Asap membubung setelah serangan rudal Israel di Kota Gaza, Kamis (13/5). Foto: Hatem Moussa/AP Photo |
Ada pendapat yang saling bertentangan. Di satu sisi,
mengecam Israel atas serangan bertubi-tubi yang menewaskan ratusan orang
termasuk puluhan anak.
Di sisi lain, ada yang menyalahkan Hamas (faksi politik di Palestina
khususnya Gaza) karena menyerang Israel lebih dulu dengan ratusan roket. Ini
juga disebut menyebabkan sejumlah warga sipil termasuk anak-anak tewas.
Lalu bagaimana sebaiknya kita memahami konteks
pertentangan wacana tersebut?
Memahami Duduk Perkara
Semua orang tahu peribahasa tidak ada asap kalau
tidak ada api. Sering kali, dari kejauhan kita hanya melihat asap sebuah
permasalahan tapi tidak mengetahui di mana letak api penyebab asap itu
berada/berasal.
Begitu pula dengan permasalahan konflik Israel-Palestina
yang belakangan terjadi. Acap kali orang hanya mengetahui ada konflik di mana
Hamas menembakkan roket, lantas Israel menangkis dengan Iron Dome (pertahanan
udara Israel), kemudian Israel membalas dengan serangan udara ke sejumlah
target di Palestina.
Dari situ seolah-olah Israel sedang dalam posisi
membela diri (self defence). Ini tampak ketika konflik sudah mencuat berupa
pertempuran, dan penyebab konflik itu dilupakan atau terlewat.
Padahal sebab konflik sudah dimulai ketika Israel
berencana menggusur permukiman warga Palestina di Sheikh Jarrah dan membangun
permukiman yahudi di atas tanah itu. Sejumlah keluarga Palestina yang tinggal
berpuluh tahun lamanya di sana dipaksa pindah.
Protes pun timbul atas rencana pencaplokan tanah
tersebut. Bentrokan antara polisi Israel dan demonstran terjadi di sejumlah
wilayah Tepi Barat.
Ketegangan bertambah saat setelah salat Jumat
terakhir bulan Ramadhan di Kompleks Masjid Al Aqsa, warga muslim Palestina
bentrok dengan aparat keamanan Israel. Padahal salat Jumat digelar khusyuk di
tempat suci ketiga umat muslim itu.
Setelah salat Jumat usai, polisi menembaki warga
dengan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa. Mereka mengubah
tempat suci itu menjadi tempat berdarah. Sejumlah warga dilaporkan terluka.
Dari kejadian itulah, Hamas mengultimatum Israel
agar menghentikan kekerasan di Kompleks Masjid Al Aqsa. Jika tidak, mereka akan
membalas tindakan tersebut dengan serangan roket. Dan terjadilah serangan
balasan itu.
Memahami Prinsip Perang
Tidak ada benar atau salah karena memulai perang
lebih dulu. Yang ada adalah apakah perang itu sah (justified) atau tidak. Teori
perang macam ini muncul dalam doktrin just war yang berkembang berabad-abad
dalam pandangan kekristenan hingga kemunculan hukum humaniter internasional
pada Konvensi Den Hag hingga Jenewa.
Dua prinsip yang dipegang dalam doktrin tersebut
adalah jus ad bellum dan jus in bello. Yang pertama berkaitan dengan bagaimana
suatu pihak bisa dibenarkan memulai peperangan. Yang kedua berkaitan dengan
bagaimana perang itu mesti dilangsungkan.
Banyak turunan dari dua prinsip tersebut. Pada
prinsip jus ad bellum, salah satu yang mesti ada yakni alasan berperang yang
dibenarkan. Apakah perang itu ditujukan untuk mencegah agresi, melindungi nyawa
orang banyak, dan lain-lain? Atau hanya untuk mencaplok atau menguasai wilayah
demi kepentingan negara tersebut?
Pada era modern, jus ad bellum dikenal maknanya oleh
komunitas internasional sebagai upaya self defence. Perang itu, secara
sederhana, mesti dilaksanakan dalam rangka membela diri atau membela pihak lain
yang diperlakukan tidak adil atau terancam.
Sedangkan pada jus in bello, dikenal berbagai prinsip
pelaksanaan perang yang adil. Di antaranya membedakan antara kombatan
(tentara/pasukan bersenjata) dan non kombatan (sipil/palang merah/prisoner of
war).
Selain itu, pertempuran mesti dilakukan berdasarkan military
necessity, misalnya hanya menghancurkan objek militer yang dianggap perlu,
hingga penerapan asas proporsionalitas dengan tidak menarget objek-objek sipil
secara membabi buta demi keunggulan militer.
Yang Dilakukan Hamas dan Israel
Jika ditanya siapa yang memulai perang akhir Ramadhan
tahun ini, tentu jawabannya memang Hamas karena secara de facto ia menyerang
pakai roket terlebih dahulu. Namun, jika ditanya apakah tindakan itu sah, tentu
saja jawabannya sah dan bisa dijustifikasi sesuai doktrin just war.
Musababnya, menilik duduk perkaranya, upaya Hamas
ini awalnya merupakan ultimatum atas tindakan polisi Israel yang melakukan
upaya represif atas umat Muslim yang mengunjungi Kompleks Masjid Al Aqsa. Sebab
ini diperkuat dengan adanya rencana penggusuran permukiman warga Palestina di
Sheikh Jarrah.
Hal itulah yang menjadi sebab banyak pihak yang
mengecam dan menyalahkan Israel atas peperangan yang terjadi belakangan ini.
Jika tindakan represif Israel itu dihentikan, harapannya tak perlu ada serangan
roket dari Gaza. Namun, hal ini tidak digubris Israel yang berujung pada
peperangan bersenjata.
Sayangnya komunitas internasional justru hanya fokus
pada upaya retaliasi Israel terhadap serangan roket-roket tersebut. Sehingga,
mereka menganggap upaya self defense hanya dilakukan oleh Israel terhadap
Palestina.
Hal itu diperkuat dengan komentar Presiden AS Joe
Biden yang membela Israel dengan pernyataan, "Israel punya hak untuk
membela diri (wilayahnya)." Seolah yang membela diri hanya Israel, padahal
Palestina juga sedang
membela diri atas tanahnya yang hendak dicaplok hingga upaya represif dan
sewenang-wenang polisi di Masjid Al Aqsa.
Analoginya, bagaimana seandainya sejengkal tanah
Indonesia memiliki sengketa dengan Malaysia? Lihatlah sejarah bagaimana
Indonesia bereaksi dengan adanya Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1962. Konteks
macam ini juga mirip dengan apa yang dilakukan Hamas terhadap Israel: sama-sama
membela diri atas sebab tindakan/laku tertentu dari entitas lain.
Pembelaan AS terhadap Israel yang berpihak juga
cukup kentara ketika beberapa waktu sebelum pernyataan Biden, jubir Kemlu AS
Ned Price gelagapan saat ditanya wartawan soal self defense. Wartawan justru
bertanya sebaliknya, apakah Palestina yang warga dan anak-anaknya tewas karena
serangan Israel punya hak untuk membela diri?
Ned Price tak menjawab tegas iya atau tidak. Iya
justru berdalih masih mengikuti perkembangan informasi di lapangan dan belum
bisa mengkonfirmasi ada warga dan anak-anak yang tewas di pihak Palestina.
Alih-alih menuding siapa yang memulai perang—yang
mana tidak ada benar atau salah soal itu—komunitas internasional mesti fokus
pada pelaksanaan perang itu sendiri. Apakah perang itu sudah sesuai prinsip jus
in bello dan hukum humaniter internasional?
Kenyataan di lapangan, warga sipil dan anak-anak
tewas karena masing-masing pihak tidak mengikuti prinsip-prinsip perang yang
sudah ditentukan tersebut.
Pihak Hamas menarget roket ke Israel mengenai sipil
lantaran teknologi roket buatan sayap militer Izzuddin al-Qassam itu sebagian
memang tidak dirancang untuk mendiskriminasi target atau tidak ada pemandunya.
Adapun dari pihak Israel sendiri kerap menyerang
Palestina secara tidak proporsional: misalnya menarget gedung sipil seperti
perkantoran hingga sekolah. Teranyar, pihak Israel meluluhlantakkan gedung yang
terdapat kantor Al Jazeera dan Associated Press.
IDF (tentara Israel) berdalih serangan itu dilakukan
karena infrastruktur tersebut digunakan juga sebagai markas militer Hamas.
Namun benar atau tidak dalih itu, tetap saja, serangan ini melanggar hukum
humaniter internasional karena menarget infrastruktur non kombatan sehingga
dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Yang Mesti Dilakukan Komunitas Internasional
Demi kemanusiaan, tentu peperangan mesti dihentikan.
Tapi hal itu tak akan terjadi dengan sendirinya oleh pihak yang berkonflik
sebelum ada yang kalah atau luluh lantak salah satunya. Karenanya diperlukan
dukungan komunitas internasional untuk menghentikan perang ini untuk
menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak.
Di antara upaya yang bisa dilakukan komunitas internasional soal situasi yang sedang berkembang saat ini adalah:
- Mendesak Amerika Serikat untuk mendesak Israel menghentikan serangan dan agresi. Ini mesti dilakukan karena AS merupakan sekutu kuat Israel yang memiliki pengaruh, baik di internal Israel maupun di Dewan Keamanan PBB. Resolusi DK PBB tidak bisa diambil berkaitan dengan konflik ini jika AS terus memveto usulan resolusi konflik Israel-Palestina.
- Jika agresi
Israel dapat dihentikan, komunitas internasional juga mesti mendesak Hamas
untuk menghentikan serangan ke wilayah Israel. Jika kedua belah pihak bisa
melangsungkan gencatan senjata hingga tak ada lagi pertempuran, masyarakat
sipil bisa berkesempatan untuk memulihkan situasi dan mengobati para korban
luka.
- Menggalakkan
dukungan dari masyarakat sipil untuk menyuarakan kecaman atas tindakan
unilateral berupa kekerasan di Masjid Al Aqsa hingga pencaplokan melalui
pembangunan permukiman yahudi di wilayah Palestina.
- Mendesak DK PBB
mengeluarkan resolusi baru berupa upaya koersif atau sanksi yang bisa
dijatuhkan ke Israel atas pelanggaran Resolusi 2334 terkait aktivitas
penggusuran dan pembangunan permukiman warga Yahudi di tanah warga Palestina.
Resolusi 2334 sudah menyebut bahwa pembangunan permukiman yahudi adalah
pelanggaran atas hukum internasional namun hingga kini belum ada sanksi jika
Israel melakukan pelanggaran itu.
- Mendesak DK PBB
mengeluarkan resolusi agar polisi Israel tidak mengontrol keamanan di Kompleks
Masjid Al Aqsa. Bentrokan antara jemaah muslim dan polisi kerap menjadi awal
mula konflik yang lebih besar terjadi antara Israel dan Palestina.
***