Berangkat dari
negara-kota (polis) Athena pada abad ke-5 SM, demokrasi dijalankan secara
langsung oleh warga negara laki-laki bebas. Mereka berkumpul di Agora untuk
mengambil keputusan publik secara kolektif. Aristoteles, dalam Politics,
menggambarkan politik sebagai bagian dari kehidupan etis: warga bukan sekadar
subjek hukum, tapi pelaku aktif dalam menentukan arah kota (polis). Namun,
demokrasi langsung juga menuai kritik. Plato, dalam Republic, menganggap
demokrasi rentan dikuasai oleh orator populis yang membingungkan antara opini
dan pengetahuan. Ia menganjurkan konsep “filsuf-raja” yang memerintah dengan
kebijaksanaan. Kritik ini menjadi fondasi awal kegelisahan terhadap bentuk
keterwakilan massa.
Seiring tumbuhnya
negara-bangsa dan populasi yang meluas, demokrasi langsung menjadi tidak
praktis. Hal ini sejalan dengan lahirnya era modern ditandai oleh runtuhnya
otoritas absolut monarki dan gereja, bangkitnya rasionalitas dan
individualisme, serta munculnya revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Prancis
(1789) dan Revolusi Amerika (1776). Di tengah pergolakan ini, lahirlah
kebutuhan akan bentuk pemerintahan baru yang berbasis pada kehendak rakyat,
namun realistis secara teknis—maka diperkenalkanlah demokrasi representatif,
sebuah inovasi politik modern yang tumbuh dari pemikir abad modern.
Dimulai dari Hobbes
dari anggapan bahwa dalam “keadaan alamiah”, manusia saling bermusuhan (homo
homini lupus), maka urgensinya membuat kontrak sosial dan menyerahkan
kedaulatan kepada penguasa tunggal (Leviathan). Locke kemudian menawarkan versi
lebih liberal, dimana kontrak sosial memberi rakyat hak untuk memilih pemimpin,
dan apabila pemimpin menyimpang dari kehendak rakyat, mereka berhak
menggantinya. Ia meletakkan dasar penting bagi legitimasi perwakilan politik,
terutama melalui pemilu (Two Treatises of Government, 1689). Namun,
Rousseau—meski menjadi ikon demokrasi modern—sebenarnya sangat kritis terhadap
representasi. Dalam The Social Contract (1762), ia menyatakan: “Sovereignty
cannot be represented”. Bagi Rousseau, perwakilan adalah bentuk alienasi
kehendak rakyat; demokrasi yang sejati harus bersifat partisipatif. Dan seakan
ingin mengulang ‘kejayaan’ politik di era klasik Yunani, Rousseau sangat kritis
terhadap perwakilan. Baginya, kedaulatan tidak bisa diwakilkan. Representasi
adalah bentuk pengkhianatan terhadap kehendak umum (volonté générale).
Demokrasi, menurutnya, harus bersifat partisipatif langsung. Namun gagasan ini
terbentur realitas praktis di negara modern yang besar dan kompleks.
Perdebatan itu membawa
pada salah satu kontribusi terpenting di abad modern ini yaitu politik modern
yang meletakkan sistem politik secara prosedural melalui pemilu berkala,
kebebasan berpartai, rotasi kekuasaan, dan institusi hukum yang netral.
Sebagaimana Joseph Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942),
bahwa demokrasi sebagai “metode institusional untuk mencapai keputusan politik
melalui kompetisi terbuka untuk memperoleh suara rakyat.” Dengan kata lain,
demokrasi hanyalah mekanisme elektoral. Hal ini diperkuat oleh Dahl dalam Who
Governs? (1961) bahwa demokrasi modern dijalankan melalui kompetisi antar
kelompok kepentingan dalam sistem pluralis hanya bisa di selesaikan melalui
representasi bersifat tidak langsung. Namun kondisi 'keteraturan' ini bukannya
tanpa celah, justru sistem politik tengah dan terus mengalami distorsi di era
kontemporer.
Kritik Representasi Modern dan Demokrasi Prosedural
Adalah C. Wright Mills,
dalam The Power Elite (1956) yang menyebut bahwa demokrasi hanya ilusi, karena
struktur kekuasaan sejatinya tersentralisasi. Kritik ini menunjukkan adanya
potret kekuasaan terpusat di tangan elit ekonomi, militer, dan politik—yang
saling bertaut dan membentuk “sirkuit kekuasaan” yang tidak tersentuh oleh
kehendak rakyat biasa. Bahwa dalam praktiknya, perwakilan politik dikendalikan
oleh elite kecil (oligarki) yang memiliki akses terhadap kekuasaan ekonomi,
militer, dan media. Pemerintah yang terpilih justru sering kali lebih dekat
dengan elit dan penguasa modal ketimbang dengan rakyat telah memilih mereka.
Dalam konteks ini,
rakyat merasa bahwa para wakil yang dipilih secara demokratis tidak lagi
benar-benar mewakili kepentingan, suara, atau aspirasi mereka. Kondisi yang
menjadi perhatian serius Robert Michels yang mengembangkan teori “Hukum Besi
Oligarki” (iron law of oligarchy) bahwa organisasi yang paling demokratis
sekalipun akan dikuasai oleh segelintir elit. Krisis representasi politik ini
yang kemudian memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga perwakilan
apapun, seperti parlemen, eksekutif dan lain-lain. Di dalam situasi itu, Katz,
R. & Mair, P (1995) pun menyebutkan kecenderungan partai politik pun
menjadi kartel kekuasaan, bukan agen aspirasi rakyat.
Konstelasi ini
sejatinya telah dibaca oleh para pemikir postmodern dengan kritik tajam
terhadap struktur perwakilan konvensional yang bersifat rasional,
institusional, dan prosedural—dimediasi oleh lembaga formal seperti parlemen,
partai, dan pemilu. Model representasi modern yang berbasis pada mandat dan
delegasi dipandang terlalu mekanistik, mengasumsikan bahwa wakil dapat
“mengangkut” kehendak rakyat secara utuh. Misalnya, wacana “suara rakyat”,
“generasi muda” dan segala terminologi politik identitas lainnya yang sering
kali dikapitalisasi oleh elitis yang mengklaim berbicara atas nama rakyat,
generasi muda dan atribut etnosentrisme lainnya. Dialektika wacana itu yang
menarik pemikir sekaliber Laclau dan Mouffe dalam buku Hegemony and Socialist
Strategy menggagas “representasi hegemonik”: tak ada representasi yang absolut,
semua bersifat sementara, dibentuk melalui perjuangan diskursif. Baginya,
politik adalah arena kontestasi makna, bukan hanya agregasi preferensi.
Di tangan aktor-aktor
haluan postmodern, mereka menggugat fondasi-fondasi “formal-prosedural” yang
dianggap membonsai sekaligus mendegradasi realitas sosial dan politik yang
plural. Jacques Derrida (1976), sebagai aktor utama dekonstruksi menolak klaim
netralitas representasi. Baginya, setiap representasi adalah interpretasi,
bukan cermin dari realitas objektif. Lebih jauh, representasi politik bukanlah
refleksi realitas sosial, tetapi konstruksi yang selalu bersifat parsial dan
eksklusif. Lalu Michael Foucault (1980) dalam analisa diskursus, menunjukkan
bahwa representasi adalah efek dari relasi kuasa untuk mengklasifikasikan,
mendefinisikan, dan membungkam. Siapa yang disebut 'masyarakat miskin',
misalnya, menjadi sangat politis sebagai komodifikasi representasi politik.
Chantal Mouffe, dalam
The Democratic Paradox (2000) memandang perwakilan tidak lagi dipandang sebagai
hubungan langsung antara wakil dan yang diwakili, tetapi sebagai konstruksi
diskursif yang sarat kekuasaan dan bias identitas. Sementara itu, Jacques
Rancière dalam Hatred of Democracy (2005) juga mengingatkan bahwa demokrasi
sejati tidak terletak pada lembaga-lembaga, tetapi ketika yang “tak terlihat”
dan “tak terwakili”—kaum miskin, minoritas, pekerja informal— untuk dapat
terlibat di ruang publik. Sistem yang justru abai terhadap situasi kompleksitas
itulah menjadi titik krusial ketidakpuasan rakyat terhadap perwakilan politik
modern.
Sejatinya kritik
postmodern terhadap demokrasi representatif bukan berarti menyerukan anarki,
melainkan mengajak kita merenungi kembali cara kita menyusun institusi politik.
Kembali pada persoalan mendasar; mengapa para wakil rakyat dan pemerintah yang
terpilih melalui pemilu belum mampu mewakili kepentingan rakyat, alih-alih kaum
minoritas dan tertindas ? Sebaliknya, mereka (pemerintah) justru sering
berkoalisi dengan elit-elit politik dan pemodal yang sehingga potret pasca
pemilu selalu menghadirkan ketidakpuasan publik yang terekam melalui aksi-aksi
demonstrasi dan lain-lain sebagai instrumen kritik publik, yang acapkali
kemudian kritik terhadap representasi formal (hasil pemilu) terekam melalui
aksi-aksi demonstrasi yang diagregatori oleh aktivis lingkungan, kelompok
mahasiswa, pegiat demokrasi dan berbagai elemen NGO (Non Government Organization)
lainnya.
Maka membaca aksi-aksi
massa tersebut pengejawantahan dari bentuk representasi baru seperti Black
Lives Matter, Gerakan Rompi Kuning di Prancis, Gerakan Petani dan Adat di
Zapatista - Meksiko, aksi Indonesia Gelap di Indonesia hingga komunitas akar
rumput di berbagai belahan dunia lainnya yang menunjukkan bahwa politik tidak
hanya hidup di “ruang-ruang formal” gedung parlemen, regulasi dan kebijakan
pemerintah, tetapi melalui dialektika politik rakyat yang merespon setiap
perilaku dan wacana pemerintah di jalanan, di media sosial, bahkan dalam
ekspresi budaya.
Tantangan berikutnya,
dengan kehadiran teknologi digital, muncul bentuk-bentuk perwakilan alternatif:
petisi daring, forum partisipatif, dan platform deliberatif berbasis komunitas
sampai fenomena buzzer. Seperti yang dikritisi oleh Shoshana Zuboff dalam The
Age of Surveillance Capitalism (2019), teknologi juga membawa ancaman
baru—pengawasan, manipulasi algoritmik, akrobatik statistik dan pembentukan
opini publik yang tidak organik.
Sebagai penutup,
tulisan ini sejatinya membawa pada permulaan diskursus bahwa perwakilan politik
hari ini harus ditinjau ulang: bukan terjebak pada demokrasi prosedural dan
institusi formal, tetapi bagaimana ruang-ruang perwakilan itu berawal dari
proses sosial yang tumbuh dalam dinamika diskursif dan praksis keseharian
warga. Melalui deliberasi dan forum politik warga, misalnya, kemudian terbuka
ruang bagi dialektika ide serta wacana kebijakan—sebuah manifestasi konkret
dari bekerjanya ruang perwakilan politik yang melahirkan wajah dan ide politik
representatif dalam merumuskan masa depannya sendiri—melalui ekspresi,
perlawanan, solidaritas, dan kebersamaan dalam ruang publik yang setara. Di
sanalah politik menemukan kembali jiwanya, tidak terbelenggu dalam kontak
pandora formalitas, tetapi dalam kehidupan bersama yang terus bergerak dan
berubah.