Perjalanan Karier Ari Lasso Menjadi Penyanyi Solo Terkenal dan Terpopuler
Bab
I
Pendahuluan
Ketika kecil, ia
dikenal sebagai anak badung, pintar, dan tergila-gila pada sepak bola. Meski
hanya bisa main gitar sekadarnya, ternyata dia diam-diam menyimpan obsesi jadi
anak band.
Awal Juni lalu, matahari masih membakar bumi ketika telepon genggam pria itu
berbunyi. Meski sangat capai setelah dua hari berturut-turut naik panggung di
wilayah Jabodetabek sampai tengah malam, ia tetap bergegas berangkat dari
rumahnya di Kawasan Bintaro, Tangerang, menuju Ancol, Jakarta Utara. Malam itu
ia akan tampil bersama band Naif dan Element.
Setiba di Taman Impian
Jaya Ancol, pria berambut gondrong itu langsung menuju ke sebuah panggung megah
setengah jadi yang dipenuhi seperangkat alat musik bervoltase ribuan watt. Ia
membaur dengan kru dan teknisi band-nya yang tengah sibuk menyetel dan
mengoreksi sound system. Di tengah hiruk pikuk yang memekakkan telinga, ia
berusaha memasang telinga baik-baik. Setiap kali mendengar nada-nada yang
kurang pas, ia langsung meminta krunya membetulkan atau menyetel kembali. Baru
satu jam kemudian ia merasa puas.
Begitulah gambaran
jadwal dan kegiatan Ari Lasso belakangan ini. Minggu berikutnya, ia harus
terbang ke Kalimantan untuk tampil di beberapa tempat di Samarinda dan
Balikpapan. Sepulang dari situ, ia langsung ke Surabaya untuk mengadakan
serangkaian show. Hari-hari yang sangat melelahkan, tapi sekaligus
membahagiakannya.
Menengok ke belakang,
setidaknya hingga tujuh tahun lalu, kesibukan dan kebahagiaan semacam itu
rasanya mustahil dirasakan ayah tiga anak ini. Selain dicopot sebagai vokalis
utama Dewa 19, band yang membesarkan namanya, ia pun terpuruk dalam kegelapan
yang pekat. Terjerat putaw dengan parah --bahkan ia pernah berusaha ‘mencari
mati’ dengan menggunakannya secara over dosis-- dan jatuh miskin karena semua
uangnya ludes untuk membeli barang-barang haram itu. Kedua orang tuanya sudah
angkat tangan menghadapi kelakuan anak bungsu mereka itu.
Ternyata,
Tuhan masih mengasihinya. Buktinya, sampai saat ini ia masih diberi kesempatan
menyaksikan indahnya matahari terbit dan terbenam. Ia pun merangkak lagi dari
nol, selangkah demi selangkah. Mencoba bersolo karier di tahun 2001, dewi
keberuntungan ternyata berpihak pada pria kelahiran Madiun, 17 Januari 1973,
itu.
Album Sendiri Dulu
(2002), yang diprediksi hanya terjual 60.000 keping, ternyata laku keras hingga
mencapai 400.000 keping. Wajarlah kalau belum lagi lima tahun bersolo karier,
ia sudah mampu memiliki rumah mewah berlantai dua, lengkap dengan kolam renang,
beberapa mobil keluaran terbaru, serta sejumlah tabungan dan deposito.
Tidak hanya itu. Lewat
album-album cintanya, berbagai penghargaan musik juga berhasil diraihnya sejak
album solo pertamanya dilempar ke pasaran. Antara lain, sebagai penyanyi solo
terbaik versi AMI-Sharp 2002, Anugerah Planet Muzik Singpura 2005, penghargaan
platinum dari perusahaan rekaman Aquarius Musikindo 2004, dan masih banyak
lagi. Tahun ini ia juga diangkat sebagai duta budaya oleh Wali Kota Surabaya.
Bab II
Pembahasan
Si
Endut’ Yang Gila Bola
Ari Bernardus Lasso
adalah putra bungsu dari lima bersaudara pasangan Bartholomeus Bernard Lasso
dan Srie Noerhida. Saat Srie mengandung Ari, Bernard Lasso masih menjabat
sebagai Asisten Perum Perhutani Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Warga sekitar
biasa memanggilnya Pak Sinder. Ia membawahi sekitar 40-60 orang pegawai,
termasuk lima resort polisi hutan yang harus mengamankan sekitar 600-700 hektar
hutan. Jarak dari rumahnya --di Kompleks Perhutani Banaran (Sragen)-- ke
kan–tor sekitar 30 km, sementara dari Madiun jaraknya sekitar 50 km. Tak lama
sebelum Ari lahir, Bernard diangkat sebagai Ajun Administratur Perum di
Saradan, sehingga mereka sekeluarga pun pindah ke Saradan, sekitar 40 kilometer
dari Madiun.
Bernard mengenang anak bungsunya itu sebagai anak yang sangat aktif dan lucu,
sehingga hampir semua orang menyukainya. Empat kakaknya semua berambut
keriting, hanya Ari yang berambut lurus. Selain itu, bentuk kepalanya pun
‘istimewa’. ”Ari tidak pede dengan rambut pendek, karena bentuk kepalanya
peyang,” kata Vitta Dessy, istrinya, sambil tertawa. Konon, kalau rambutnya
dipotong cepak, bagian belakang kepalanya akan terlihat rata. Itu sebabnya,
sejak remaja ia tidak pernah memendekkan rambutnya. Ia baru memotong rambutnya
ketika menikah.
Menurut Bernard, dibanding keempat anaknya, Ari memang paling nakal dan kurang
mengerti etika. Padahal, keempat kakaknya tergolong anak manis dan sangat
patuh. ”Sejak kecil dia memang ndugal, tidak paham sopan santun, dan kurang
hormat terhadap orang tua. Dia itu sak karepe dhewe, semaunya sendiri,” kenang
Bernard, tertawa. Di mata kakak-kakaknya, Ari juga dikenal sangat
menjengkelkan, karena tukang ngeyel.
Ari merasa, masa
kanak-kanaknya sangat indah. Meski ayahnya merupakan orang nomor satu di
kompleks perumahan dinas itu, ia dan kakak-kakaknya dibebaskan bermain dengan
siapa saja, termasuk dengan anak-anak kampung di sekitar situ. Ia dibebaskan
main becek-becekan di sawah, mandi di kali, main sepak bola, mencari burung di
hutan, dan ikut menggembalakan kambing atau kerbau milik teman-temannya. Kalau
sedang tidak sibuk, ayahnya menemani Ari bermain layang-layang di lapangan.
”Aslinya saya itu wong ndeso…,” ujar Ari, tertawa.
Sejak mulai masuk SD (di SDN Banaran) tubuhnya juga jadi makin tambun, sehingga
ia dijuluki ‘Si Endut’ oleh kakak-kakaknya. Di kelas 2 SD saja, beratnya sudah
35 kg. Dan, makin subur lagi setelah ia menjalani sunat (khitan) pada awal SMP.
Tapi, berbeda dari umumnya anak-anak bertubuh subur yang jadi malas bergerak
dan doyan tidur, Ari justru tergolong sangat aktif. Ia juga berotak
cemerlang.
”Sejak masih
kanak-kanak, kecerdasan Ari memang sudah menonjol. Terlihat dari cara bicara,
kreativitasnya, atau sikap kritisnya,” kenang Bernard, penuh kebanggaan. ”Sejak
mulai bisa membaca, ia menjadi maniak buku. Kalau diberi uang, ia jarang
membeli mainan, yang dibelinya selalu buku.”
Buku-buku koleksinya
memang bertumpuk, meski bacaan favoritnya saat itu baru sebatas buku cerita dan
komik, seperti Rin Tin Tin, petualangan Dr. Karl May, Shatting Bulls, Apache,
Pendekar dari Bukit Manoreh, Sabuk Intan, dan sebagainya. Saat duduk di kelas 4
SD, ia bahkan sudah punya perpustakaan sendiri, yang buku-bukunya ia sewakan
kepada teman-temannya. Hasilnya dipakai lagi untuk menambah koleksi buku dan untuk
jajan.
Ari juga sangat fasih
bila diajak bicara tentang sepak bola. ”Dia betul-betul hafal semua jadwal
pertandingan liga di luar negeri, termasuk nama-nama pemainnya. Rupanya,
diam-diam dia rajin membaca koran-koran saya,” kenang Bernard, tertawa.
Gara-gara ‘gila bola’
itu pula, Ari yang baru duduk di kelas 3 SD mengajak teman-teman di kompleks
rumahnya mendirikan klub sepak bola Perhutani yang diberi nama Persatuan
Sepakbola Bayu Rimba. Sebagai motor klub tersebut, Ari rela bekerja keras untuk
menghimpun dana. Ia giat mengajak anak-anak pejabat Perhutani untuk bergabung
sebagai pemain sekaligus penyandang dana.
Ari sendiri selalu
tampil sebagai sponsor utama, yang siap menutup kekurangan biaya operasional
klub tersebut. Berbeda dari teman-teman seusianya yang mendapatkan uang dari
orang tua, Ari justru mengumpulkan dana dari hasil ‘bisnisnya’ sendiri. Baik
dari hasil penyewaan buku-buku perpustakaannya, juga dari ‘gajinya’. Ia memang
selalu mendapat ‘gaji’ bila membantu ibunya mengurus dagangan. Hebatnya, meski
banyak kesibukan, di sekolah ia tetap pelanggan peringkat pertama.
Ketika kecil, ia
dikenal sebagai anak badung, pintar, dan tergila-gila pada sepak bola. Meski
hanya bisa main gitar sekadarnya, ternyata dia diam-diam menyimpan obsesi jadi
anak band.
Ketika naik ke kelas 4 SD, Ari terpaksa berpisah dari teman-teman main sepak
bolanya. Ia harus mengikuti ayahnya yang pindah tugas ke Bojonegoro. Baru dua
tahun di sana, ia pindah lagi ke Surabaya. Setelah lulus SD, ia melanjutkan ke
SMP Negeri I2, yang merupakan salah satu SMP favorit di Surabaya. Bahkan, ia
berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik. Selanjutnya, ia melanjutkan ke SMA
Negeri 2, yang dikenal sebagai surga anak-anak band. Saat itu, ia memang mulai
tergila-gila pada musik.
Mewarisi Bakat Ibu
Dalam buku Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata ari berarti adik. Ari memang adinda tersayang bagi
keempat kakaknya, Prinanti Hanifa, Dwindata Femdika, Trioni Alfianus (Onny),
dan Niken Kristiana. Bernardus adalah nama opa buyut Ari yang berdarah Toraja.
Adapun Lasso adalah nama panggilan bagi anak laki-laki dari keluarga terpandang
di daerah Toraja.
Srie, sang ibu, tidak
pernah mengira kalau anak bungsunya itu bakal mengikuti jejaknya sebagai
penyanyi. Wanita kelahiran Banyuwangi itu dulunya memang seorang penyanyi yang
cukup terkenal di daerahnya. Ia terlahir dari keluarga musisi. Orang tua dan
saudara-saudaranya juga memiliki suara merdu dan pintar main musik. Salah satu
kerabat dekatnya adalah Emilia Contessa, penyanyi terkenal tahun 1970-an, yang
juga berasal dari Banyuwangi.
Ari mulai tertarik pada
musik saat duduk di kelas 2 SD. Namun, yang akrab di telinganya saat itu justru
lagu-lagu dari kelompok Queen, Rolling Stones, The Police, Rod Stewart, John
Denver, dan sebagainya, yang sering diputar kakak-kakaknya.
Berbeda dari kebanyakan
anak-anak lain yang umumnya bercita-cita jadi dokter, insinyur, atau tentara,
sejak awal ia justru sudah menanam cita-cita jadi penyanyi. Obsesinya adalah
tampil menyanyi di lapangan sepak bola dan ditonton oleh puluhan bah–kan
ratusan ribu orang.
Padahal, saat itu ia
tak bisa memainkan alat musik apa pun. Belakangan, ia belajar main gitar
sendiri. Hasilnya pun hanya sekadar bisa. Ia lebih banyak melatih vokalnya,
biasanya sembari mengunci diri di kamar. Sambil mendengarkan lagu-lagu rock
Barat kesayangannya dari kaset, ia lantas berteriak-teriak sendiri.
Cita-citanya jadi
penyanyi mulai menemukan jalan saat ia duduk di SMA. Di sinilah ia mencurahkan
hampir seluruh waktunya untuk menekuni musik, sembari menekuni hobinya yang
lain, mendaki gunung. Namun, tanpa dia sadari, keasyikannya berada di luar
rumah perlahan-lahan menggiringnya ke kehidupan yang membuat prihatin
keluarganya. Selain jarang pulang dan hubungan dengan kedua orang tuanya makin
renggang, Ari juga jadi malas belajar, sehingga prestasinya di sekolah merosot
tajam. Nilai-nilainya sangat jeblok.
Kesadarannya baru
terbangun seminggu menjelang ujian akhir. ”Selama tiga tahun di SMA, hanya
seminggu itulah saya belajar beneran,” ujar Ari, tertawa. ”Waktu itu, target
saya hanya satu, yaitu bisa masuk perguruan tinggi negeri untuk menyenangkan
orang tua,” katanya. Hasilnya? Bukan saja ia berhasil lulus SMA dengan angka
lumayan, tapi juga berhasil menembus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga,
perguruan tinggi negeri kebanggaan Jawa Timur.
Di SMAN 2 ini pula Ari berkenalan dengan para penggila musik di sekolahnya,
seperti Dhani Ahmad, Piyu (gitaris PADI), Wawan Juniarso (drummer Dewa
pertama), Erwin Prasetya, dan Andra Junaidi. Saat itu, Dhani sudah cukup menonjol
di kalangan pemusik muda Surabaya, dan sudah mendirikan ‘Dewa’. Tapi, anehnya,
Dhani tak tertarik mengajak Ari yang bersuara tinggi nge-rock itu untuk
bergabung dalam band-nya. Kenapa?
”Jenis musik kesukaan
kami berbeda,” papar Dhani, lugas. ”Ari lebih mengarah pada pop rock dan
menyukai Bon Jovi, sedangkan band favoritku Queen yang classic rock. Tapi, kami
sama-sama suka Chicago. Meski begitu, kami tetap berteman, kok, dan sering
nongkrong bareng. Teman-teman Ari juga teman-teman aku.”
Ari pertama kali
membentuk band dengan Piyu dan Wawan. Mereka membentuk Outsider Band. Ia
kemudian direkrut oleh Los Angeles Band, cikal bakal Boomerang, sebuah band
beraliran rock yang lumayan beken di kalangan anak muda. Sayang, band itu
akhirnya layu sebelum berkembang.
Bergabung Dengan Dewa 19
Baru di tahun 1990,
saat sama-sama duduk di kelas 3 SMA, Dhani Ahmad mengajaknya bergabung. Ini di
luar dugaan Ari, karena selama ini selera musik mereka berdua kurang sejalan.
Rupanya, ada satu momentum yang akhirnya membuat Dhani ‘jatuh hati’ pada Ari.
Dhani mengaku sangat terkesan saat Ari menyanyikan lagu Chicago, Hard to Say
I’m Sorry. Saat itu Dhani juga sedang berencana mengubah format band yang
dipimpinnya saat itu, Down Beat Band, dan menggantikan penyanyinya yang wanita
dengan penyanyi laki-laki. Ari pun direkrut sebagai vokalis baru Down Beat Band
.
Setelah itu, Dhani
bersama Erwin, Wawan, Andra, dan Ari sepakat untuk menghidupkan kembali band
Dewa yang pernah mereka dirikan saat masih sama-sama duduk di SMP (1987). Nama
Dewa diambil dari huruf depan para personelnya. Karena nama depan Ari juga
diawali huruf ‘A’, mereka tak perlu mengubah nama band. Selanjutnya, mereka
sepakat menambahkan ‘19’, karena di tahun 1991 itu, saat menyatu dalam Dewa,
umur kelimanya sama-sama 19 tahun. Maka, lahirlah kelompok band Dewa 19.
Saat setahun kemudian,
Dewa 19 meluncurkan album perdananya, industri musik Indonesia sedang
didominasi kelompok Slank, Java Jive, Gigi, KLA Project, juga Kahitna. Di
tengah band-band besar yang merajai pasar, album pertama Dewa 19 yang berjudul
Kangen (Ku Kan Datang) ternyata berhasil terjual 300.000 keping, bahkan
berhasil meraih BASF Award 1993 sebagai album terlaris.
Kunci sukses album
pertama Dewa 19 itu tentu tidak lepas dari suara merdu Ari. ”Ari memiliki suara
yang sangat merdu dan khas,” puji Dhani Ahmad. Kesuksesan ini memuluskan jalan
arek-arek Suroboyo ini untuk melangkah ke album-album selanjutnya. Tahun 1992
mereka kembali meluncurkan album kedua, Format Masa Depan. Sama dengan yang
pertama, album ini juga tak kalah meledak, dalam waktu relatif singkat terjual
500.000 keping.
Sebagai band yang masih
bau kencur, keberhasilan Dewa 19 memang tergolong luar biasa. Selanjutnya
adalah sebuah cerita sukses. Mereka sibuk manggung di berbagai kota di seluruh
penjuru tanah air. Dan, nama Ari Lasso pun ikut melambung seiring dengan
melejitnya nama Dewa 19. Ia kini sudah menjadi selebriti.
Masa-Masa Tergelap Dalam Cengkeraman
Narkoba
Menjadi terkenal
tiba-tiba membuat hidupnya limbung. Ia makin tenggelam dalam cengkeraman
narkoba yang sudah menjeratnya sejak di SMA. Dalam keputusasaan, ia bahkan
sempat mencoba bunuh diri.
Tanggal 22 Desember
2000. Seorang pria muda kurus kering berwajah sayu dan berambut gondrong
semrawut, duduk bersimbah duka di samping tempat tidur sebuah rumah di Kompleks
Perumahan Delta Indah Sari, Surabaya. Sambil terus berdoa, Ari Lasso, pria
berpakaian kumal dan baru saja turun dari kereta api dari Jakarta itu, terus
memegangi tangan ibundanya yang sudah sembilan hari mengalami koma.
Wanita tua yang tengah
meregang nyawa itu terbaring lunglai tanpa daya. Meski tak dapat bergerak dan
bicara sedikit pun, sesekali kedua sudut matanya basah oleh air mata.
Menyaksikan ibunya terbaring tak berdaya di detik-detik terakhir hidupnya,
ditambah luka hati yang begitu dalam memikirkan nasib anak bungsunya, tangis
Ari pun pecah. Tersedu-sedu, tersengal-sengal.
Dengan suara
terbata-bata, ia pun mengucapkan janji di telinga ibunya. ”Ma…, Ari janji pada
Mama bahwa Ari akan sembuh. Mama tidak usah memikirkan Ari lagi. Papa dan semua
anak-anak Mama sudah ikhlas kalau Mama ingin berangkat sekarang....”
Bagi Ari, detik-detik
penantian kepergian wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan
penuh kasih sayang itu adalah detik-detik penentuan ’kelahiran’ atau justru
’kematiannya’. Ya, itulah detik-detik kalkulasi sikapnya, apakah akan hidup
terus dan menjadi penyanyi seperti yang diimpikannya sejak bocah, atau mati
tanpa arti dengan jarum-jarum menancap ke sekujur tubuhnya.
Narkoba
Mengubah Segalanya
Suksesnya album-album
Dewa 19 makin mendekatkan hubungan Ari Lasso dan Ahmad Dhani. Menurut Dhani,
banyak faktor yang membuat persahabatannya dengan Ari bertahan hingga saat ini.
“Dari segi sifat, Ari dan aku sangat cocok, sehingga pertemanan kami sangat
awet,” papar Dhani, di studionya yang menyatu dengan rumahnya di daerah Pondok
Indah, Jakarta Selatan. “Sifat Ari tidak dominan, sementara aku sangat dominan.
Selain itu, aku dan dia sama-sama sangat religius dan sama-sama hobi baca buku,
sehingga pemikiran kami selalu nyambung,” tambahnya.
Meski tak terlalu rajin ke gereja (karena sangat jauh dari rumahnya), Ari
dibesarkan di tengah lingkungan keluarga Kristiani yang cukup religius. Tapi,
sejak mulai masuk SMA, ketaatannya pada agama mulai lumer. Hal itu juga tak
luput dari pengamatan sang ayah, Bernard, yang mengaku sangat prihatin melihat
perkembangan putra bungsunya itu. Pada hari Natal yang seharusnya merupakan
saat berkumpul terindah bersama semua anggota keluarga, Ari justru kabur ke gunung.
Ada saja alasannya untuk pergi dari rumah.
Ari tidak menyangkal
hal itu. Ia mengakui, sejak masuk SMA, kenakalannya memang makin menjadi-jadi.
Selain menjadi anak yang sulit diatur dan suka berbohong, ia juga sering tidak
pulang. Kalau tidak naik gunung, ia berlatih musik selama berhari-hari di rumah
teman-temannya. ”Tapi, minta izinnya, sih, mau belajar di rumah teman,
he...he...he...,” ujarnya, tergelak .
Seperti anak muda pada
umumnya, rasa ingin tahunya dalam berbagai hal sangat tinggi. ”Padahal, untuk
mengetahui tentang sesuatu, kita ’kan harus mencoba lebih dulu,” ujar Ari,
terkekeh. ”Untuk mengerti tentang pengaruh ganja, misalnya, saya kan harus
nyobain dulu. Dari coba-coba itulah akhirnya saya jadi kecanduan.”
Ari juga diam-diam
mempraktikkan berbagai percobaan tentang ilmu ‘permabukan’. Ia tidak hanya
mencampur bir dengan soft drink, tapi juga dengan berbagai jenis minuman keras
lain. Ia bahkan mulai mengenal berbagai jenis obat terlarang. Ia mengakui,
sejak masuk SMA kehidupannya mulai liar. Hampir setiap malam Minggu dia mabuk
bersama teman-teman se-geng-nya.
Namun, sejauh itu Ari merasa masih bisa mengendalikan diri dan emosinya.
Setidaknya, ia yakin tidak bakal kecanduan. Keyakinan diri yang kelewat kuat
itulah yang akhirnya membuahkan malapetaka berkepanjangan. Karena merasa sudah
terbiasa mabuk, Ari mengiyakan saja saat ia ditawari mencicipi putaw oleh salah
seorang personel band Slank, yang menyebutnya sebagai ‘barang baru’ yang luar
biasa mengasyikkan.
Ternyata dia salah
besar. Tanpa benar-benar disadari, tahu-tahu dia sudah tenggelam begitu jauh.
”Saya itu aslinya anak kuper,” Ari berterus terang. ”Saya tak punya banyak
teman sehingga saya lebih suka menyendiri. Putaw membuat saya bisa bersembunyi
dari publik.”
Delapan bulan kemudian,
barulah dia sadar bahwa dirinya kecanduan berat. Tepatnya, pada Mei 1994. Waktu
itu ia sedang pulang ke Surabaya. Karena tak mengonsumsi putaw seharian,
mendadak ia sulit sekali tidur. Padahal, saat itu untuk mendapatkan putaw di
Surabaya masih sangat sulit. Karena sudah tak tahan lagi, esok paginya ia
langsung kembali ke Jakarta, agar bisa secepatnya mendapatkan putaw.
Di saat yang sama, Dewa
19 sedang mempersiapkan album ketiga mereka, Terbaik Terbaik. Ari mengenang,
saat berada di studio rekaman, sekujur tubuhnya tiba-tiba kedinginan, perutnya
mulas, tenggorokan gatal, dan ingin muntah-muntah. Belakangan ia baru tahu
bahwa begitulah keadaan seseorang yang sedang sakaw (putus zat).
Namun, ketika seorang
temannya menawari putaw, Ari masih sempat menolaknya. ”Masa mau rekaman pakai
gituan!” katanya, polos. Ia lantas minum obat-obatan biasa, sekadar untuk
meringankan rasa sakit. Tapi, meski telah minum beberapa tablet, tidak ada
perubahan sama sekali. “Akhirnya, saya terima juga tawaran putaw itu. Anehnya,
tidak lama kemudian saya langsung sembuh. Dari situlah saya menyadari bahwa
saya sudah kecanduan!”
Dipecat Dari Dewa 19
Srie, ibunda Ari,
akhirnya harus menyerah setelah hampir dua tahun berjuang melawan gerogotan
kanker payudara. Srie akhirnya tiba di pengujung kehidupan duniawinya. Di
sisinya, sang suami terduduk lunglai tanpa daya.
Sudah terbayang di
benak kakek 10 cucu ini, bagaimana berat dan peliknya kehidupan yang harus ia
hadapi ke depan. Namun, yang paling memberatkan hatinya adalah kondisi anak
bungsunya. “Sejak diberi tahu bahwa Ari menjadi pecandu putaw, saya merasa
dunia kiamat!” kenang Bernard dengan mata menerawang.
Setelah pensiun sebagai
pejabat Perhutani di Madiun, Bernard dan istrinya pindah ke Pekanbaru, Riau,
selama dua tahun. Ia diminta memimpin salah satu perusahaan HPH di sana. Hari
masih pagi ketika Onny --anak sulungnya yang menetap di Yogya-- tiba-tiba
menelepon sang ayah di kantornya di Pekanbaru, sekitar akhir 1995. Dengan suara
bergetar dan tersendat-sendat, Onny menyampaikan berita itu, “Pa, Ari kena
narkoba....”
Bagai dipukul godam,
pandangan Bernard mendadak gelap dan tubuhnya sempoyongan. Sebagai direktur
utama, jelas ia tidak ingin musibah yang menimpa keluarganya itu diketahui anak
buahnya dan mengganggu tugas-tugasnya di kantor. Akhirnya ia memutuskan keluar
kantor dan pergi ke gereja. Dalam perjalanan, sambil menyetir mobil, ia
menangis tersedu-sedu.
Semula ia ingin
menumpahkan tangisnya di gereja yang tidak jauh dari kantornya. Tapi, niat itu
ia urungkan, karena khawatir akan mengundang pertanyaan orang. Akhirnya, ia
hanya menjalankan mobilnya tanpa tujuan, dan akhirnya berhenti di pinggir
sebuah lapangan. Di situlah ia mencoba berserah diri dan memohon
pertolongan-Nya. Tak lama kemudian, ia dan istrinya memutuskan kembali ke
Surabaya untuk mendampingi anak bungsu mereka.
Masa-Masa Tergelap Dalam Cengkeraman
Narkoba
Kuliah kandas, percintaan gagal, ditendang dari dewa, jatuh miskin, dan kembali
beban orangtua. Ia merasa satu-satunya jalan keluar adalah... bunuh diri!
Meski awalnya putaw
bisa memacu keberanian dan adrenalinnya saat di panggung maupun di studio
rekaman, perlahan-lahan barang laknat itu mulai memperlihatkan wajah
sebenarnya. Selain tubuh dan batinnya makin rusak, sikap profesionalnya dalam
bermusik pun kian hancur. Selain jadwal rekaman acap kali tertunda, Dewa 19
juga pernah gagal manggung di Lampung (1997) gara-gara Ari sibuk ‘belanja’
putaw dulu untuk bekal ke Lampung, sehingga akhirnya ia ke–tinggalan pesawat.
Dewa juga pernah urung manggung di Manado, karena suara Ari tak keluar.
Perlahan-lahan, mulai timbul konflik antara Ari dan Dhani. Ke–tika makin
runcing, produser mereka –Arie Suwardi Widjaja dari PT Aquarius
Musikindo—terpaksa turun tangan. ”Makin hari, pertikaian mereka makin sengit.
Rasanya tidak mungkin lagi dipersatukan,” ujar pria yang akrab dipanggil Pak
Iin ini.
Iin bercerita, saat itu
Ari pernah mengatakan bahwa dia ingin sembuh. Ia kemudian menghilang beberapa
lama dari Dewa untuk menjalani penyembuhan. Usaha itu didukung oleh semua pihak.
Bahkan, Dhani rela memvakumkan Dewa dari semua kegiatan demi memberi kesempatan
pada Ari untuk berobat.
Suatu hari di tahun
1995, Iin bertemu lagi dengan Ari di Yogya. Ia senang sekali melihat keadaan
Ari yang tampak bugar. Tubuh dan wajahnya tampak berisi dan cara bicaranya
lancar. Kepada Iin, Ari menyampaikan niatnya untuk mundur dari Dewa 19, karena
merasa tidak enak hati pada rekan-rekan segrupnya. ”Saya ingin bersolo karier.
Bisa nggak, ya?” Ari meminta pertimbangan.
Tapi, semua itu ternyata hanya tinggal niat. Berkali-kali meng–ikuti program
penyembuhan, berulang kali pula ia terjerumus kembali. Akibatnya, album kelima
Dewa (1999) tak pernah terselesaikan. Ari yang berdomisili di Surabaya selalu
‘hilang-timbul’, entah pergi ke mana. Dhani yang sudah bekerja keras menyiapkan
lagu dan mengatur jadwal rekaman, akhirnya patah arang. ”Ya, sudah, mendingan
Dewa ganti formasi saja,” ujar Dhani, dalam nada tinggi.
Tapi, Iin masih belum
menyerah. Karena sulit menyatukan keinginan mereka, diputuskan mereka tetap
rekaman dengan formasi Dewa 19 yang lama, tapi hanya berisi kumpulan lagu
terbaik mereka (Best Dewa), dan Ari tetap tampil sebagai penyanyi.
Pada saat proses
pembuatan rekaman itulah Iin menyaksikan betapa hubungan Dhani dengan Ari sudah
sangat rawan. Saat itu, Dhani bahkan sudah ogah melihat tampang Ari lagi. Saat
dihubungi Iin, Ari yang saat itu di Surabaya, menyanggupi datang ke Jakarta
saat jadwal rekaman tiba. Tapi, saat Ari datang ke studio, ternyata Dhani sudah
pulang. Iin langsung menelepon Dhani. Tapi, Dhani malah meledak, ”Janjinya jam
berapa dan datangnya jam berapa? Karena molor-nya kelamaan, ya, saya
tinggal!”
Kesabaran Dhani memang
akhirnya habis sudah. Apalagi, saat itu ia sudah mendapatkan vokalis baru,
Onche. “Banyak pihak yang harus saya pikirkan. Sebenarnya, sudah sejak lama Ari
ingin keluar, tapi selalu kami tahan karena kami masih ingin melihat dia
sembuh. Tapi, akhirnya saya harus mengambil sikap tegas. Tahun 1999, Ari kami
keluarkan dari Dewa 19!”
Memutuskan Untuk Mati
Sesungguhnya kehidupan
Ari saat itu sudah sangat mapan. Uangnya melimpah ruah. Tapi, semua hasil jerih
payahnya itu ludes tanpa bekas gara-gara putaw. Menurut Ari, puncak
kehancurannya terjadi pada tahun 1998-1999. ”Hidup saya benar-benar
hancur-hancuran. Hampir setiap hari saya harus berbohong dan berutang agar bisa
mendapatkan obat itu.”
Iin hanya bisa
memandangi Ari dengan tatapan memelas. ”Ja–ngankan naik mobil pribadi, untuk
naik taksi ke studio pun ia tidak punya uang. Akhirnya, saya beri dia uang
sekadarnya untuk naik bus kota. Pokoknya, dia kere betul.”
Iin memang harus
menegakan diri menghadapi Ari yang sudah dianggapnya adik itu. ”Meski Ari masih
punya hak beberapa juta dari Aquarius, sebisa mungkin uang itu saya tahan.
Kalau saya berikan, berapa pun jumlahnya, pasti langsung ludes untuk beli
putaw,” Iin mengeluh.
Karena tak punya uang
lagi untuk beli putaw, Ari pun nekat mencuri uang dan harta benda orang tuanya.
“Semua perhiasan Mama habis saya jual. Itu pun dengan harga seadanya, pokoknya
asal ada yang mau beli,” ujar pria yang sudah 12 kali menjalani rehabilitasi,
tapi selalu terperosok lagi.
Ia pun putus asa dan gelap mata, ketika suatu hari berbagai beban kehidupan
menderanya serentak. Kuliahnya di Universitas Airlangga kandas, percintaannya
gagal, ‘ditendang’ dari Dewa, terpuruk dalam kemiskinan, dan dirinya kembali
menjadi beban orang tua. Pikiran–nya pun mendadak menjadi kalut. Ia merasa,
satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari impitan itu hanyalah
kematian.
Malam itu rumahnya
tengah kosong. Kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Tekad Ari untuk
meninggalkan dunia fana ini sudah bulat. Ia menulis surat kepada kedua orang
tua dan kakak-kakaknya. Selain mohon pamit, ia juga memohon maaf atas segala
dosa yang telah diperbuatnya.
Kali ini, ia tidak hanya menyuntikkan satu setengah gram heroin, namun juga
menenggak sebotol Johnny Walker dan 38 butir dumolit. ”Dengan cara itu, konon
mati saya akan terasa nikmat sekali. Saya akan tertidur pulas dulu dan baru
setelah itu gagal napas,” Ari mengenang dengan nada kecut.
Tapi, Tuhan ternyata
masih ingin melihat Ari menikmati dunia. Ritual kematian yang dilakukannya pada
Senin dini hari tersebut, berakhir Selasa siang. Perlahan-lahan Ari mulai
terbangun dari tidur panjangnya. Matanya perlahan mengamati sekeliling ruangan.
Ia masih di tempat yang sama. Cahaya pun masih tajam di matanya. Ia baru sadar,
usaha bunuh dirinya ternyata gagal total!
Bangkit Dari Titik Nol
Trauma berkepanjangan
pada diri istrinya, sempat membuat Ari nyaris gagal menjalani rehabilitasi
ketergantungannya pada putaw.
Cerita cinta Ari Lasso
dan Vitta Dessy Catur Purnama bagaikan kisah dalam novel. Ada keindahan,
ketegangan, kecurigaan, kesangsian, tawa, juga tangis. Kadang-kadang terkesan
dramatis, tragis, dan tak jarang sangat kekanak-kanakan. Vitta memang memiliki
trauma tersendiri, yang membuatnya sulit percaya pada pria mana pun. Kondisi
inilah yang nyaris menggagalkan upaya penyembuhan Ari dari ketergantungannya
pada putaw.
Cinta Dalam Seliter Es Krim
Peristiwa itu terjadi
di bulan April 1995. Sebagai mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi Universitas
Airlangga, Surabaya, pagi itu Vitta kebingungan mencari tempat pembayaran uang
kuliahnya. Di saat celingak-celinguk di depan Kantor Bagian Administrasi,
tiba-tiba ia didatangi seorang pemuda gondrong yang mengaku sebagai seniornya
di FE. Dengan ramah pemuda itu mengantarnya ke tempat tujuan. Namun, setelah
usai membayar, pemuda itu tetap membuntutinya.
Dua hari setelah itu, pemuda gondrong itu tahu-tahu sudah muncul di rumahnya,
di daerah Darmo Permai, mengenakan T-shirt berwarna hijau butut dan bercelana
jeans kumal. Nekat, memang. Selain kedua orang tua Vitta berprofesi sebagai
dosen, saat itu Vitta juga sudah punya kekasih yang tengah belajar di
Australia.
Kalau sedang pulang ke
tanah air, sang kekasih selalu datang ke rumah Vitta mengendarai mobil mewah,
sementara pemuda itu hanya mengendarai sepeda motor Honda GL-Pro. ”Motor itu
sampai sekarang masih ada dan tetap dirawat dengan baik di Surabaya. Benda
kenangan yang tidak mungkin akan kami lupakan...,” papar Vitta, tersenyum.
Lucunya, meski nama
Dewa 19 sudah sangat terkenal di tanah air, Vitta mengaku tidak begitu mengenal
band itu maupun vokalisnya. ”Makanya, meski orang-orang di rumah heboh karena
saya kedatangan tamu seorang Ari Lasso, penyanyi terkenal, saya, sih,
biasa-biasa saja, he...he...he...,” Vitta mengenang.
Tak hanya Vitta yang
masih punya pacar. Ari pun sebenarnya tidak sedang jomblo. Tapi, entah kenapa,
sejak bertemu gadis cantik berkulit kuning langsat dan bermata indah itu, ia
langsung bertekuk lutut. Putri keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan
Taufik Hadi dan Ruswiati Suryosaputra ini seakan terus menempel di pelupuk matanya.
Sejak pertemuan pertama di kampus, ia kasak-kusuk mencari alamat rumah gadis
itu. Beruntung, senyum manis Vitta terus mengulum sejak ia datang ke rumahnya
hingga pamit pulang.
Dua hari kemudian, Ari
datang lagi dengan membawa seliter es krim. “Saking keasyikan ngobrol,
tahu-tahu sudah pukul 9 malam. Dan, tanpa disadari, seliter es krim yang dia
bawa sudah ludes. Dari pembicaraannya, terlihat sekali kalau Ari sangat hobi
membaca. Meski saya juga hobi baca, bacaan saya tidak sebanyak dia,” ujar
Vitta, kagum.
Berjuang
Menaklukkan Hati Orang Tua
Pada awalnya, Vitta
hanya sekadar senang bergaul dengan Ari. ”Tapi, lama-kelamaan, kok, ada
perasaan klik. ‘Nah, ini dia jodoh saya!’ Meski lahir dari keluarga yang cukup
berada, ia mendapatkan rupiah demi rupiah dari keringatnya sendiri. Dia juga
sangat cool, periang, dan menyenangkan. Dia bisa membuat saya tertawa sekaligus
terlindungi,” ujar Vitta, ekspresif.
Di pihak lain, Ari
makin tertarik pada Vitta, justru karena gadis itu bukan fans-nya. ”Saya tidak
ingin cinta yang hanya karena kekaguman sesaat, bukan karena saya seorang
penyanyi atau public figure. Kalau hanya berdasarkan kekaguman, saya khawatir
cintanya tidak akan langgeng,” Ari menimpali.
Awalnya, Vitta tidak
tahu bahwa Ari adalah pecandu putaw. ”Tapi, ketika akhirnya saya tahu, saya
sudah telanjur mencintainya,” Vitta berterus terang. Masa pacaran itu makin
terasa mengasyikkan ketika Ari pindah ke Jakarta. Pertemuan yang hanya sesekali
itu justru memunculkan keindahan dan kerinduan tersendiri.
Sampai sejauh itu,
kedua orang tua mereka tampak tenang-tenang saja. Tapi, ketika mereka
menyatakan ingin menikah, barulah hambatan itu mulai muncul. Maklum, keduanya
berbeda keyakinan. Yang paling menentang adalah kedua orang tua Vitta. Apalagi,
mereka akhirnya tahu juga bahwa Ari adalah pecandu narkoba. ”Tapi, kami sudah
saling cinta banget, rasanya tidak mungkin bisa dipisahkan lagi. Apa boleh
buat, meski bebannya sangat berat, kami ngotot melanjutkan hubungan.”
Berbagai usaha sudah
mereka lakukan berdua, tapi sejauh itu belum membuahkan hasil. Sikap Vitta
jelas. Ia tidak ingin menikah dengan lelaki mana pun, kecuali Ari. Namun, ia
juga tidak akan menikah kalau kedua orang tuanya tidak merestui.
Meski Ari terus
menunjukkan kesungguhannya, orang tua Vitta bersikukuh tak merestui. Bahkan,
ketika Ari datang melamar pun tetap ditolak. Kedua muda-mudi yang dimabuk
asmara itu pun akhirnya mengambil jalan pintas. Hasilnya, mudah ditebak, Vitta
hamil.
Kali ini, barulah kedua
orang tua Vitta mengalah dan akhirnya merestui perkawinan Vitta dengan Ari. Itu
pun ketika usia kehamil-an putrinya sudah delapan bulan. Pada 4 Februari 1999,
pasangan muda ini akhirnya dinikahkan oleh Pendeta Ratna di GKJW (Gereja
Kristen Jawi Wetan) Waru, Surabaya.
Sebulan kemudian (12
Maret 1999), anak pertama mereka, Aura Maharani, lahir. ”Saya dan Ari sepakat,
hal ini tidak akan pernah kami tutup-tutupi, termasuk kepada Aura kelak, karena
semua ini kami lakukan dengan penuh kesadaran,” ujar Vitta, tersenyum.
Masa-Masa
Kritis Akhirnya Berlalu
Setelah Ari sukses
berduet dengan Melly, Iin mulai menyiapkan kembali proses pembuatan album solo
Ari yang lama terbengkalai. Bagi Iin, produksi album ini sangat melelahkan dan
sekaligus menjengkelkan karena Iin harus menghadapi para pecandu drugs. ”Saya
menghadapi anak-anak dari geng ’gila’ semua,” keluh Iin.
Meski sudah berjanji
setulus hati di depan ibunya yang tengah meregang nyawa, serta sudah menikah
dan punya anak, Ari memang belum bisa sepenuhnya lepas dari obat-obat terlarang
itu. ”Tapi, meski ogah-ogahan rekaman, saya harus tetap menyanyi dan manggung,
agar bisa menghidupi anak-istri,” ujarnya, polos.
Ari beruntung memiliki
bos sebaik Iin. Dalam menangani Ari, berbagai perasaan berkecamuk di hati Iin.
Mulai dari rasa sayang, kasihan, sedih, marah, kesal, sampai hilang kesabaran,
lebih-lebih setiap kali ia didatangi orang-orang yang menagih utang Ari.
Padahal, jangankan Iin, keluarganya pun nyaris angkat tangan menghadapi
Ari.
Meskipun begitu, Iin
belum menyerah. Saat itu ia sama sekali tak berperan sebagai produser Ari,
melainkan sebagai sahabat dan kakak. ”Saya akan bantu kamu sebisanya. Ayo, kita
tunjukkan pada semua orang bahwa kamu bisa sembuh dan mereka salah menilai
kamu!”
Ari menyetujui program
yang direncanakan Iin. Apalagi, ia pernah berjanji kepada almarhum ibunya, yang
hingga saat itu belum juga dipenuhi. Sekeluarnya dari rumah sakit untuk
detoksifikasi, ia menjalani pengasingan selama 6 bulan di sebuah apartemen yang
sudah disiapkan Iin. Ia tidak boleh menerima tamu atau telepon dari siapa pun,
termasuk dari Vitta, tanpa seizin Iin.
Ari mengakui, inilah saat-saat
paling berat dalam hidupnya. Selain harus sekuat tenaga menahan godaan untuk
terus menancapkan jarum-jarum setan itu, yang tak kalah berat adalah meyakinkan
Vitta. ”Vitta selalu beranggapan perpisahan itu adalah awal perpisahan yang
sesungguhnya,” kenang Ari, yang terakhir kali menggunakan putaw pada 30 April
2001.
Selama ia dikarantina
dan Vitta dipulangkan ke Surabaya untuk sementara, Ari mengaku hubungannya
dengan sang istri buruk sekali. Kalau tak menangis, Vitta setiap hari
marah-marah. ”Di lain pihak, kondisi mental saya juga masih labil, sedangkan
Vitta terkesan sangat kekanak-kanakan. Akibatnya, setiap kali bertemu kami
berantem.”
Vitta mengakui, sejak
menikah dan melahirkan anak pertama, ia menjadi sangat khawatir ditinggal Ari.
Maklum, ia memendam pengalaman menyakitkan menyangkut sejarah keluarga
besarnya, sehingga pernah tebersit keinginan untuk tidak akan menikah. ”Pengalaman
buruk itu menjadikan saya sulit percaya pada semua pria, termasuk pada Ari yang
sudah menjadi suami saya. Saya sangat khawatir bakal ditinggal kawin lagi oleh
Ari, dan perkawinan kami kandas di tengah jalan,” ujar Vitta, lirih.
Usai terapi
pengasingan, Ari pun memboyong Vitta dan putrinya kembali ke Jakarta. Selama
beberapa bulan, ketiganya tinggal berpindah-pindah di wilayah Jabotabek. Ari
harus memulai kehidupannya dari nol lagi. Mereka pernah tinggal di rumah paman
Ari di Bekasi, kemudian pindah ke rumah temannya yang biasa dijadikan markas
band, lalu pindah lagi ke kantor Aquarius. Saat tinggal di kantor itu, Ari
tidur di kursi tamu bersama seorang pesuruh kantor.
Pada November 2001 Ari
akhirnya mampu mengontrak rumah di Jalan Kenari, lalu pindah ke daerah Bintaro.
Ada pengalaman menggelikan saat tinggal di Bintaro. Suatu hari, karena belum
mampu membeli telepon genggam baru, ia membeli yang bekas. Celakanya, masih banyak
pesan ‘aneh-aneh’ yang tersimpan di di dalamnya. Salah satunya adalah pesan
singkat berbunyi, ”I love your massage.”
Saat Vitta membaca
pesan itu, ia langsung naik pitam. Perang pun tak terhindarkan. Hampir dua jam
keduanya bertengkar sengit, sampai-sampai Ari membanting botol yang berada di
depannya. ”Sungguh masa-masa yang sangat melelahkan,” Ari tersenyum mengenang
masa-masa kritis rumah tangganya.
Selain belum punya
rumah sendiri dan ke mana-mana naik kendaraan umum, kondisi psikis Vitta masih
rawan. Apalagi, anak kedua mereka yang masih bayi, Michael, kemudian meninggal
dunia.
Akhirnya, pelan-pelan Ari berhasil juga meyakinkan Vitta. Meski dianggap artis,
ia tak pernah keluyuran ke diskotek atau kafe, selain untuk menyanyi. “Saya
memang tergolong artis ndeso, karena tidak kenal dunia glamor atau dugem. Kalau
tidak rekaman atau manggung, saya lebih banyak di rumah atau pergi bersama
keluarga.”
Seiring berjalannya
waktu, hati Vitta mulai tenang. Kebahagiaan pasangan ini makin lengkap setelah
lahir anak ketiga, Audra Anandita, dan disusul anak keempat, Abraham Lasso.
Selain itu, sejak Ari berhenti sebagai pecandu putaw, rezekinya bagai hujan
dari langit. Kurang dari lima tahun setelah bersolo karier, Ari sudah mampu
membeli sebidang tanah dan rumah di pojok Jalan Camar, Bintaro, yang lumayan
luas.
Penutup
Bangunan yang lama
dirobohkan, dan kemudian dibangun lagi sesuai seleranya. Kini, jadilah sebuah
bangunan minimalis gaya Eropa berlantai dua, lengkap dengan kolam renang di
samping rumahnya. Buah manis dari perjuangan panjang yang sangat menyakitkan, melelahkan,
dan menguras kesabaran.
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Ari_Lasso
http://kopi-pasta.blogspot.com/2012/08/petualangan-panjang-ari-lasso.html