Kota menyimpan apa yang
terlihat dan tersembunyi seen dan unseen. Bagi seorang planolog
kota adalah sebuah keteraturan yang ideal karena itu mesti ditata dengan sebuah
perspektif tertentu. Namun pada dasarnya, kota adalah sebuah cerminan
fenomenologis dengan segala aspek di dalamnya.
Dalam kacamata Marxis,
kota adalah sebuah representasi kelas. Relasi yang dibangun di dalamnya adalah
relasi kekuasaan. Represi dan ekslusi berjalan sekaligus. Barometernya adalah
profesionalisme dan integritas pasar. Apapun itu, kota selalu berwajah ganda.
Di setiap sudut metropolitan selalu ada kisah dari mereka yang terpinggirkan.
Kota tetaplah kota
sebagaimana diingat banyak orang. Ia merupakan sesuatu yang tak terdefinisikan.
Batas-batas kebudayaan dan moral di kota selalu terdekonstruksi (Geertz) atau
ter-deteritorialisasi. Inilah sebuah proses yang telah melahirkan privatisasi
berbagai praktik sosial dengan pemaknaan berbeda dengan konteks yang general.
Alhasil Identitas parsial terleburkan ke dalam bentuk yang univerasal. Meski
yang universal itu pun tak selalu bisa diukur selain berupa kecendrungan yang
dipaksakan. Sebab yang universal sendiri tetap problematis, setidaknya bagi
kaum postmodernisme. Entahkah universalisme itu mungkin, mengingat kita selalu
berbeda dalam beberapa hal?
Kota tak pernah bisa
memberikan lokasi yang tepat atas keberadaan kita. Kota tentu menakjubkan,
dipandang dan berfoto selfie. Di balik kemegahannya, ia selalu ambigu, ia
selalu menyembunyikan sesuatu. Keajaibanynya membutakan. Tetapi seorang, pelacur
seperti Aminah dalam novel Pramudia Anantatur tahu bahwa di dalam kota ada
kekuasaan, represi dan eksklusi. Dari subjektivitas yang dalam ia menatap kota
dari lorong yang asing.*