Pernikahan adalah bagian dari realitas sosial. Realitas sosial ini bahkan
ditopang oleh institusi pemerintah, agama dan budaya. Karenanya, kita menjadi
familiar dengan pernikahan di catatan sipil, di lembaga agama tertentu dan
pernikahan secara adat.
Semuanya ini terjadi
karena dua orang, pria dan wanita, merasa dan menyadari ada kecocokan di antara
mereka. Tentunya, kecocokan ini didahului oleh rasa cinta -- suka sama suka --
di antara kedua belah pihak.
Kecocokan ini pun
bermuara pada keputusan untuk menikah. Keputusan menikah ini seyogianya
merupakan hasil dari pertimbangan yang cukup matang dan bukan asal-asalan.
Tujuannya agar keberlangsungan hidup pernikahan itu berjalan untuk waktu yang
lama atau bahkan berlangsung seumur hidup.
Dalam sebuah ritus
pernikahan, umumnya kedua mempelai mengikrarkan janji untuk hidup bersama.
Pengikraran janji ini merupakan bentuk pengakuan kalau pasangannya itu akan
menjadi seorang istri atau suami sah dalam masa kehidupan mereka.
Dengan itu pula, janji
itu tidak hanya diingat dan dikenang, tetapi lebih dari itu, janji itu mesti
dijaga dalam kehidupan sebagai suami-istri dan dalam sebuah keluarga
Menjaga sebuah janji tidaklah gampang. Ada pelbagai tantangan dan tawaran yang
bisa membelokkan pikiran dan perasaan seseorang.
Hal itu bisa berujung pada penyangkalan pada janji yang telah dibuatnya saat
pernikahan. Penyangkalan pada janji itu bisa menghadirkan pelbagai macam
konsekuensi.
Konsekuensi pertama
tentunya adalah keretakan relasi antara kedua belah pihak yang bisa berujung
pada perceraian.
Penyangkalan pada
sebuah janji nikah acap kali menghadirkan keretakan dan
ketidakharmonisan pada hubungan yang sudah terjalin sekian waktu. Kalau
keretakan itu tidak segera diperbaiki, perpisahan dan perceraian bisa menjadi
pilihan.
Konsekuensi lain dari
penyangkalan pada janji nikah itu adalah kepada pihak-pihak yang secara
langsung dan tidak langsung terlibat dalam hubungan ini. Pihak-pihak itu bisa
berupa keluarga kedua belah pihak dan anak-anak.
Pastinya ada rasa tidak
nyaman dan kecewa dari keluarga kedua belah pihak kalau kedua pasangan yang
diharapkan itu mesti berakhir pada perceraian.
Dampak lainnya kepada
anak-anak. Perceraian bukanlah perkara gampang pada perkembagan mentalitas
anak-anak. Apalagi kalau anak-anak belum terlalu paham dan tidak menerima
realitas itu.
Terlebih lagi kalau kedua belah pihak tidak memberikan penjelasan dan pemahaman
yang baik kepada anak tentang realitas yang terjadi. Hal itu bisa saja
mempengaruhi perkembangan mentalitas anak-anak.
Bisa saja ada sakit
hati dan kecewa pada diri anak-anak tentang adanya keluarga yang dimilikinya
dan kehadiran dirinya di tengah keluarga tersebut. Kalau hal ini tidak diolah
dengan cara yang tepat, hal ini bisa berujung pada karakter, pilihan, dan
keputusan hidup anak yang tidak diinginkan.
Jagalah Janji Nikah, Cara Orangtua
Mendidik Anak
Pilihan utama dan
pertama dalam mendidik seorang anak adalah lewat menjaga janji pernikahan. Saat
sepasang suami-istri setia menjaga janji yang mereka ikrarkan, saat itu pula
mereka menunjukkan nilai dan makna penting dari kehidupan berkeluarga.
Tetapi saat kedua belah
pihak tidak menjaga janji itu, bisa jadi anak-anak tidak melihat makna di balik
hidup pernikahan dan berkeluarga. Jadi, pelajaran penting dari kehidupan
berkeluarga adalah menjaga janji pernikahan sebelum menanamkan nilai-nilai
moral lainnya.
Janji pernikahan itu melingkupi kesetiaan untuk selalu bersama sebagai sebuah
keluarga. Janji pernikahan itu nampak pada tanggung jawab dalam membina rumah
tangga dan mengarahkan anak-anak pada pendidikan yang baik dan benar.
Biasanya janji
pernikahan itu bergantung pada apa yang tertera seturut aturan dan kebijakan
institusi pemerintahan, agama dan budaya.
Misalnya, dalam agama
Kristen Katolik. Kedua pasangan berjanji untuk menghidupi pernikahan mereka
seumur hidup mereka. Janji itu diikrarkan lewat ritus di Gereja dan disaksikan
oleh pemimpin upacara (pastor), keluarga dari kedua belah pihak dan undangan
lainnya.
Jadi, secara umum siklus kehidupan berkeluarga menyangkut kesetiaan untuk
menjaga janji nikah yang sudah diucapkan untuk sekian waktu. Kalau bisa, janji
itu dijaga hingga akhir kehidupan dari kedua bela pihak.
Banyak pelajaran yang
bisa diperoleh dari kesetiaan dalam menjaga janji nikah. Hal itu bisa
mengajarkan tentang makna hidup suami-istri.
Kehidupan suami-istri
bukanlah sesuatu yang dicemaskan dan ditakuti karena penyangkalan pada janji pernikahan.
Sebaliknya, keutuhan
dan kesetiaan suami-istri adalah bagian dari kenyataan sosial yang memberikan
makna dan nilai pada kehidupan sosial kita.
Makna dan nilai itu
bisa mempengaruhi kehidupan banyak orang, termaksud perkembangan mentalitas
anak-anak. Jadi, makna dari menjaga janji nikah tidak saja memberikan dampak
pada kedua pasangan, tetapi hal itu berdampak pada konteks yang lebih luas.