Mereka bukan sekadar
pengisi lanskap urban yang penuh sesak. Mereka adalah denyut nadi ekonomi
rakyat yang nyata, yang selama ini menopang kehidupan banyak keluarga di
Indonesia. Namun, dalam narasi besar pembangunan yang terus dilantangkan
pemerintah, suara mereka perlahan menghilang. Seolah hanya gema samar di tengah
gegap gempita ambisi kekuasaan yang tak pernah benar-benar menyapa mereka.
Pemerintah kerap
menggaungkan proyek-proyek infrastruktur sebagai simbol keberhasilan,
seolah-olah beton dan aspal adalah tolok ukur utama kemajuan. Jalan-jalan
diperlebar, trotoar dipercantik, gedung-gedung tinggi menjulang. Tetapi, di
sisi lain yang luput dari sorotan, banyak pedagang kecil yang dipaksa angkat
kaki dari tempat mereka menggantungkan hidup.
Lapak-lapak yang mereka
bangun dengan susah payah digusur atas nama penataan kota, tanpa disertai
solusi jangka panjang atau skema relokasi yang manusiawi. Tak sedikit pula dari
mereka yang kehilangan mata pencaharian dalam semalam, karena tiada ruang
negosiasi, apalagi empati dalam pelaksanaan kebijakan publik.
Retorika politik para
elite sering terdengar indah menjelang pemilu. Janji-janji soal keberpihakan
terhadap ekonomi kerakyatan terus digulirkan dalam pidato-pidato megah. Namun,
setelah kekuasaan diraih, yang terjadi justru sebaliknya. Fokus kebijakan
bergeser pada kepentingan investor besar, korporasi, dan proyek-proyek
mercusuar yang lebih mementingkan citra daripada kebutuhan riil masyarakat.
Pedagang kecil,
nelayan, petani, buruh harian, mereka yang selama ini berada di garis depan
ketahanan ekonomi justru semakin terpinggirkan. Mereka bukan lagi subjek utama
pembangunan, melainkan sekadar latar belakang dari cerita besar yang diperankan
oleh mereka yang berkantong tebal dan punya koneksi kekuasaan.
Lebih parahnya, ketika
ekonomi sedang sulit dan daya beli masyarakat melemah, yang disalahkan justru
rakyat kecil yang dianggap tidak produktif atau tidak inovatif. Padahal, akses
terhadap modal, pendidikan, perlindungan hukum, dan jaringan distribusi yang
adil tidak pernah benar-benar diberikan kepada mereka. Ketika peraturan
berubah, tidak ada ruang diskusi. Ketika aparat datang, tidak ada proses
musyawarah. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah keterlibatan rakyat justru
berubah menjadi ajang dominasi segelintir pihak yang mampu membeli pengaruh dan
suara.
Ketimpangan ini
diperparah oleh kebijakan yang bias kepentingan. Zonasi pasar modern misalnya,
sering dibiarkan tumbuh di sembarang tempat, tanpa memperhatikan dampaknya
terhadap ekonomi lokal. Minimarket menjamur di dekat perkampungan, membunuh
usaha mikro yang tak mampu bersaing. Pemerintah tampak tutup mata terhadap persoalan
ini. Keadilan ekonomi tidak lagi menjadi prioritas, karena pertumbuhan menjadi
satu-satunya narasi yang dipuja. Padahal, pertumbuhan yang tidak inklusif
justru memperlebar jurang ketidaksetaraan.
Rakyat kecil mulai
lelah menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Kepercayaan terhadap
institusi negara menurun, ruang publik semakin sunyi dari perdebatan
substansial, dan partisipasi politik melemah karena mereka tahu, apapun yang
dilakukan, suara mereka tetap tidak didengar. Ketika hukum, kebijakan, dan
birokrasi tak lagi berpihak, rakyat mulai menarik diri dari proses demokrasi.
Dan ketika demokrasi tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat banyak, ia berubah
menjadi topeng belaka. Topeng yang menutupi wajah kekuasaan yang kian menjauh
dari prinsip keadilan sosial.
Masyarakat tidak
menuntut perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin keadilan yang setara. Ketika
mereka bersuara, jangan bungkam dengan dalih ketertiban. Ketika mereka
bertahan, jangan usir dengan alasan estetika kota. Ketika mereka meminta ruang,
jangan tawarkan retorika. Apa yang mereka butuhkan adalah kepastian,
perlindungan, dan keberpihakan yang nyata.
Jika pembangunan terus
berjalan tanpa menyentuh kebutuhan rakyat kecil, maka negara ini sedang
bergerak menuju demokrasi semu. Sebab demokrasi sejatinya bukan hanya soal
pemilu, melainkan tentang sejauh mana rakyat, termasuk yang paling kecil
sekalipun, dapat merasakan kehadiran negara dalam hidup mereka.