Janji Suci Pernikahan Katholik

Janji Suci Pernikahan Katholik



Pernikahan adalah bagian dari realitas sosial. Realitas sosial ini bahkan ditopang oleh institusi pemerintah, agama dan budaya. Karenanya, kita menjadi familiar dengan pernikahan di catatan sipil, di lembaga agama tertentu dan pernikahan secara adat.

Semuanya ini terjadi karena dua orang, pria dan wanita, merasa dan menyadari ada kecocokan di antara mereka. Tentunya, kecocokan ini didahului oleh rasa cinta -- suka sama suka -- di antara kedua belah pihak.

Kecocokan ini pun bermuara pada keputusan untuk menikah. Keputusan menikah ini seyogianya merupakan hasil dari pertimbangan yang cukup matang dan bukan asal-asalan. Tujuannya agar keberlangsungan hidup pernikahan itu berjalan untuk waktu yang lama atau bahkan berlangsung seumur hidup.

Dalam sebuah ritus pernikahan, umumnya kedua mempelai mengikrarkan janji untuk hidup bersama. Pengikraran janji ini merupakan bentuk pengakuan kalau pasangannya itu akan menjadi seorang istri atau suami sah dalam masa kehidupan mereka.

Dengan itu pula, janji itu tidak hanya diingat dan dikenang, tetapi lebih dari itu, janji itu mesti dijaga dalam kehidupan sebagai suami-istri dan dalam sebuah keluarga



Menjaga sebuah janji tidaklah gampang. Ada pelbagai tantangan dan tawaran yang bisa membelokkan pikiran dan perasaan seseorang.


Hal itu bisa berujung pada penyangkalan pada janji yang telah dibuatnya saat pernikahan. Penyangkalan pada janji itu bisa menghadirkan pelbagai macam konsekuensi.

Konsekuensi pertama tentunya adalah keretakan relasi antara kedua belah pihak yang bisa berujung pada perceraian.

Penyangkalan pada sebuah janji nikah acap kali menghadirkan keretakan dan ketidakharmonisan pada hubungan yang sudah terjalin sekian waktu. Kalau keretakan itu tidak segera diperbaiki, perpisahan dan perceraian bisa menjadi pilihan.

Konsekuensi lain dari penyangkalan pada janji nikah itu adalah kepada pihak-pihak yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam hubungan ini. Pihak-pihak itu bisa berupa keluarga kedua belah pihak dan anak-anak.

Pastinya ada rasa tidak nyaman dan kecewa dari keluarga kedua belah pihak kalau kedua pasangan yang diharapkan itu mesti berakhir pada perceraian.

Dampak lainnya kepada anak-anak. Perceraian bukanlah perkara gampang pada perkembagan mentalitas anak-anak. Apalagi kalau anak-anak belum terlalu paham dan tidak menerima realitas itu.

Terlebih lagi kalau kedua belah pihak tidak memberikan penjelasan dan pemahaman yang baik kepada anak tentang realitas yang terjadi. Hal itu bisa saja mempengaruhi perkembangan mentalitas anak-anak.

Bisa saja ada sakit hati dan kecewa pada diri anak-anak tentang adanya keluarga yang dimilikinya dan kehadiran dirinya di tengah keluarga tersebut. Kalau hal ini tidak diolah dengan cara yang tepat, hal ini bisa berujung pada karakter, pilihan, dan keputusan hidup anak yang tidak diinginkan.



Jagalah Janji Nikah, Cara Orangtua Mendidik Anak

Pilihan utama dan pertama dalam mendidik seorang anak adalah lewat menjaga janji pernikahan. Saat sepasang suami-istri setia menjaga janji yang mereka ikrarkan, saat itu pula mereka menunjukkan nilai dan makna penting dari kehidupan berkeluarga.

Tetapi saat kedua belah pihak tidak menjaga janji itu, bisa jadi anak-anak tidak melihat makna di balik hidup pernikahan dan berkeluarga. Jadi, pelajaran penting dari kehidupan berkeluarga adalah menjaga janji pernikahan sebelum menanamkan nilai-nilai moral lainnya.

Janji pernikahan itu melingkupi kesetiaan untuk selalu bersama sebagai sebuah keluarga. Janji pernikahan itu nampak pada tanggung jawab dalam membina rumah tangga dan mengarahkan anak-anak pada pendidikan yang baik dan benar.

Biasanya janji pernikahan itu bergantung pada apa yang tertera seturut aturan dan kebijakan institusi pemerintahan, agama dan budaya.

Misalnya, dalam agama Kristen Katolik. Kedua pasangan berjanji untuk menghidupi pernikahan mereka seumur hidup mereka. Janji itu diikrarkan lewat ritus di Gereja dan disaksikan oleh pemimpin upacara (pastor), keluarga dari kedua belah pihak dan undangan lainnya.

Jadi, secara umum siklus kehidupan berkeluarga menyangkut kesetiaan untuk menjaga janji nikah yang sudah diucapkan untuk sekian waktu. Kalau bisa, janji itu dijaga hingga akhir kehidupan dari kedua bela pihak.

Banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari kesetiaan dalam menjaga janji nikah. Hal itu bisa mengajarkan tentang makna hidup suami-istri.

Kehidupan suami-istri bukanlah sesuatu yang dicemaskan dan ditakuti karena penyangkalan pada janji pernikahan.

Sebaliknya, keutuhan dan kesetiaan suami-istri adalah bagian dari kenyataan sosial yang memberikan makna dan nilai pada kehidupan sosial kita.

Makna dan nilai itu bisa mempengaruhi kehidupan banyak orang, termaksud perkembangan mentalitas anak-anak. Jadi, makna dari menjaga janji nikah tidak saja memberikan dampak pada kedua pasangan, tetapi hal itu berdampak pada konteks yang lebih luas.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama