Kapal Angkatan Laut Indonesia tiba untuk bergabung dalam operasi pencarian KRI Nanggala 402 di Pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (22/4). Foto: AFP |
Sejumlah spekulasi pun muncul di tengah masyarakat.
Banyak warganet yang melontarkan pertanyaan: kenapa para awak KRI Nanggala tidak langsung
keluar dari kapal jika sejak awal kapal bermasalah?
Pengamat militer dari Institute for Security and
Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menjelaskan analisisnya. Tak mudah
untuk menjawab pertanyaan itu. Sebab, sampai saat ini belum diketahui apa yang
sebenarnya terjadi sehingga KRI Nanggala tenggelam.
KRI Nanggala-402. Foto: Dok. TNI AL
"Kenapa para awak tidak keluar menyelamatkan
diri? Pertama, kita sampai hari ini belum tahu persis apa yang terjadi pada
kapal ini hingga kemudian tenggelam (subsunk). Kefatalan bisa saja sudah
terjadi sejak awal ketika komando operasi menyadari bahwa komunikasi dengan
kapal telah terputus," ujar Fahmi saat dihubungi, Minggu (25/4).
Sikap tanggung jawab para prajurit untuk menangani
sejumlah kejadian, disebut Fahmi, jadi alasan kedua mengapa para prajurit
memilih untuk tidak menyelamatkan diri.
Para awak kapal KRI Nanggala merupakan prajurit
dengan keterampilan dan keahlian yang disiapkan untuk mampu mengendalikan kapal
bahkan dalam keadaan darurat, gangguan atau bahaya dalam pelayaran.
Sehingga bila dihadapkan pada kondisi tersebut,
upaya penanganan akan jadi salah satu langkah yang dilakukan para prajurit
ketimbang keluar menyelamatkan diri.
"Artinya, yang menjadi prioritas adalah
mengatasi kedaruratan atau gangguan tersebut. Mereka punya waktu sepanjang
cadangan oksigen masih tersedia untuk kemudian kembali ke pangkalan dengan
selamat," ucap Fahmi.
Bila kondisi terus memburuk, opsi untuk berenang dan
menyelamatkan diri mungkin akan diambil bila kapal masih terapung dangkal.
Keputusan akan berbeda jika saat itu kapal telah berada dalam kondisi kedalaman
500 meter di bawah permukaan laut.
"Namun ketika kapal berada di posisi sangat
dalam, tentu saja berusaha keluar dari kapal adalah pilihan yang konyol,"
beber dia.
Orang awam bisa saja berpikir prajurit TNI AL tentu dibekali dengan
kemampuan berenang yang sangat andal. Tapi banyak orang lupa, manusia punya
batasan terutama saat menyelam di laut dalam.
Banyak orang tak menghitung atau bahkan tak
mengetahui semakin dalam laut, semakin tinggi pula tekanan di dalamnya.
"Jadi jangan berandai-andai jika awak KRI
Nanggala di kedalaman 700-850 meter berusaha keluar dan berenang ke permukaan,
maka ada peluang selamat. Itu hampir mustahil. Baru sampai pada upaya membuka
pintu kompartemen penyelamat saja sudah akan sangat fatal," ungkap Fahmi.
Infografik dugaan lokasi terakhir lokasi KRI Nanggala-402. Foto: kumparan
Kapal selam memang didesain sangat presisi karena
harus menghadapi tekanan arus bawah laut yang sangat tinggi. Membuka katup
untuk menyelamatkan diri keluar juga jadi opsi yang tak mungkin diambil
prajurit.
"Jika katup dibuka, air akan dengan cepat
membanjiri kapal dan mengakibatkan kefatalan. Apalagi di kedalaman, tekanan
hidrostatis sangat tinggi, di atas ambang toleransi manusia hingga tingkat yang
menghancurkan," ujarnya.
"Makanya jika situasi tidak mampu diatasi
sendiri, maka kapal selam mengandalkan penanganan eksternal untuk mengatasi
masalah atau penyelamatan," lanjut dia.
Ketimbang mempertanyakan hal tersebut, Fahmi
mengajak warganet dan masyarakat luas untuk fokus pada proses pencarian yang
kini masih terus diupayakan. Tentunya sembari terus berharap masih ada
mukjizat.
"Lagipula, pertanyaan spekulatif macam yang
ditanyakan para netizen ini kok rasanya agak menyakitkan ya? Kesannya meragukan
kemampuan dan kurang berempati," ucap Fahmi. ***kumparan.com