Bisa jadi, ada
pihak-pihak yang kurang bisa enjoy dengan diksi ini. Menurut versi pembacaan
mereka, ini ada indikator pemunculan bibit-bibit keputusasaan. Ada semacam
pengenduran tekad.
Kebanyakan kaum muda
dengan jiwa perlawanan frontal yang bergejolak di dada, cenderung tidak puas
dengan diksi "berdamai" itu. Mereka memandang pilihan kata ini lebih
dekat dengan sikap menyerah. Lembek.
Meradang Menerjang
Mereka menginginkan
diksi yang lebih meradang menerjang. Menghadapi ujian kehidupan itu dengan dada
terkembang lebar. Menegakkan perlawanan dengan cara yang seterhormat-hormatnya.
Ini persoalan yang
terkait dengan harga diri. Tidak bisa melempar handuk putih di kala hitungan
ronde laga tinju menghadapi ujian kehidupan belum mencapai titik perlawanan
pamungkas.
Saya bisa memahami
nalar berpikir para kaum muda di atas. Seperti halnya saya pun bisa memahami,
mereka yang memilih diksi "berdamai" dalam menghadapi ujian kehidupan
yang pelik.
Dan, kaum tua biasanya
(meski selalu saja ada celah pengecualian) akan memiliki naluri kooperatif yang
sedemikian kuat. "Berdamai" di mata mereka, lazimnya tidak harus
mendapat interpretasi sebagai sikap menyerah.
Para kaum tua itu
cenderung berpegang pada pandangan, ada jenis perlawanan yang tidak harus
dilakukan secara frontal. Tidak harus terucapkan dengan gegap gempita respons.
Tidak harus mempanglimakan kegagahberanian fisik.
Perlawanan Moderat
Ada juga perlawanan
yang memberi ruang bagi kompromi-kompromi. Boleh jadi perlawanan moderat itu
setara dengan perjuangan melalui jalur diplomasi pada saat para pendiri negeri
ini berjuang melawan pendudukan Jepang.
Serta, melawan segenap
upaya Belanda mencengkeramkan kembali kuku-kuku kekuasaannya di Tanah Persada
Nusantara. Itu terjadi pada tahun-tahun awal setelah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
Sementara itu, kaum
muda dan para milisi bekas tentara KNIL warisan Belanda serta tentara Peta
warisan Jepang lebih mengapresiasi perjuangan di jalur penggunaan cara-cara
dengan kontak senjata.
Bahkan, untuk penentuan
waktu proklamasi kemerdekaan pun agar tidak terkesan sebagai hadiah dari
Jepang, kalangan pemuda dengan penuh semangat mendesak Bung Karno dan Bung
Hatta (representasi kaum tua) lewat momen penculikan keduanya ke
Rengasdengklok.
Prioritas Relevansi
Pada hemat saya, memang
perlu ada perlawanan untuk menghadapi setiap ujian kehidupan. Hanya cara
mengekspresikan perlawanan itu bisa terealisasikan lewat dua pilihan jalur.
Jalur pertama, setara
dengan mereka yang menetapkan pilihan untuk melawan dengan kontak senjata.
Jalur kedua, setara dengan mereka yang memilih wahana diplomasi untuk mencapai
tujuan lebih hakiki. Bukan sekadar kemenangan dalam “pertempuran”, melainkan
kemenangan dalam “peperangan”.
Bagi pemeluk jalur
kedua ini, sikap berkompromi dengan keadaan yang telah terjadi merupakan uluran
nalar yang lebih masuk akal sebagai tarekat yang mesti terjalani. Retorika
"berdamai" lantas menjadi diksi yang lebih ramah terhadap akal sehat.
Bagi saya, kedua jalur
itu memang seharusnya ada dalam skenario pertarungan dalam setiap upaya
seseorang ketika menghadapi ujian kehidupan. Keduanya bisa diterapkan sesuai
dengan prioritas relevansinya. ***