Kemiskinan struktural,
sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim, merupakan keadaan di mana seseorang
terperangkap dalam kondisi sosial dan ekonomi yang tidak memberikan ruang bagi
individu untuk memilih tindakan yang lebih "ideal" secara sosial.
Bagi banyak orang di lapisan bawah, kemiskinan bukan sekadar kekurangan materi,
tetapi juga kekurangan akses terhadap sistem hukum yang adil, pendidikan, atau
bahkan kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka. Ketika seorang perempuan tua
terpaksa mencuri untuk bertahan hidup, kita harus mempertanyakan apakah sistem
yang ada masih mampu memberikan jalan keluar yang memadai bagi mereka yang
terpinggirkan.
Di sisi lain, kita juga
menyaksikan kejadian yang semestinya lebih mengejutkan, namun menjadi biasa
bagi mereka yang berada di puncak hierarki sosial. Seorang mantan direktur
perusahaan negara yang terlibat dalam skandal korupsi dengan kerugian negara
yang sangat besar, divonis dengan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan
jaksa. Vonis yang jauh lebih rendah daripada yang diharapkan menunjukkan
ketimpangan lain dalam penerapan hukum. Meskipun hukum kita seharusnya berlaku
setara, kenyataannya, mereka yang memiliki kekuasaan atau akses ke sumber daya
sering kali dapat mempengaruhi jalannya proses hukum.
Dari kacamata Weber,
kekuasaan bukan hanya soal siapa yang paling kuat, tetapi juga siapa yang
memiliki kemampuan untuk memengaruhi struktur dan proses sosial. Dalam kasus
ini, mereka yang berada di puncak kekuasaan sering kali memiliki "otoritas
yang sah" yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan perlakuan yang
berbeda, meskipun tindakannya merugikan banyak pihak. Ketidaksetaraan dalam
penegakan hukum ini semakin menebalkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
sistem yang seharusnya melayani kepentingan umum.
Ada lagi, baru-baru ini
kita kembali disuguhkan dengan berita kontroversial yang melibatkan seorang
mantan presiden. Meski sudah tidak menjabat, ia tetap menyedot energi, emosi
dan perhatian publik dengan melaporkan lima orang—termasuk akademisi dan
aktivis—ke polisi, dengan tuduhan menyebarkan fitnah terkait ijazah palsunya.
Aksi ini tidak hanya memperpanjang kontroversi, tetapi juga menunjukkan
bagaimana elit politik terkadang lebih sibuk dengan urusan pribadi yang tidak
relevan, ketimbang memusatkan perhatian pada permasalahan yang lebih penting
bagi masyarakat luas.
Bourdeau dalam
pikirannya soal habitus menjelaskan bahwa para elit sosial sering kali berupaya
untuk terus-menerus mempertahankan gaya hidup dan cara pandang mereka yang
terbentuk selama berada di posisi kekuasaan. Mereka acap kali gagal melihat
dunia di luar lingkaran mereka, dan lebih cenderung untuk memperpanjang narasi
yang mereka kenal—sebuah pola yang terus berulang meski sudah tidak lagi
relevan. Dalam konteks ini, tindakan melaporkan orang lain atas isu-isu pribadi
menjadi semacam pengalihan perhatian dari masalah sosial yang lebih besar dan
lebih mendesak.
Ketimpangan ini
memperlihatkan dua dunia yang sangat berbeda. Di satu sisi, kita melihat mereka
yang hidup dalam kemiskinan yang terperangkap dalam ketidakadilan struktural
dan ketidakhadiran negara, sementara di sisi lain, mereka yang memiliki
kekuasaan menikmati perlakuan istimewa dalam banyak hal, termasuk dalam
penegakan hukum. Ketika rakyat kecil dihukum dengan keras karena berbuat
kesalahan kecil untuk bertahan hidup, sementara yang berkuasa bisa lolos dari
jeratan hukum meskipun melakukan kejahatan besar, maka kita harus mulai
bertanya—apakah sistem kita masih berjalan sesuai dengan prinsip keadilan
sosial yang seharusnya?
Apa yang kita hadapi
adalah ketimpangan yang telah lama berakar dalam masyarakat. Kita tidak hanya
berbicara tentang kegagalan dalam penegakan hukum, tetapi juga tentang
ketidakmampuan sistem untuk melihat dan menangani perbedaan yang mendalam ini.
Sebagai masyarakat, kita perlu mulai menyadari bahwa ketimpangan sosial ini
bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja. Kita memerlukan pendekatan
yang lebih manusiawi, yang tidak hanya melihat kesalahan dari satu perspektif,
tetapi memahami mengapa kesalahan itu terjadi, dan bagaimana kita dapat
menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil.
Sebagai penutup, kita
perlu mengingat bahwa keadilan sosial bukanlah sebuah konsep abstrak. Ini
adalah prinsip yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
ada yang lebih penting daripada menciptakan sebuah sistem yang memberikan
perlakuan yang adil bagi semua lapisan masyarakat, tanpa membedakan status
sosial, kekayaan, atau kekuasaan. Itulah yang akan membawa kita pada masyarakat
yang lebih sejahtera dan berkeadilan.
Namun, untuk mewujudkan
hal itu, dibutuhkan lebih dari sekadar perbaikan pada sistem hukum. Yang paling
penting adalah keberanian masyarakat untuk berjuang demi kesetaraan dan
keadilan sosial. Tanpa keberanian ini, ketidakadilan akan terus berlarut-larut,
dan sistem yang tidak berpihak pada rakyat akan terus memperpanjang
ketimpangan. Maka, sudah saatnya kita semua, sebagai bagian dari masyarakat,
berdiri bersama, bersuara, dan memastikan bahwa setiap individu, tanpa
terkecuali, diperlakukan secara adil. Hanya dengan begitu kita bisa menciptakan
perubahan yang nyata, untuk masa depan yang lebih baik dan lebih berkeadilan
bagi bangsa ini.