Jangan Ciptakan Aku, Jika Kamu
Mencintai Aku
Jika
kamu mencintai aku, jangan ciptakan “aku”. Begitulah kata Ajahn Amaro, seorang
Bikkhu Buddhis, ketika diminta berbicara soal cinta. Saya langsung menampilkan
kutipan itu di beberapa media sosial pribadi. Beberapa teman langsung bertanya,
apa artinya? Saya tergelitik untuk memberikan jawaban. (lihat: https://youtu.be/L3tIHuDDTck)
Ini
adalah soal cinta. Tema abadi dalam hidup manusia yang menjadi inspirasi untuk
sejuta lagu, film, buku maupun puisi. Siapa yang tak suka, ketika cinta datang
berkunjung? Hati berbunga, dan hari terasa seperti bernyanyi, tanpa ujung.
Namun,
tak jarang cinta berujung pada duka. Hati yang bernyanyi patah disiksa rasa
kecewa. Beberapa melanjutkan hidup dalam nestapa. Tak sedikit pula yang putus
harapan, dan memilih kematian sebagai teman.
Mekanisme
Jatuh Cinta
Mengapa
ini terjadi? Ini terjadi, karena ketika jatuh cinta, kita jatuh cinta pada
sebuah gambaran. Kita jatuh cinta pada konsep tentang orang lain. Kita
menciptakan “dia” di dalam kepala kita. Padahal, “ia” yang nyata pasti berbeda
dengan “ia” yang kita bayangkan.
Kita
jatuh cinta pada seorang “pribadi”. “Pribadi” adalah kumpulan cerita. Ia
bukanlah kenyataan. Pribadi adalah ciptaan kita yang sedang melihat dan
memikirkannya.
“Pribadi”
adalah ilusi. “Dia” juga adalah ilusi. Ketika kita jatuh cinta pada pribadinya,
maka kita jatuh cinta pada isi kepala kita sendiri. Tak heran, kita terjerumus
dalam derita dan nestapa.
Realita
Segala
hal berubah. Tidak ada yang tetap. Orang yang kita kenal dan sayangi pun juga
berubah. Sifat dan bentuk fisik mereka pun terus berubah, seperti sungai yang
tak berhenti mengalir.
Karena
segalanya berubah, maka tak ada inti yang bisa dipahami. Tak ada inti yang bisa
digenggam dengan erat. Tidak ada ciri pribadi yang bisa dibaca. Tidak ada sifat
ataupun karakter yang tak berubah.
Karena
segalanya berubah, dan tak ada inti, maka tak ada yang pasti. Upaya untuk
memperoleh kepastian akan berakhir dengan kekerasan. Inilah penyakit para
radikalis agama, maupun radikalis ideologi (Marxisme, Liberalisme, Fasisme dan
sebagainya). Upaya untuk memastikan dan mengontrol kehidupan akan berakhir
dengan kekerasan dan penderitaan.
Lalu
Bagaimana?
Maka,
kita perlu melihat dan memahami kenyataan sebagaimana adanya. Kita perlu hidup
dengan kehidupan, bukan dengan pikiran-pikiran kita semata. Pikiran dan emosi
lalu digunakan seperlunya, tidak secara berlebihan. Inilah kebijaksanaan
tertinggi yang bisa diraih manusia.
Ketika
cinta tiba, jangan membuat cerita tentangnya. Jangan menebak karakter orang
yang kita berikan cinta. Jangan membuat asumsi apapun. Jangan membuat “dia” di
dalam kepalamu.
Maka,
cinta pun akan tumbuh dengan alami. Tidak ada gangguan pikiran dan emosi yang
tak berguna. Yang tercinta akan selalu dilihat di dalam kenyataan disini dan
saat ini. Cinta semacam ini telah menyentuh keabadian.
Keheningan
dan Kreativitas
Ketika
kita berhenti membuat cerita tentang kehidupan, kita akan menemukan keheningan.
Bahkan, ketika sekitar kita gaduh, batin kita tetap hening dan damai. Kiranya
rumus yang sama bisa diucapkan. “Jika kamu ingin kehidupan yang bahagia, jangan
membuat cerita apapun tentang kehidupan.”
Di
dalam keheningan, ide berkembang. Kebijaksanaan dan welas asih bertumbuh. Tak
ada buku yang perlu dibaca, dan tak ada sekolah yang harus ditempuh. Inilah
kebijaksanaan alami yang sejalan dengan hukum-hukum alam (Dharma).
Kreativitas
pun mengalir deras. Dorongan untuk mencipta tampil ke depan. Kepedulian pada
kehidupan tumbuh dengan sendirinya. Kita lalu menjadi hidup sepenuhnya, dengan
segala api dan damai yang ada di dalamnya.
Ajahn
Amaro kiranya tepat. Saya sudah mencobanya. Ketika saya tak membuat cerita
tentang apapun, segalanya menjadi jelas dan jernih dengan sendirinya. Tak ada
kenikmatan yang lebih tinggi daripadanya. Anda tertarik mencoba?