Mewaspadai Dampak
Negatif Fanatisme Sempit Pilkada Malaka 2020
(Suara Masyarakat Akar
Rumput Untuk Pilkada Malaka Aman dan Damai)
Menjelang Pilkada Serentak 09 Desember 2020, salah satunya Pilkada di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timurt ketegangan antar kelompok masyarakat semakin menguat. Fanatisme dukungan kepada masing-masing pilihan mengindikasikan masing-masing memiliki kekuatan yang potensial. Itu sebabnya kondisi yang kritis ini jika tidak diantisipasi akan menimbulkan gejolak yang merugikan masyarakat itu sendiri. Fanatisme yang berlebihan terhadap calon bupati dan wakil bupati yang diunggulkan akan menimbulkan dampak negatif jika calon yang memiliki banyak kelompok fanatik mengalami kekalahan.
Pengertian Fanatisme
dalam Wikipidia adalah sebuah faham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan
terhadap sesuatu secara berlebihan. Menurut Winston Churchill, seseorang
yang fanatis tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah
haluannya. Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat
dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang
dianggapnya bertentangan.
Sikap fanatisme ini
pada umumnya terjadi pada masyarakat yang berkaitan dengan etnis, negara
(nasionalisme), agama, ideologi dan olahraga. Namun dalam kaitannya dengan Pilkada
di Kabupaten Malaka-NTT kali ini, fanatisme bisa dikaitkan dengan tokoh
perseorangan. Hal ini disebabkan oleh adanya kesamaan visi, misi, atau bisa
juga karena kesamaan latar belakang suku, agama, atau ideologi yang bersangkutan.
Sehingga representasi seorang calon bupati dan wakil bupati bisa memiliki pendukung fanatik
yang sangat potensial.
Fanatisme pada agama
adalah sebuah keniscayaan. Penganut agama memang harus bersifat fanatik karena
agama adalah kebenaran mutlak (dari Tuhan). Tanpa fanatisme kepercayaan
(keimanan) seseorang pasti diragukan. Tetapi fanatisme pada suku/etnis, negara,
atau lebih konyol lagi fanatisme dalam soal olah raga sesuatu yang masih perlu
dikoreksi. Pasalnya fanatisme pada negara memiliki celah kesalahan dalam
memandang sebuah persoalan tentang negara kita. Bisa saja negara kita memiliki
kelemahan atau kekurangan. Maka dari itu kita harus tetap mendengar dan
membandingkan dengan negara orang lain sebagai bagian dari proses pendewasaan.
Demikian juga dengan dukungan kita terhadap suatu klub oleh raga. Bisa saja
klub yang kita dukung memiliki kekurangan dan kelemahan dan kita pun harus
mengakui atas kekurangan dan kelemahan klub yang kita dukung.
Lalu bagaimana dengan
sikap fanatisme kita terhadap seorang calon bupati dan wakil bupati? Jawabnya
adalah kita boleh saja mengunggulkan tokoh yang kita calonkan/pilih. Tetapi
kita tidak boleh bersifat fanatik. Pasalnya setiap orang pasti memiliki
kekurangan dan kelebihan. Setiap orang memiliki potensi benar dan
potensi salah. Kita harus bersikap proporsional di dalam membela dan mendukung
calon yang kita unggulkan. Kalau memang calon yang kita unggulkan ternyata
memiliki kelemahan ya harus kita akui dan tidak perlu membela membabibuta.
Demikian juga dengan
tokoh atau calon yang tidak kita pilih tentu juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Siapapun calon bupati dan wakil bupati yang masuk dalam kontestasi
dalam bursa calon bupati dan wakil bupati adalah putra-putra terbaik rai Malaka yang masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Mereka sudah jelas memiliki potensi untuk
memimpin kabupaten Malaka ini. Itu sebabnya siapapun yang terpilih
nanti harus kita akui kepempimpinannya, harus kita ikuti perintah-perintahnya.
Walau sering digunakan
dalam dunia olahraga maupun hiburan, namun fanatisme sebenarnya lahir dari
arena tarung teologi dan politik yang menyertai gerakan Reformasi Gereja
Kristen. Pada tahun 1525, Martin Luther, sang pelopor Protestanisme, menghadapi
perlawanan kelompok petani yang dipimpin Thomas Müntzer. Luther kemudian
menggunakan kata Schwärmer (kaum fanatik) untuk menamai kelompok petani yang
melawannya. Pilihan kata yang tepat bagi seorang pelopor reformasi gereja,
bahwa siapapun yang melawannya berarti anti-reformasi dan termasuk golongan
konservatif yang fanatik.
Fanatisme juga sering
digunakan dalam industri media untuk menggambarkan pandangan keagamaan para
pelaku terorisme, yang mana sebagian besar pelaku tindak pidana tersebut
kebetulan merupakan pemeluk agama Islam. Akibat pemberitaan-pemberitaan
tersebut, kemudian lahir lema-lema baru seperti ekstremis Islam, atau Islam
fanatik, yang terafiliasi erat dengan berbagai tindak kekerasan bermotifkan
agama—yang sebetulnya lahir dari kesalahan penafsiran.
Dalam kehidupan politik
bangsa kita sepanjang beberapa tahun terakhir, fanatisme politik bahkan sampai
di tahap yang tidak sehat. Karena perbedaan pilihan poltik, tak sedikit
keluarga yang semula harmonis menjadi renggang, atau sahabat yang mulanya
berhubungan dekat kini tak lagi bertegur sapa. Mungkin hampir semua di antara
kita merasakan, sejak dimulainya deklarasi kampanye Pilkada Malaka dari
masing-masing calon bupati dan wakil bupati yakni , perseteruan antara dua
kelompok politik —yang direpresentasikan oleh figur Simon Nahak-Louise Lucky
Taolin (SN-KT) di satu sisi, dan calon
petahana Stefanus Bria Seran-Wandelinus Taolin (SBS-WT) di sisi lain, tak kunjung berakhir. Bapak Simon
Nahak dan Bapak Stefanus Bria Seran sudah saling bersalaman, namun banyak di
antara pendukung fanatik keduanya yang masih bermusuhan.
Apa
bahaya fanatisme politik Pilkada?
Dalam kegaduhan
demokrasi terdapat celah terciptanya bibit konflik dan fanatisme berlebihan.
Karena itu, secara psikologis, demokrasi mensyaratkan adanya orang-orang yang
cukup pendidikan, berpikiran terbuka, toleran, bisa menerima perbedaan, dan
bisa menunjukkan empati terhadap orang lain.
Apa yang terjadi di
Jerman pada pertengahan 1930-an menjadi contoh bahaya fanatisme. Kala itu,
ekonomi mereka tumbang dihajar krisis keuangan di Eropa dan Amerika. Ditambah,
Jerman baru saja kalah di Perang Dunia I. Jutaan orang menganggur, miskin,
lapar, dan frustasi.
Dalam kondisi seperti
itu Adolf Hitler dan Partai Nazi menang pemilihan umum. Kanselir
Jerman Hitler menegakkan fasisme dan membunuh demokrasi. Hitler, menurut Guru
Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, mendapat loyalitas
tunggal di negara itu dengan cara memanipulasi ketakutan rakyat Jerman.
Kanselir juga menaklukkan Polandia sehingga pecah Perang Dunia II. Fanatisme
buta mengalahkan akal sehat.
Fanatisme buta bisa
tumbuh subur di iklim politik yang demokratis seperti menjelang Pilkada
Kabupaten Malaka-Nusa Tenggara Timur. Orang yang fanatik rentan bias kognitif.
Terkadang orang fanatik tidak bisa lagi menerima kebenaran dari kelompok lain.
Orang fanatik hanya percaya bahwa hanya kelompoknya yang benar.
Dalam beberapa kondisi,
perasaan cinta terhadap kelompok sendiri yang mendorong seseorang untuk
berjuang untuk kelompoknya adalah sesuatu yang lumrah dan alamiah. Dalam
politik sikap partisan yang mendorong loyalitas dan kerelaan orang bekerja
sukarela untuk partai terkadang diperlukan.
Musim kampanye pilkada
Malaka, lagi beberapa hari hampir selesai. Yang bikin was-was, populisme
berbasis kekuatan pendukung semakin mengganas. Politikus masih asyik memainkan
identitas, mengipas pemilih supaya tetap panas. Karena itu, untuk menjadi
pemilih yang kritis, setiap orang harus introspeksi memeriksa fanatisme dalam
diri. Hanya dengan cara itu kita bisa menyelamatkan demokrasi kita teristimewa
di Kabupaten Malaka tercinta ini agar terhindar dari demonisasi.
Demonisasi merupakan
salah satu taktik pecah belah (devide et
impera) yang berarti melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan pihak
tertentu sehingga sesuatu jadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak
ada sedikitpun kebaikannya. Dengan taktik ini, emosi korban dipermainkan dan
dipengaruhi agar sangat memuja pihak kawan dan sangat membenci pihak musuh.
Tindakan fanatisme ini
sama sekali tidak cocok untuk diterapkan pada masyarakat Kabupaten Malaka yang
multikultur. Pluralisme dan kemajemukan telah mewarnai bangsa ini, bahkan jauh
sebelum Republik Indonesia terbentuk. Pada saat tokoh-tokoh bangsa merumuskan
Pancasila, mereka memahami betul bahwa pluralisme telah ada, namun mereka
memiliki kesadaran untuk bersatu dalam sebuah perbedaan, dan menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Eli Susanti (2011), konsep pluralisme sendiri memiliki beberapa
perspektif: sosial, budaya, maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme
menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan tertentu.
Pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran budaya/agama karena
dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis. Adapun pluralisme
politik merupakan dasar bagi jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan
berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan, karena adanya lembaga
pengelola konflik kepentingan antar aliran keagamaan.
Negara kita adalah
negara hukum, dimana konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat
dilindungi, baik kewajiban maupun haknya, termasuk juga hak untuk berpikir,
mengemukakan pendapat, memilih kepala daerah, atau partai politik yang sesuai
dengan keinginan mereka. Kata "setiap warga negara" menunjukkan
penghargaan negeri ini terhadap rakyat Indonesia yang multikultur.
Sebagaimana pendapat
Budiman (1999), adanya kemajemukan sistem budaya dan masyarakat telah diakui
sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka
Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu
upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada, serta strategi untuk
mempersatukan berbagai kelompok masyarakat/etnik dalam suatu ikatan yang
berorientasi masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu jua” dalam
kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk
diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu
kontradiksi. Idealnya, ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan.
Penjajahan terjadi,
ketika mayoritas atau sebagian warga, berubah menjadi pendukung fanatik
penguasa, lalu menindas pihak yang menjadi minoritas. Penjajahan terjadi jika
tidak ada ruang untuk sebuah perbedaan pandangan. Penjajahan terjadi, ketika
warga yang fanatik membela penguasa secara membabi-buta, tanpa menelaah
kembali, norma apa yang mungkin dilanggar. Buah dari sikap fanatik adalah
intoleransi, yang bermuara pada kekerasan pada pihak yang memiliki pandangan
politik berbeda.
Fanatisme terhadap tokoh, atau partai politik tertentu, sangat
membahayakan persatuan dan kesatuan nasional di daerah Malaka ini. Fanatisme
membuat warga terpecah-belah, baik secara kesukuan atau kedaerahan. Fanatisme
membuat warga tidak bisa menerima kritik, karena bagi mereka tokoh/pandangan
politiknya yang paling benar. Pada akhirnya, fanatisme mencederai nilai-nilai
demokrasi.
Fanatisme bukan hanya
mengancam persatuan dan kesatuan nasional, namun juga mencederai nilai-nilai
demokrasi
Lalu
bagaimana cara membebaskan diri dari fanatisme?
Fanatisme yang
berlebihan hanya akan membuat kita mudah untuk membenci pihak lain yang
berseberangan dengan paham atau keyakinan yang kita pegang. Padahal, dalam
hidup ini kita akan selalu menemui perbedaan, baik dalam hal gagasan, pikiran,
prinsip hingga pilihan.
Namun bagi penganut
fanatisme politik, mereka yang berbeda adalah lawan. Kita tak akan bisa
mengakui atau mengapresiasi hal positif apalagi dari sosok atau partai lain
yang tak kita dukung. Kita hanya akan melihat segala kekurangan dan keburukan
yang dimiliki oleh kubu seberang. Karena itu, kebencian bisa begitu melekat
bagi mereka yang menganut dogma fanatisme politik ini.
Selain itu fanatisme
politik juga bisa membuat kita menjadi amunisi
yang dikendalikan oleh elit politik. Kita hanya akan dijadikan mortir untuk
melengganggak kekuasaan atau meruntuhkan kekuasaan yang sudah ada. Padahal
semestinya rakyatlah yang memainkan caturnya, bukan menjadi bidak catur.
Untuk menghindari
fanatisme politik, maka kita harus memiliki kemerdekaan berpikir. Kemerdekaan
berpikir adalah kemampuan untuk mempertimbangkan segala sesuatu secara jernih
dan mandiri. Orang yang bebas dari
tekanan politik kekuasaan, akan mampu menggunakan logikanya untuk
mempertimbangkan fakta dan realita, serta menarik kesimpulan yang masuk akal. Kemandirian berpikir merupakan pondasi awal
dari toleransi. Seseorang dengan pemikiran yang bebas dan independen, bisa
melihat kebaikan dari sisi yang berbeda-beda.
Hanya dengan
kemerdekaan berpikir, kita bisa melihat berbagai hal dengan lebih jernih. Hanya
dengan kemerdekaan berpikir, kita bisa hidup tanpa prasangka buruk. Dan hanya
dengan kemerdekaan berpikir, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dapat terwujud. Marilah
kita dukung siapapun yang nanti terpilih dalam Pilkada Kabupaten Malaka-NTT
kali ini. Kita tidak perlu melakukan tindakan destruktif jika ternyata calon
yang kita pilih kalah. Semoga mereka nanti yang terpilih benar-benar orang yang
bersedia berkorban dan mau memperjuangkan negeri ini dan membangun rai Malaka
semakin rupawan dan membuat masyarakat (penduduk) semakin sejahter tanpa
pengkotak-kotakan karena politik. Amin
Penulis: Frederick Mzaq
(Penimba Inspirasi Jalan Setapak)