Ilustrasi |
Seorang anak laki-laki usia kelas 1 atau 2 SD,
berseragam Pramuka, tampak kebingungan sambil setengah menangis. Dia diminta
gurunya menghitung 5 x 3. Anak itu bingung. Sekali waktu dia menjawab
"Sebelas!", kali lain menjawab "Ti...ga..." dengan
ragu-ragu.
"Ini di tangan kananmu ada lima, di tangan
kirimu ada lima, di jidatmu ada lima lagi. Ayo, dihitung lima kali tiga itu
lima, ditambah lima, ditambah lima," begitu kata Mbak Guru sambil
terkekeh-kekeh geli.
Si anak bingung lagi, lalu menangis lagi. Di
belakangnya, puluhan meja-kursi di kelas tampak kosong, kemungkinan semua
temannya sudah pada pulang. Anak yang bingung menghitung itu pun sudah
menggendong tas punggungnya, tapi ditahan oleh Mbak Guru karena belum selesai
menuntaskan tugas menghitung 5 x 3.
Si anak sepertinya sudah putus asa, dan mau keluar
kelas menyusul teman-temannya. Tapi Mbak Guru lagi-lagi menahannya, sambil
melakukan satu hal yang agaknya paling penting dalam tugas pedagogisnya:
memegang HP sambil mengarahkan kamera ke wajah muridnya yang berleleran air
mata. Tentu, sambil sesekali tertawa.
Video itu saya temukan sedang ramai di Twitter. Di
bawah unggahan video itu ada banyak komentar. "Lima satunya ilang ke
manaaaa?"; "Pulang dulu to Leeee!"; "Itu yang di jidatmu
gak kelihatan po lima-nya hahaha!"; "Ruweeet, ruwettt!"
Saya tercenung. Kemudian muncul pertanyaan kecil
yang sangat teknis di kepala saya, yaitu kenapa Mbak Guru itu tidak meletakkan
saja HP di tangannya, lalu mengambil kerikil atau lidi atau apa, jumlahnya 15
biji, lalu membaginya jadi 5 dan 5 dan 5 lagi, kemudian meminta muridnya itu
menghitung satu per satu kerikil-kerikil itu?
Dalam bayangan saya yang hanya sedikit penagalaman pernah
jadi guru ini, dan yang sangat bloon dalam matematika ini, langkah semacam itu
cukup mudah dipahami. Lima dikali tiga adalah lima biji kerikil yang digenggam
jadi satu, jumlahnya ada tiga genggam. Seperti itu, bukan?
Belum lama berselang, saya pun terpaksa menjadi guru
matematika untuk anak saya yang kelas 5. Anak perempuan saya itu tak kunjung
paham dengan FPB dan KPK (kelipatan persekutuan terkecil, bukan Komisi
Pemberantasan Korupsi). Saya sendiri sudah lupa, atau memang dulu tak pernah
paham dengan materi pelajaran yang satu itu. Tapi kemudian saya mencarinya di Youtube,
dan ketemulah penjelasannya.
Lihat Juga:
Melonjak! Ini Daftar 108 Wilayah RI yang Masuk Zona Merah Corona
Keajaiban Tuhan, Korban Gempa Sulawesi Barat Selamat Setelah 4 Hari Terkubur Reruntuhan Bangunan RS
Akhirnya, saya menderetkan kelipatan-kelipatan dari
tiga bilangan, berjajar-jajar panjang sekali. Sampai kemudian ketemulah satu
bilangan yang sama untuk ketiganya, dan menjadi bilangan kelipatan
"persekutuan". Anak saya paham, saya sendiri pun jadi lebih paham,
dan kami berdua bahagia selamanya.
Maka, saya agak heran, kenapa Mbak Guru lebih suka
memegang kamera HP alih-alih mengambil kerikil-kerikil? Bukankah bagi si murid
menghitung kerikil akan lebih mudah dimengerti daripada membayangkan lima titik
di jidatnya sendiri?
Saya tidak punya informasi kapan video itu diambil.
Bisa baru saja, atau sudah produk lama. Tapi mari bayangkan suasana kita pada
hari-hari ini. Kita sudah cukup lama, hampir setahun penuh, terjebak dalam
situasi yang menyebalkan. Segenap tugas kehidupan yang sewajarnya dijalankan
secara maksimal terpaksa dilakukan dalam mekanisme kompromis berupa sistem
daring.
Saya tahu, ada banyak hal yang dapat diadaptasikan.
Toh, tak sedikit wilayah aktivitas yang justru lebih efektif jika dijalankan
secara jarak jauh. Misalnya aneka jenis pertemuan dan diskusi,
pekerjaan-pekerjaan berbasis online, dan sebagainya. Tetapi, ternyata
beberapa hal tetap menanti sentuhan suasana perjumpaan antarmanusia, dalam
interaksi-interaksi yang lebih "bernyawa". Dunia pendidikan salah
satunya.
Beberapa kawan saya yang berprofesi guru pun
mengkhawatirkan soal-soal begitu. Betul bahwa materi-materi pelajaran yang
bersifat kognitif bisa ditransfer dari guru kepada murid, sebisa-bisanya.
Namun, bagaimana dengan pendidikan karakter? Karakter adalah wilayah yang so
human. Ia bisa diajarkan secara maksimal hanya jika ada interaksi dan
komunikasi yang juga maksimal, dan interaksi serta komunikasi yang maksimal
rasa-rasanya cuma akan tercapai melalui perjumpaan.
Lihat Video: Sekolah dan Balada Corona (Sajak Jalan Setapak), Fenomena Pendidikan di masa pandemi Covid 19
Karena itulah, para orangtua murid dan para guru
sendiri menyimpan kerinduan akan kembalinya sekolah tatap muka, di tengah
situasi pandemi yang masih saja tak jelas juntrungannya. Dan, dalam suasana
galau begini, bisa-bisanya malah tersebar video seorang guru yang lebih suka
memviralkan kekurangan muridnya, daripada berjuang keras membuat muridnya
mengerti sesuatu yang tak kunjung dipahaminya.
Tenang, Saudara! Saya tahu pasti, Mbak Guru yang
saya ceritakan di atas itu sama sekali bukan representasi para guru di
Indonesia. Ia cuma kasus, atau oknum kalau istilah Orba-nya. Dan saya yakin dia
pun bukan sejenis guru yang jahat atau sejenis itu. Ia cuma kurang
sensitivitas, dan bisa jadi merupakan salah satu tipe saja dari "korban
suasana".
Namun, dari situ kita bisa melihat bahwa apa yang
saya sebut "suasana" itu telah sangat menguasai kita. Selama
bulan-bulan pahit yang kita lalui belakangan ini, ke-daring-an telah begitu
menyatu dengan alam bawah sadar kita. Apa yang semula kita rencanakan sebatas
sebagai sarana, malah kemudian terlalu menubuh bersama diri kita.
Maka, seorang kawan lain bercerita bagaimana sarana
belajar daring membuat banyak muridnya dilaporkan terjebak candu game
online, bahkan terseret video-video porno yang (ternyata) sangat mudah ditonton
di akun-akun Twitter. Kendali yang tak mudah atas akses informasi (karena HP
dan internet sudah dipegang sehari-hari) membuat banyak anak ibarat ular-ular
kobra yang berhamburan lepas dari sarangnya.
Dan, hari-hari minim kontrol di tengah situasi serba
daring ini telah dengan sangat drastis menggeser alam pikiran siapa saja. Mulai
murid, gurunya, dan kita semua.
Maka, tak usah heran-heran amat melihat para pejabat
publik lebih sibuk mengurusi konten akun medsosnya, mengisinya dengan
aksi-aksi viralable, ketimbang menjalankan kewajibannya dalam pengelolaan
kepentingan publik yang menjadi tanggung jawabnya. Sebelum pandemi, dunia
daring memang telah menguasai kita, tapi pasar konstituen daring selama pandemi
semakin menggiurkan saja.
Bedanya, para pejabat dan tokoh publik mana pun
memang membutuhkan amplifikasi atas secuil sisi diri mereka. Ada sisi gelap,
ada sisi terang, sebagaimana layaknya manusia biasa. Nah, yang mereka viralkan
tentu saja sisi-sisi terangnya, atau sisi gelap yang dibikin seolah-olah
terang. Hasilnya adalah persepsi dominan di mata publik luas: si tokoh akan
lebih dikenal karakter terangnya, sedangkan sudut gelapnya berhasil
disembunyikan entah di mana.
Tapi bagaimana dengan seorang anak yang diviralkan?
Sisi apanya yang diviralkan?
Beruntung sekali jika ada anak ajaib yang menjadi
objek amplifikasi saat dia sedang berada dalam performa terhebatnya. Tapi bagi
anak-anak dari jenis yang bingung dengan perkalian 5 x 3, dia akan lebih
dikenal sebagai anak bego, dengan intelegensi kurang, dan sulit diharapkan.
Lalu video itu tersebar luas, merayap cepat di lini masa, menerobos sekat-sekat
grup Whatsapp dan Telegram, lalu ditonton oleh kedua orangtuanya,
teman-temannya, tetangga-tetangganya. Kemudian hancurlah kepercayaan dirinya,
dan potensi dia yang sesungguhnya akan nyungsep nun di bawah sana.
Ah, mungkin saya cuma lebay dan sok-heroik. Tapi
kalau naluri untuk bikin konten viral memang jadi godaan bagi siapa saja,
rasanya lebih pas kalau jangan sekali-kali mengambil kelemahan anak-anak
sebagai materinya. Itu pamali terbesar.
Kalau masih saja keinginan untuk viral itu sulit
ditahan, mending main Tiktok saja. Goyang-goyang dikit, viral. Goyang-goyang
dikit, viral.
Iqbal Aji
Daryono bapak dua anak, tinggal di Bantul
Referensi: https://news.detik.com/kolom/d-5340197/ketika-bu-guru-sibuk-memviralkan-muridnya