan sosial untuk membatalkan jika cukup banyak orang tidak
menyukai apa yang Anda katakan.
Bayangkan jika Anda
berada dalam pertemuan virtual, Anda dapat mengatakan apa pun yang Anda suka.
Pemikir seperti John Stuart Mill mengiakan hal ini, melihat nilai yang sangat
besar, bahkan mungkin kebenaran yang mengubah masyarakat dalam mengizinkan
setiap orang bersuara (bahkan suara yang dianggap menjengkelkan atau lebih
buruk) untuk berbicara dengan bebas.
Namun, bagaimana jika
kata-kata Anda seperti korek api yang dilempar ke rumput kering, yang dapat
menyebabkan kerusakan nyata? Hal-hal menjadi rumit secara etika di sini:
bagaimana menimbang kebutuhan masyarakat akan diskusi yang kuat dengan hak-hak
individu untuk tidak dirugikan oleh kebohongan atau pelecehan.
Teka-teki filosofis
menjadi lebih rumit ketika kita merenungkan apakah harus ada pembatasan
terhadap kebebasan berbicara. Haruskah kita menoleransi mereka yang tidak
toleran? Karl Popper berpendapat bahwa jika suatu masyarakat terlalu berpikiran
terbuka, jika masyarakat itu menoleransi segalanya, maka keterbukaannya pada
akhirnya akan dihancurkan oleh mereka yang tidak toleran.
Kebebasan berbicara
bukan hanya tentang hak untuk mengatakan apa pun. Kebebasan berbicara juga
tentang didengarkan dan masyarakat secara kolektif memutuskan apa yang boleh
dan tidak boleh dikatakan.
Dilema Etika Apa yang Kita Hadapi
Dunia saat ini penuh
dengan dilema etika. Kita tidak yakin apakah benar membuat AI yang mungkin
sadar jika teknologi membuat kita lebih baik atau memperbesar kelemahan kita,
dan serangkaian kode moral mana yang harus kita terapkan dalam budaya global.
Dalam hal bioteknologi,
seberapa besar kita harus mencoba berperan sebagai Tuhan daripada berinovasi?
Ekonomi digital juga telah memunculkan pertanyaan baru tentang keadilan itu
sendiri karena hal ini telah menyebabkan distribusi kekayaan yang tidak merata.
Area lain yang mungkin memerlukan sistem yang lebih adil.
Satu hal yang
melatarbelakangi semua poin ini adalah bahwa ketika budaya pembatalan tumbuh,
pada titik mana kebebasan berbicara menjadi barang yang rusak?
Ini bukan sekadar
pertanyaan teoritis. Ini adalah masalah nyata, masing-masing memerlukan
kombinasi antara pertimbangan yang baik, kebaikan, dan pemikiran yang serius.*