Antara Kami, Mama Desy,
Dan Benang Yang Kini Putus Pada Suara Mesin Jahit
(Butir
keringat menjadi saksi jerat derita yang ia rasa, Pada rasa yang tersisa, fajar
tak mungkin bisa kembali)
Dimulainya
mengumpulkan perca-perca ingatan bersama nenek
Jarum mulai menusuk-nusuk menyambung kenangan yang terkumpul
Sakit, tapi ibu kelihatan tenang dan damai
Selamat menjahit bu, ceritakan nanti jika sudah jadi sehelai pakaian ingatan.
Ibu kain itu belum selesai menjadi
pakaian bu….
Engkau pergi meninggalkan duka
Mama
Desy itulah sapaan yang kami berikan untuk ibu yang adalah seorang penjahit populer
dan rendah hati di wilayah Koting A, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka Maumere.
Ruang kerjanya ada di bagian paling depan rumah kami, berbagi dengan ruang
tamu. Di ruang kerja ibu terdapat sebuah mesin jahit Butterfly. Kau tahu? Itu adalah mesin jahit yang punya dua roda
untuk menggerakkannya. Satu di bagian kepala, ukurannya kecil. Satu lagi di
bagian kaki, ukurannya seperti roda sepeda. Tanganku sering gatal ingin
memainkan roda yang di bagian kepala. Ibu akan buru-buru menghentikanku jika
tanganku mulai mendekatinya.
Sebuah
meja kayu berukuran panjang diletakkan melintang berlawanan arah dengan mesin
jahit. Ada sebuah keranjang warna biru di atasnya. Keranjang itu berisi kain
perca. Adapun sisa ruang panjang di atas meja kayu itu ibu gunakan sebagai alas
untuk membuat pola-pola pakaian yang hendak ia jahit. Alat yang ia gunakan
untuk membuat pola adalah sebuah meteran, kapur, dan penggaris. Penggaris yang
ibu gunakan bentuknya unik, seperti gitar. Anak-anak dan cucunya sering
menjadikannya sebagai mainan juga, pura-pura main gitar.
Bisa
kau bayangkan? Meteran tergantung di leher, sebuah kapur di tangan kanan, dan
penggaris di tangan kiri. Usai pola pakaian dibuat, gunting siap mengambil
alih. Pola-pola yang telah menjadi potongan-potongan kain, siap dijahit.
Selanjutnya ibu akan duduk di balik mesin jahit. Tangan kanannya mulai memutar
roda di kepala mesin. Tangan kirinya memegangi kain di bawah jarum yang
terpasang di mesin. Sedang kakinya bersiap mengayuh pedal mesin. Lalu suara
mesin terdengar di seluruh ruang rumah kami, bahkan bunyinya sampai ke rumah
tetangga.
Jam
kerjanya dimulai saat anak-anak seelesai sarapan pagi bersamanya dan semua
keluarga yang menghuni rumah itu. Belanja, memasak, mencuci, menyapu, dan
pekerjaan sejenisnya, ia lakukan di sela-sela aktivitas menjahit. Ibu baru akan
mengakhiri pekerjaannya ketika malam telah larut, ketika kami anak-anak telah
melayang di dunia mimpi. Dan ibu selalu menjadi orang yang membangunkan kami di
pagi hari dengan irama mesin jahitnya.
Sebagai
anak-anak dari seorang penjahit, pakaian-pakaian kami anak-anak dan cucu-cucu banyak
yang terbuat dari kain perca. Ibu jahit sedemikian rupa kain-kain sisa dari
pelanggannya menjadi sebuah baju baru yang tidak bisa kutemui di pasar manapun.
Mama
Desy tidak pernah melibatkan anak-anaknya dalam pekerjaannya kecuali dalam satu
hal: membeli benang dan kain.
Barulah
semua pekerjaan semacam ini berakhir ketika ibu menghembuskan nafas yang
terakhir. Kini tidak ada lagi kegiatan membeli benang usai pulang sekolah.
Kalender tahun yang baru barusan diganti. Musim kemarau dan penghujan datang
silih berganti.
Rasanya
seperti Putra putri Tidur yang setengah mati dijauhkan dari mesin pemintal
namun pada akhirnya takdir membawanya ke sana juga. Bedanya, bukan tertidur,
aku justru hidup bersama jarum dan benang.
Mama
Desy, Tanganmu tak lagi mampu menyaingi mesin-mesin jahit. Jari-jarimu yang
hanya sepuluh terlalu kecil dihadapan satu jari yang mengetuk layar mesin
jahit. Lambat laun orang-orang yang sering memesan kepadamu untuk dibuatkan
pakaian atau mereparasi pakaian kini menghilang serupa pejuang-pejuang reformasi.
Kini
mesin jahit yang kau punya berdebu. Tempat duduk yang biasa membuat bokongmu
nyeri tak lagi pernah kau duduki, kecuali dalam waktu iseng anak-anak dan
cucu-cucumu duduk sekadar mengingat kenangan. Kenangan yang tak lekang di
bilik ingatanmu. Di mana waktu yang membeku itu pernah membuat hidupmu
lebih bermakna di dunia.
Saat
kau duduki bangku mesin jahit itu. Kepalamu berubah menjadi kereta api yang
melintasi stasiun-stasiun waktu. Suara klakson kereta api seperti bunyi mesin
jahit. Gemertak roda kereta api bak lehermu yang linu.
Di
bawah meja mesin jahit, di kamar jahit, lamat-lamat kau tatap benang dan jarum
yang tersusun rapi dalam kardus. Sempat tanganmu hendak meraih benang dan
jarum itu, tetapi kauurungkan seketika. Bukan karena kau tak tahu lagi bagaimana
caranya menjahit. Bukan! Jika saja ada orang datang untuk memintamu menjahit
baju atau menambal pakaianya, kau masih sanggup. Jahitanmu tak berubah, rapi
seperti kenanganmu saat ibumu tanggal. Hanya mesin jahit itu yang masih tersisa
untuk sekadar mengenang Mama Desy
Mesin
jahit itu sudah ada di rumah sejak mama tinggal di wilaytah Koting A. Konon
kata ibu mertuamu, mesin jahit itu sudah ada saat dia masih muda. Setelah
kembali lagi ke rumah ini, kau belajar bagaimana mengoperasikan mesin jahit
itu. Berulang kali jarimu tertusuk jarum. Tak ratanya jahitanmu. Sesekali pun
tanganmu menolak berhenti.
Ah
menulis ini membuat sedih dan rindu kepada mama Desy jadi tambah riuh.
Etos
kerja Mama Desy memberikan hasil yang menggembirakan. Dengan usaha menjahit, Mama
Desy bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Ini prestasi yang
luar biasa: seorang ibu yang menjahit bisa mencetak seorang Sarjana Ekonomi!
Saya semakin “yakin” bahwa dengan memiliki etos kerja yang kuat, pasti
berhasil. Cita-cita ibu menyekolahkan anaknya menjadi sarjana, tercapai jua.
Namun ini semua tinggal kenangan buat anak cucu.
Mama
Desy, Bahagialah bersama para kudus di surga Mama. Nikmatilah perjamuan surgawi
di taman Firdaus yang telah dijanjikanNya.
Di
akhir tulisan ini saya persembahkan sebuah sajak kehidupan untuk alm. Mama Desy
SUARA MESIN JAHIT
Sampai kini
mesin
jahit itu masih berbunyi
di dalamnya tangisi ibu dan kami anak-anak tersembunyi
Kesedihan kita sudah lewat
mestinya hanya
kegembiraan kita dapat
tapi
kenapa masih belum juga lunas
bayang-bayang hidup kita yang kandas
Ibu, kenapa masih juga
suara mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
duka malam kita tiada lagi ada?
Bukan kesedihan dan
kepedihan
namun suka cita dan
kegembiraan
memaksa kita kembali
mendengar
derita kita yang telah
silam
Pulang dari rumah sakit
tak ada yang kita punya
hanya mesin jahit
itulah harta
dengannya kita mencari
nafkah
Kuteringat, malam telah
larut
tak jauh dariku
kaududuk
mengitik lubang kancing
baju dan celana
jahitanku
Sementara kami
anak-anakmu asyik menonton TV
kutanya kepada malam
masihkah akan kami dapat
nasi
di esok hari?
Malam sedang terang
tak juga bulan dan bintang
memberiku jawaban kapan berakhir
kegelisahanku setiap malam
jari-jarimulah, Ibu,
yang menjawabku
jari-jarimu tak lelah
merapikan jahitan hidupku
tanpa kautahu bagaimana
mestinya
mengikat lagi benang-benangnya
Melihat jari-jarimu, ibu
tak kupeduli lagi
berapa kali
jarum menusuk perih
jari-jariku
makin kuat kakiku
menjejak
memacu mesin jahitku
memenuhi
nafkah kita bila esok
tiba
Nasib memaksaku
meninggalkan keindahan
tak bisa lagi aku
melukiskan kehidupan
tinggal kutanggung
bebannya
lalu kujahitkan
semuanya dalam baju dan celana
tiap hari selalu sama,
bentuk duka dan deritanya
Ibu, aku pencinta warna
yang indah
namun kularang kaupakai
pemerah
Kataku, kau sudah
cantik
tanpa pemerah bibirpun
kau tetap jelita
Sebenarnya tak kularang
kau menghias bibirmu
Aku hanya khawatir, hari ini dapat kaubeli
pemerah bibir itu,
namun belum tentu lain hari kaumampu.
Sekali kauoleskan pemerah bibir
dan kemudian pucat bibirmu
karena tak mampu kaubeli lagi hiasan itu,
cantikmu akan hilang, Ibu
aku tak mau itu terjadi
biarkanlah bibirmu tanpa pemerah apa-apa
Kini sejuta pemerah
bibir dapat kaubeli
tapi keindahan itu
sudah tak dapat lagi kita nikmati
Dalam kelimpahan kita
yang kini
bibirmu masih seperti
yang dulu
ketika kaududuk
mengitik
mendengarkan suara
mesin jahitmu
melagukan pucat
duka-duka malamku.
Ibu, kini engkau telah
pergi
Mesin jahitmu kini
tinggal kenangan
Turut berduka cita yg yg mendalam buat keluarga yg ditinggalkan🙏😭
BalasHapusMaksh atas ungkapan belasungkawanya
Hapus