Mohammad Natsir. (Foto: Dok. Istimewa) |
Belanda dengan bantuan
para komprador-nya sejak lama memainkan politik devide et impera (pecah-belah
dan taklukkan) di kepulauan Nusantara. Benih-benih “separatisme” yang bisa
menjadi “bom waktu” bagi Indonesia, sengaja ditaburkan oleh pihak Belanda dengan
cara yang halus dalam masa revolusi.
Sejarah mencatat pada
23 Agustus-2 November 1949 di Den Haag berlangsung perundingan antara delegasi
Republik Indonesia, delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)
beranggotakan para pemimpin negara federal dan delegasi Kerajaan Belanda yang
dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sesuai hasil KMB,
kedaulatan diserahkan oleh Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Nasional Federal
Sementara daripada Negara Indonesia Serikat (RIS). Pihak Indonesia menerima
hasil perundingan yang maksimal bisa dicapai dalam perjuangan diplomasi demi
kemenangan jangka panjang yang diharapkan.
Negara Republik
Indonesia dengan ibukota sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta hanya salah
satu dari Negara Bagian RIS. Adapun wilayah Republik Indonesia sendiri berada di
sebagian pulau Jawa, Sumatera dan Madura.
Mosi Integral yang
dicetuskan oleh Pemimpin Masyumi Mohammad Natsir di parlemen mendapat dukungan
luas dan ditandatangani oleh seluruh fraksi di DPR-RIS pada waktu itu. Situasi
dan gejolak di berbagai daerah mulai menunjukkan adanya keinginan untuk kembali
bersatu, namun bagaimana caranya sampai saat itu belum ditemukan.
Mosi Integral
benar-benar sebuah terobosan brilian yang menjadi pembuka jalan bagi pulihnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui jalan demokratis dan cara
yang terhormat.
Mohammad Natsir melalui
Mosi Integral mengajak semua pemimpin negara-negara bagian, waktu itu ada 15
(lima belas) “negara boneka bikinan Van Mook” yakni: Negara Dayak Besar, Negara
Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo
Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur,
Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara
Jawa Timur dan Negara Jawa Tengah, supaya membubarkan diri secara damai dan
bersama-sama pula mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
prosedur parlementer.
Pada 17 Agustus 1950
yang diawali oleh Mosi Integral Natsir di Parlemen (DPR-RIS) tanggal 3 April
1950 sebagai prolognya, Republik Indonesia untuk kedua kalinya diproklamirkan
menjadi Negara Kesatuan oleh Presiden Soekarno dalam sebuah pidato kenegaraan
di Istana Merdeka Jakarta. Itulah “Hari Proklamasi Kemerdekaan RI” yang kedua
setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Semenjak itu resmi pembubaran
Republik Indonesia Serikat (RIS). Dua hari sebelumnya, tanggal 15 Agustus 1950
Presiden Soekarno membacakan Piagam Pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia di muka rapat gabungan DPR-RIS dan Senat di Jakarta.
Republik Indonesia Serikat hanya berumur tujuh bulan.
Seminggu kemudian,
Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir menjadi formatur untuk membentuk
Kabinet Republik Indonesia dibawah pimpinan Perdana Menteri Mohammad Natsir.
Dari fakta sejarah ini,
Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammad Fuad Nasar menegaskan
bahwa Mosi Integral Mohammad Natsir, sebuah fakta sejarah yang penting dan tak
boleh dilupakan. “Karena Mosi Integral itulah, dengan kehendak Allah, yang
menyelamatkan kesinambungan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia,”
dalam keterangannya, Sabtu (3/4/2021).
“Negara yang
diproklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia
pada Jumat 17 Agustus 1945, bulan Ramadhan, di Jalan Pegangsaan Timur 56
Jakarta dipersatukan kembali melalui Mosi Integral Mohammad Natsir,” kata Fuad.
Fuad juga mengatakan
bahwa sejarah bukan sekadar romantisme masa lalu. “Sejarah adalah ingatan
kolektif suatu bangsa dan kekayaan moral yang menjadi modal bersama dalam
menghadapi kompleksitas kondisi masa kini dan tantangan masa depan,” paparnya.