Presiden Tanzania, John Magufuli |
Tanzania,
sebuah negara di pesisir timur Afrika, sebelah selatan Kenya, seperti negara
lain pada umumnya, juga tak lupa dihantam pandemi COVID-19. Hanya saja yang
menjadi perhatian negara tetangga maupun dunia, Tanzania hingga 28 Januari
2021, melansir laporan WHO, hanya melaporkan 509 kasus konfirmasi positif
dengan 21 kematian.
Hal
ini kemudian dianggap ‘kesuksesan’ dan diamplifikasi oleh kelompok masyarakat
yang meyakini bahwa COVID-19 adalah konspirasi. Namun minimnya angka konfirmasi
membuat baik pihak oposisi maupun negara tetangga skeptis bahwa angka tersebut
merupakan gambaran riil pandemi di Tanzania.
Adalah
Presiden John Magufuli yang pada Maret 2020 saat awal pandemi di Tanzania
menggelar doa nasional dan meminta warganya ‘cukup berdoa’ karena menurutnya
“Corona adalah setan. Ia tidak akan bertahan hidup di tubuh Kristus. Ia akan
terbakar”. Pidato itu sampaikan pada 22 Maret di gereja di ibu kota Tanzania,
Dodoma.
Lihat
Juga:
- Salut! Buah Perjuangan Mahasiswi Yatim-Piatu di USU: Lulus-Dapat Motor dari Rektor
- Wanita Ini Jadikan Suami yang Tidur sebagai Model Jual Pakaian, Bikin Geleng Kepala
- Curhat Mahasiswa Diberi Nilai C karena Tak Beli Buku dari Dosennya
Berdasarkan
laporan WHO, Tanzania mencatat lima kasus positif pertamanya pada 17 Maret
2020. Puncak kasus harian terjadi pada 30 April 2020 dengan 180 kasus baru.
Tanzania terakhir melaporkan kasus konfirmasi pada 8 Mei 2020 dengan 29 kasus.
Total menjadi 509 kasus konfirmasi dengan 21 kematian. Sebulan berikutnya,
Magufuli mengumumkan Tanzania “bebas Corona”.
Masyarakat
diminta kembali beraktivitas normal bahkan tanpa menggunakan masker. Tidak ada
pemberlakuan karantina wilayah atau pembatasan aktivitas baik di sekolah, pasar
maupun tempat ibadah.
Ia
bahkan mengkritik tokoh Muslim yang menutup masjid besar di Dar es Salaam untuk
ibadah salat Jumat demi mencegah penyebaran virus Corona.
“Sungguh
aneh melarang umat masuk ke dalam masjid yang mereka bangun sendiri. Kalau
kalian takut, biarkan yang lain pergi dan tetap beribadah. Lagipula,
omong-omong kita masih di tahap awal pandemi,” ujar Magufuli seperti
dilansir AFP.
Seiring
dengan banyaknya kritik yang dialamatkan pada terkait tudingan menyembunyikan
data COVID-19, Magufuli menyebut sempat melakukan percobaan rahasia terhadap
pepaya, kambing dan oli kendaraan yang dites COVID-19 dengan hasil positif.
“Itu
artinya ada kemungkinan kesalahan teknis atau reagen yang diimpor bermasalah,”
ujar Magufuli yang justru meragukan kemampuan laboratorium nasional
di bawah pemerintahannya sendiri.
Terakhir,
pada 27 Januari 2021 saat vaksin mulai banyak didistribusikan ke berbagai
negara dalam upaya menekan penyebaran virus, ia menyebut bahwa “vaksin COVID-19
berbahaya bagi kesehatan.”
“Kita
harus hati-hati terhadap vaksin impor ini. Kementerian Kesehatan jangan
terburu-buru,” katanya dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan televisi,
seperti dikutip AFP.
Melansir BBC, Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Afrika mendesak keras pemerintah
Tanzania untuk merilis data terbaru penyebaran virus di negara itu.
Pada
Juni 2020, Presiden Magufuli kemudian memberikan data terbatas tentang pasien
COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dan pusat kesehatan.
Ia mengatakan jumlah pasien di dua rumah sakit besar di Dar es Salaam menurun
dari 228 pasien menjadi 18, kendati ia juga tak memberikan detil lebih jelas
mengenai periodenya. Ia juga memberikan data pasien di sejumlah rumah sakit
lain di seluruh negeri.
Sejak
itu, terhitung pemerintah Tanzania sudah tiga kali memberikan data pasien
COVID-19 namun dengan cara yang sulit untuk dibuat perbandingan maupun
dianalisis.
Tanzania bukanlah sebuah negara yang memiliki pulau sendiri seperti Madagaskar--yang
mencatat kasus positif 18.743. Negara-negara tetangganya seperti Kenya mencatat
total kasus konfirmasi positif sebanyak 100.193 kasus dengan 1.750 kematian,
Uganda total kasus 39.261, kematian 318 dan Zambia yang mencatat total 47.622
kasus dan 672 kematian.
Menjadi
kecil kemungkinan penyebaran COVID-19 minim terjadi, mengingat Tanzania juga
tidak menutup perbatasan dari negara tetangga. Dalam
situs Worldometer saja, kemampuan jumlah tes COVID-19 Tanzania tidak
diketahui atau paling tidak, tidak dilaporkan, yang kemudian dibenarkan oleh
Direktur Regional Afrika WHO Dr. Matshidiso Moeti.
“Kami
tidak menerima data atau informasi apapun terkait COVID-19 dari Tanzania. Kami
sudah berupaya untuk mendorong mereka agar membuka data, tidak hanya untuk WHO,
paling tidak untuk negara tetangga,” ujar Moeti dilansir dari Devex.
Lihat Juga:
- Simulasi Vaksinisasi Covid 19 Perdana di Kantor Gubernur NTT
- Sekolah dan Balada Corona (Sajak Jalan Setapak)
- Pentingnya Black Box Untuk Mengungkapkan Terjadinya Kecelakaan Pesawat
Kentalnya
Politik Identitas dan Represi Kebebasan Pers
Ilustrasi |
John
Magufuli adalah seorang kristen yang taat. Dengan modal itulah, ia berhasil
meraih simpati dan suara masyarakat Tanzania dan memenangkan kursi presiden
pada 2015. Dengan pendekatan yang sama, ia menangani krisis pandemi di
Tanzania.
Penyangkalan demi penyangkalan soal situasi sebenarnya pandemi COVID-19, ia
sampaikan di depan publik, yang ironisnya namun tidak mengejutkan, diterima
oleh banyak orang di sana.
“Kita
harus mengutamakan Tuhan dalam memerangi virus ini. Namun secara bersamaan kita
juga harus melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi diri kita,” ujar
Magufuli, terkait penolakannya terhadap vaksin COVID-19 yang dianggap
berbahaya.
“Kita
telah hidup setahun tanpa virus ini. Buktinya adalah sebagian besar dari kalian
tidak mengenakan masker,” lanjut Magufuli.
Politik
identitas yang kental membuat pernyataan penyangkalan Magufuli soal COVID-19
menjadi banyak diterima masyarakat dan membuatnya terpilih kembali pada pemilu
28 Oktober 2020.
Selain
itu, melansir Devex, represi terhadap kebebasan berpendapat dan pers juga
tinggi. Media lokal Tanzania dilarang mempublikasi konten soal COVID-19 tanpa
izin pejabat yang berwenang. Lantaran hal itu masyarakat Tanzania kesulitan
mendapat akses terkait virus yang sudah menewaskan 2 juta orang di dunia.
Oryem
Nyeko, peneliti Human Rights Watch, meyakini bahwa COVID-19 digunakan untuk
menekan media jelang pemilu.
“Kami
menemukan banyak kasus di Tanzania, COVID-19 atau publikasi apapun soal
COVID-19 digunakan sebagai alasan untuk menekan media maupun orang yang
membicarakan narasi yang bertentangan dengan pemerintah,” ujarnya.
Dua
editor yang tak mau disebutkan identitasnya dari suratkabar independen
mengatakan pada HRW, “sejumlah pejabat secara informal bilang kepada mereka
untuk tidak mempublikasikan apapun yang pemerintah tidak suka, salah satunya
mengenai COVID-19.
Dengan
menyembunyikan data riil soal COVID-19 secara sistemik melalui kekuasaannya,
Magufuli berupaya menciptakan kenyataan semu, yang suka atau tidak, dipercaya
banyak orang di negara itu.
“Tidak
ada virus Corona di Tanzania,” tandas seorang warga, mengamini klaim-klaim
Magufuli.
Artikel
ini diambil dari: