Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri

Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri

Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri



PADA 9 Desember 2020 Indonesia akan melaksanakan pilkada di 270 daerah pemilihan meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 27 kota. Berbagai pro-kontra berseliweran mengiringi niatan pemerintah yang melaksanakan kontestasi elektoral daerah di tengah kondisi pandemi Covid-19.

Terlepas dari pro-kontra, pada kenyataannya prosesi Pilkada 2020 diawali dengan tontonan politik yang menyedihkan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat setidaknya terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan pada saat pendaftaran bakal calon. Begitu pun saat kampanye yang umumnya berupa pertemuan tatap muka telah terjadi 306 pelanggaran protokol kesehatan.

Bawaslu juga telah merekomendasikan untuk mendiskualifikasi sejumlah calon petahana lantaran diduga melakukan penyalahgunaan wewenang. Modusnya mulai dari penggantian pejabat daerah hingga politisasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) Covid-19 yang semuanya ditujukan untuk memuluskan jalan pemenangan sang petahana di pilkada.


Beberapa pihak meragukan jika pilkada tahun ini bakal bebas dari politik transaksional. Pasalnya, berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 82% calon kepala daerah tidak dibiayai uang sendiri, melainkan didanai sponsor. Relasi simbiosis mutualisme antara cukong dan pasangan calon inilah ditengarai yang membidani praktik korupsi yang akan mewarnai jalannya pemerintahan daerah selama lima tahun ke depan.


Melaksanakan pesta demokrasi di masa pandemi ini juga bukanlah menjadikan nihil praktik politik uang. Bisa jadi para kandidat menyamarkan pemberian uang atau barang kepada masyarakat dengan dalih bantuan kemanusiaan, padahal misinya adalah memperoleh simpati dan mengarahkan preferensi politik masyarakat kepadanya.


Narasi (Nir) Kepahlawanan

Jika mencermati fenomena politik di atas, tebersit jelas bahwa narasi kepahlawanan masih jauh dari praktik berpolitik kita hari ini. Jangankan berharap menampilkan sosok patriotik layaknya tokoh pahlawan di era prakemerdekaan, budaya politik saat ini justru malah mendestruksi sendi-sendi demokrasi yang telah lama dibangun.


Kita memang telah memiliki banyak regulasi untuk membangun kontestasi politik yang sehat, sayangnya sampai saat ini masih belum bisa memberikan dampak pendewasaan sikap berdemokrasi para elite politik.

Alih-alih elite partai politik seringkali lantang berkumandang bahwa rakyat sebagai basis legitimasi mereka dan yang mereka suarakan adalah suara rakyat. Faktanya, banyak di antara mereka yang jalan berpolitiknya justru kerap mencederai perasaan rakyat, bahkan mengancam keselamatan rakyat.


Coba kita merenung sejenak apakah jajaran nama seperti Soekarno, Soedirman, Tan Malaka, Agus Salim, Sutomo, dan segudang tokoh pahlawan lain yang dimiliki bangsa Indonesia bekerja hanya untuk mewujudkan berahi kekuasaan personal ataupun komunal (sektarian)? Sedikit pun kita tidak melihatnya. Justru tanpa eksistensi kuatnya visi-misi, kecerdasan, dan kematangan berpolitik, pengesampingan segala kepentingan personal, hingga pertaruhan nyawa, maka atmosfer kemerdekaan yang kita rasakan saat ini mungkin tidak akan pernah terwujud.


Kita juga perlu berefleksi diri jika setiap ajang suksesi kepemimpinan yang kita laksanakan lebih berwajah konfrontasional. Perbedaan pandangan politik kerap memecah kohesi sosial. Sesama warga negara saling tikam, saling menyebar kebencian, memfitnah, dan merendahkan akal sehat. Semua dibangun hanya karena landasan diferensiasi politik.


Para founding fathers kita sesungguhnya telah memberi suri teladan bahwa bagaimanapun runcingnya perbedaan pandangan, haruslah tetap mengedepankan dialog untuk bermusyawarah mufakat. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana terjadi silang pendapat antara Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, M Yamin, Supomo, dan lainnya dalam rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia di BPUPKI dan PPKI. Namun, semuanya diakhiri dengan kesepakatan demi kemaslahatan bangsa. Spirit persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi ataupun golongan.


Semestinya narasi kepahlawanan yang sudah lama padam dalam praktik berdemokrasi perlu dinyalakan kembali. Pilkada harus dikembalikan khitahnya, bukan semata ajang kontestasi perebutan kekuasaan absah lokal. Namun, pelaksanaan pilkada beserta seluruh hasilnya harus lebih mendekatkan diri kepada gagasan kebaikan bersama (bonnum commune).


Pilkada beserta hasilnya harus menggaransi sekaligus memberikan harapan baru bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Para elite politik beserta para pasangan calon harus segera menghentikan praktik politik ala Machiavellian. Mereka harus bergegas menyandarkan kapal politik pada dermaga moral-spiritualitas. Bukankah semua tindakan kita berisiko dan akan berlabuh pada sebuah pertanggungjawaban? Oleh karenanya, semua komponen bangsa harus duduk bersama mencari jalan keluar untuk memutus mata rantai pragmatisme politik.


Sejatinya seorang pemimpin (calon kepala daerah) harus menjadi pahlawan bagi dirinya dan rakyatnya. Seorang pemimpin pantang menjadi liar tak terkendali menuhankan hawa nafsu kekuasaannya. Menghidupkan kepahlawanan dalam diri seorang pemimpin akan mampu mengawal, memberi solusi, serta mencapai tujuan atas amanah kepemimpinannya.

Meminjam pendapat psikolog Carl S Pearson bahwa orang-orang biasa dapat menciptakan kehidupan luar biasa jika mampu mendayagunakan apa yang disebutnya sebagai mitos tentang fitrah kepahlawanan dalam diri (the power of mythic archetypes). Pearson menyatakan, usaha menghidupkan kepahlawanan dalam diri memerlukan transformasi hidup secara kontinyu. Manusia harus melalui tahapan dari fase penderitaan (orphan), pengembaraan (wanderer), kependekaran (warrior), komitmen pada kebajikan yang luhur (altruist), kebahagiaan (innocent), dan akhirnya mampu menciptakan kehidupan seperti yang diinginkan (magician).

 

Politik Tahu Diri

Melaksanakan pesta demokrasi di kala darurat kesehatan bukanlah hal yang mudah dan murah. Bayangkan biaya untuk pelaksanaan pilkada tahun ini membengkak berkisar Rp15 triliun. Belum lagi keribetan para penyelenggara pemilu untuk mengawal proses pilkada ini dengan protokol kesehatan. Semua mekanisme dan prosedur pilkada harus diselaraskan dengan aspek keamanan kesehatan masyarakat. Jangan sampai pilkada ini memunculkan kluster baru penyebaran Covid-19.

Oleh karenanya, bagi para elite politik dan setiap paslon sekiranya agar sadar diri dan penuh khidmat memahami bahwa pelaksanaan pilkada tahun ini perlu effort yang luar biasa dari berbagai elemen. Untuk menyukseskan itu, lagi-lagi membutuhkan pengorbanan rakyat sebab untuk memberikan suaranya saja, warga harus berkorban menghilangkan rasa takut akan terpapar Covid-19 baik di perjalanan menuju TPS maupun di TPS itu sendiri. Apakah para elite politik dan pasangan calon itu tetap tega mengkhianati jerih payah warga yang memilihnya?


Para pasangan calon harus benar-benar menjadi insan yang “tahu diri” bahwa sumber legitimasi kekuasaannya dan jalan sukses kepemimpinannya adalah berasal dari rakyat. Kepemimpinan yang tahu diri pada hakikatnya akan menciptakan pemimpin yang amanah, dan setiap tindakannya akan bersandarkan pada nilai-nilai moral.



Semoga melalui politik tahu diri disertai aplikatif penanaman nilai kepahlawanan setiap pasangan calon dan elite politik diharapkan mampu membawa pilkada tahun ini menuju proses berdemokrasi yang lebih sehat dan bermartabat.



Firna Novi Anggoro

Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama