Ilustrasi |
Tahun ini pemerintah meniadakan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk guru. Sebagai gantinya, guru akan diangkat melalui formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kebijakan ini menuai kontroversi.
Dalam
keterangannya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan
batas PPPK akan dibuka hingga jumlahnya mencapai 1 juta guru nantinya.
Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan PPPK ini merupakan satu solusi untuk
mengatasi masalah guru honorer atau guru kontrak di daerah-daerah yang selama
ini kesejahteraannya masih memprihatinkan.
Banyak
guru yang gajinya jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) daerah
bersangkutan. Banyak yang akhirnya memiliki pekerjaan sampingan sebagai
pengojek, membuka lembaga les belajar, atau mengajar di banyak tempat, sehingga
justru tidak optimal dalam mendampingi siswa-siswinya belajar.
Kebijakan
PPPK agaknya menjadi semacam kompromi untuk menaikkan standar gaji guru honorer,
namun statusnya pada hakikatnya tetap, yaitu tetap saja merupakan guru kontrak
yang bisa saja diputus kontrak kerjanya dan tidak mendapat pensiun. Alasan lain
sebagaimana dikemukakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) bahwa guru yang
berstatus setelah 4 atau 5 tahun mengajar minta pindah dan akhirnya mengacaukan
distribusi guru secara nasional.
Namun
alasan tersebut sebenarnya tidak semata-mata hanya dapat diatasi melalui
kebijakan PPPK. Kebijakan ikatan dinas dapat saja sebenarnya diperbarui agar
distribusi guru tetap merata di seluruh Indonesia. Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) bereaksi keras dengan menyatakan bahwa kebijakan PPPK ini
melukai para guru, bahkan merendahkan martabat guru.
Alasan
utama dari penolakan terhadap PPPK adalah hilangnya kepastian kerja, karena
PPPK merupakan mekanisme kontrak kerja antara guru dan pemerintah. Guru yang
berstatus sebagai PPPK merupakan tenaga kontrak, minimal dikontrak selama satu
tahun dan dapat diperpanjang kembali. Artinya, bisa saja guru PPPK tidak diperpanjang
lagi kontraknya sebagai guru.
Lihat Juga:
Hidup Sederhana, Hidup Sesuai Kebutuhan dan Bukan Hidup Melarat
Ajari Aku Mencintaimu, Syair Kehidupan (Puisi Musikalisasi). Taman Hati Kita
Upacara Adat "Kari Fohon" di Rumah Adat Suku Mamulak Numbei
Soal Kesejahteraan
Sebenarnya
sejak lama isu kesejahteraan guru menjadi polemik. Bukan saja soal gaji guru
honorer yang jauh di bawah UMR, melainkan juga kesejahteraan dan tunjangan guru
swasta maupun yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika ditarik ke
belakang, munculnya kebijakan sertifikasi guru juga didasari oleh motif
peningkatan kesejahteraan guru, oleh karena itu banyak studi menyatakan bahwa
sertifikasi guru tidak serta merta meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas
(lihat misalnya Fahmi et al., 2011; Syahril, 2016).
Terlepas dari problem yang melingkupinya, kesejahteraan guru menjadi hal yang
dituntut oleh para guru sejak lama walaupun dalam realitasnya tidak selalu bisa
seiring sejalan dengan mutu guru. Lebih lanjut, kesejahteraan guru menjadi isu
sentral berkaitan dengan penghargaan dan pemuliaan martabat guru. Secara
teoretik, posisi guru sangat vital dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Artinya, guru menjadi garda depan dari salah satu upaya mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Penghargaan
terhadap guru sudah sewajarnya diberikan karena posisinya yang sangat vital
tersebut. Namun penghargaan tersebut tentu harus sesuai dengan kinerja guru.
Kebijakan sertifikasi guru menjadi masuk akal di sini. Namun ketimpangan masih
terjadi, yakni pada guru honorer dan sekolah swasta pinggiran. Walau secara
faktual mereka kinerjanya lebih bagus dari guru PNS, kesejahteraan mereka tetap
memprihatinkan.
Meningkatkan
kesejahteraan guru melalui peningkatan gaji dan tunjangan merupakan penghargaan
yang menjadikan guru lebih dapat fokus pada tugasnya sebagai guru. Dengan gaji
dan tunjangan yang cukup, guru akan dapat memfokuskan dirinya dalam menjalankan
tugasnya secara profesional sebagai guru di sekolah.
Di
negara-negara maju yang cukup menghargai profesi guru rata-rata memang gajinya
besar seperti di Finlandia dan Singapura misalnya. Namun tentu saja besarnya
gaji tersebut sebanding dengan tuntutan profesi dan kinerjanya. Belajar dari
kebijakan sertifikasi guru, tentu soal kualitas guru tidak dapat ditingkatkan
melalui peningkatan gaji dan tunjangan semata. Perlu juga reformasi pendidikan
calon guru (pre-service teacher education) dan pelatihan guru yang berkelanjutan
(in-service teacher education).
Secara
sosiologis, status guru sebagai PNS merupakan jaminan kesejahteraan, oleh
karenanya tetap dilirik oleh para guru. Ada kepastian soal gaji dan tunjangan,
juga karier. Menjadi guru non-PNS oleh karenanya sering dipandang sebelah mata,
terutama oleh kalangan yang mendambakan kepastian karier dan masa depan kerja.
Di sisi lain sebenarnya banyak juga guru yang melihat justru menjadi PNS akan
banyak menghambat pencapaian diri, karena banyak sekali aturan soal penilaian
angka kredit, kepangkatan, supervisi, dan lainnya yang ribet dan
berbelit-belit. Beberapa studi juga bahkan menunjukkan bahwa mentalitas PNS
justru menghambat capaian profesionalitas guru. Studi Bjork (2005) misalnya
menunjukkan guru PNS lebih patuh pada aturan PNS ketimbang kebijakan
pengembangan profesionalitas guru yang lebih esensial.
Lihat Juga:
Inspirasi Kehidupan Dari Petani
Keberanian Masyarakat Kampung Numbei Menyebrangi Banjir Benenain Untuk Pergi Ke Kampung Kakaniuk
Barang-barang Pusaka Leluhur Uma Mane Suku Mamulak Kampung Numbei
Menimbang Solusi
Agar
rasa keadilan dapat terpenuhi, agaknya akan lebih tepat jika pemerintah tetap
membuka dua jalur bagi guru yang masih merasa bahwa pengabdian mereka akan
terjamin ketika berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu melalui
seleksi CPNS dan PPPK. Walau jelas bahwa status PNS bukan jaminan peningkatan
kualitas guru, melainkan jaminan kepastian kerja, gaji, tunjangan, dan karier.
Hal yang harus dipikirkan ulang soal kesejahteraan ini adalah (1) bisakah
pemerintah mendorong guru yang nantinya berstatus PPPK aman statusnya? Artinya,
tidak di-PHK di tengah jalan karena motif politis, bukan profesionalitas kerja;
dan (2) bisakah pemerintah mendorong PT. Taspen untuk mengusahakan mereka juga
mendapat uang pensiun nantinya? Misalnya dengan potong gaji tiap bulan, toh
gaji PPPK disamakan dengan PNS.
Kedua
hal tersebut penting, karena itulah yang selama ini disoal oleh para guru
honorer ketika mereka terombang-ambing dalam kontrak kerja dengan gaji minim.
Mereka sudah kenyang pengalaman bekerja dalam tekanan ekonomi dan politik,
yakni mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh oknum senior di sekolah
walau tanpa imbalan atau penghargaan sama sekali hanya agar ia dapat bertahan
bekerja sebagai guru.
Dalam
isu kesejahteraan guru ini, dengan jenjang karier dan gaji yang sama antara
guru PPPK dan PNS, soal kepastian kerja dan pensiun perlu mendapat perhatian
lebih.
Edi
Subkhan pengajar Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semaran
Artikel ini diambil dari:
https://news.detik.com/kolom/d-5351782/kebijakan-pppk-guru-tepatkah