Tokoh-tokoh perempuan Indonesia |
Pergerakan kaum feminis
secara historis khususnya di Indonesia, dapat dibagi menjadi (enam) bagian,
dari zaman prakolonial sampai era reformasi. Setiap era sangat tergantung
kepada kondisi dan situasi zaman yang dihadapinya.
Sejarah Kolonial (akhir abad 19 awal abad 20)
Sebagaimana tercatat
dalam buku-buku sejarah, Indonesia mengalami kolonialisme terpanjang di bawah
kekuasaan Belanda. Dalam masa kolonialisme tersebut, khusunya menjelang akhir
abad 19 dan awal abad 20, perempuan ikut memanggul senjata, berada dalam politik
formal dan memperjuangkan kesempaan bagi perempuan untuk mendapatkan
pendidikan. Hal ini terlihat jelas dengan beberapa tokoh perempuan yang kita
jumpai. Panglima perang wanita yang tidak semata-mata membela kaumnya saja,
seperti Cut Meutia dari Aceh (1870-1910), Roro Gusik (istri Untung Surapati) di
Jawa, Martha Tiahahu yang membantu Pattimura, Emmy Saelan di Sulawesi Selatan
(1924-1947) yang giat dalam perlawanan melawan Wolter Monginsidi, Raden Ayu
Ageng Serang (1752-1828) dan Cut Nyak Dien (1850-1908).
Raden Ajeng Kartini
(1879-1904) di Jawa Tengah berjuang untuk persamaan hak wanita (emansipasi)
melalui pendidikan. Beliau bersama beberapa tokoh wanita lainnya, seperti Dewi
Sartika di Jawa Barat, dan Rasuna Said di Sumatera Barat berasa bahwa wanita-wanita
Indonesia tertekan dan terisolasi dengan keadaan yang saat itu terjadi. Oleh
karena itu mereka berusaha untuk memajukan dan mensejahterakan wanita-wanita
Indonesia dengan cara mengadakan pendidikan-pendidikan dan sekolah-sekolah
khusus bagi kaum wanita (Wieringa, 1999:99)
Kebangkitan pergerakan
wanita di Indonesia muncul kembali diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan
(1872-1946) di Yogyakarta yang giat dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan
selain merintis perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok
Pesantren untuk putri sebagai pusat latihan kader santri dan ulama wanita,
bahkan beliau mendirikan pula sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam
kegiatan sosial keagamaan dengan lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan
pada tahun 1917 dirubah menjadi Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena
beranggapan bahwa semakin terdidik seorang wanita, semakin mudah ia diajak
untuk maju (Burhanudin, 2002).
Selain itu, wartawan
perempuan dari Minangkabau, Sumatera Barat, Rohana Kudus (1884-1972) mendirikan
Sekolah Kerajinan Amal Setya untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi pada
tahun 1911 dan setahun setelahnya Rohana menulis surat kabar Soenting. Surat
kabar yang pada masa itu sudah sangat progresif dan kritis karena mengangkat
isu-isu sensitif seperti masalah adat yang tidak ramah perempuan, poligami,
perlunya pendidikan dan keterampilan buat perempuan, dan sebagainya. Ditahun
yang sama organisasi perempuan pertama bernama Poerti Mardika didirikan di
Jakarta diikuti oleh perkumpulan perempuan lainnya bernama Putri Sejati dan
Wanita Utama.
Selanjutnya Gerakan
Pembaharuan Islam Muhammadiyah yang terbentuk tahun 1917 telah melahirkan
organisasi wanita Aisyiah pada tahun 1920 menyuarakan agar perempuan mendapat
pendidikan yang baik dan perbaikan kondisi poligini. Kemudian diikuti oleh
organisasi perempuan kaum katolik dan protestan yang menyuarakan anti poligami.
Di Tahun 1920 juga munculnya Organisasi sarekat rakyat yang menyurakan
peningkatan upah dan konidisi kerja yang baik bagi kaum perempuan. Disusul oleh
lahirya organisasi yang memperjuangan pendidikan bagi kaum perempuan, menentang
perkawinan anak-anak, permaduan serta perdagangan perempuan dan anak -anak.
Maraknya pertumbuhan
berbagai organisasi perempuan pada tahun 1928 hingga 1939. Seperti Persatoean
Perempoean Indonesia (PPI) yang menyuarakan reformasi pendidikan dan reformasi
perkawinan, Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang menyuarakan
penghapusan perdagangan perempuan dan anak, Organisasi Istri Sedar (1930) masih
tetap menyuarakan anti poligami dan perceraian dan 27 organisasi lainnya.
Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada
Desember 1928 dan dilaksanakan rutin setiap 3 tahun.
Pendudukan Jepang (1942)
Jepang melarang semua
organisasi perempuan. Hanya ada satu yang diizinkan yakni Fujinkai. Dengan
anggota yang terdiri dari istri pegawai negeri serta kegiatan dalam hirarki
sejalan dengan kegiatan suami.
Masa Belanda (1946-1949)
Kembali Kongres Wanita
Indonesia, menyuarakan upah yang sama, perbaikan hukum perkawinan serta esensi
pendidikan untuk perempuan. Wanita Indonesia harus menyokong Indonesia Merdeka,
bergabung dengan pasukan bersenjata dan ikut perang gerilya. Belanda dikalahkan
pada tahun 1949.
Pasca Kemerdekaan - Orde Lama
Berbagai partai politik
membentuk sayap perempuan masing-masing. Dua organisasi yang menonjol adalah
GERWANI dan Wanita Marhaen. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada mulanya
bernama Gerakan wanita Sedar (Gerwis) didirikan pada 1950 yang kemudian sering
dirujuk sebagai gerakan perempuan feminis-sosialis. Beranggotakan 500 perempuan
yang umumnya berpendidikan tinggi dan sudah memiliki kesadaran politik lebih
maju dibandingkan perempuan umumnya. Organisasi ini tersebar di berbagai
kegiatan masyarakat seperti warung, koperasi, koperasi simpan pinjam, petani,
buruh pabrik, taman kanak-kanak yang diselenggarakan di pasar, perkebunan,
kampung, Badan Penyuluh Perkawinan, dan kursus-kursus dengan materi buku ajaran
komunis. Organisasi ini menyuarakan: sukseskan pemilu, anti perkosaan,
peningkatan kesadaran perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi
pemerkosa dan penculikan, kegiatan sosek bagi kaum perempuan, pendidikan
masalah politik, kesehatan, dan monogami.
Masa Orde Baru
Dalam upaya untuk
mewujudkan negara yang bebas dari ancaman ideologi kiri maka muncul kebijakan
tumpas kelor. Semua organisasi “keluarga komunis”, seperti misalnya organisasi
perempuan Gerwani telah disiksa dan dikalahkan.
Pada masa ini organisasi-organisasi
wanita diberikan dukungan dana sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi
wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan pemerintah. Satu-satunya organisasi
yang hidup adalah Perwari. Namun pada tahun 1978 dilebur ke dalam Golkar. Akan
tetapi lahir beberapa organisasi besar seperti : Golkar, Dharma Wanita ( istri
PNS), Dharma Pertiwi (Istri yang suaminya bekerja di Angkatan Bersenjata) serta
organisasi PKK. Selain itu, hanya ada dua organisasi wanita yang boleh bergerak
di pedesaan yaitu Aisyiah dan PKK.
Masa Orde Baru adalah
masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusian. Pelanggaran hak asasi
manusia sudah seperti makanan sehari hari kala itu. Melihat keadaan, organisasi
feminis tidak hanya diam saja, mereka mulai melakukan berbagai siasat dan
gerakan politik anti Orde Baru. Salah satunya adalah organisasi Yayasan Jurnal
Perempuan yang lahir pada tahun 1996, kuat dalam penerbitan jurnal yaitu jurnal
perempuan dengan visi pemberdayaan perempuan melalui pengetahuan. Jurnal ini merupakan
jurnal feminis pertama Indonesia. Jurnal yang berinisiatif mengadakan
rapat-rapat internal untuk mendiskusikan berbagai teori yang dapat membantu
menerangkan bagaimana atau dengan cara apa kekuatan masyarakat madani,
khususnya gerakan perempuan, mampu mendelegetimasikan atau menjatuhkan sebuah
rezim otoriter. Tidak hanya itu, Jurnal Perempuan secara intens mengkampanyekan
gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan, bekerja sama dengan United Nation
Development for Women (UNIFEM) dan melihat bagaimana implikasinya terhadap
demokrasi dan hak-hak perempuan.
Namun sangat
disayangkan, peranan feminis dalam transisi demokrasi ini jarang dimasukkan
dalam buku sejarah.
Era Reformasi
Dalam era reformasi,
lahirnya Komnas Perempuan yang berhaluan feminis karena pendirinya adalah
tokoh-tokoh feminis di Indonesia. Dengan tujuan untuk menguatkan hak asasi
perempuan yang disahkan melalui Peraturan Presiden (perpres) Nomor 181 Tahun
1998 dan dikuatkan melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2005. Dengan munculnya
berbagai problematika yang kompleks akibat demokrasi yang datang ditengah hiruk
pikuknya globalisasi, lahirnya berbagai organisasi wanita yang tidak hanya
membela kaumnya sendiri, melainkan juga membela dan memikirkan nasib masyarakat
marjinal. Seperti Wardah Hafiz, Suara Ibu Peduli yang membela hak anak, Ratna
Sarumpaet melalui Teater dan novelnya menyuarakan demokrasi, hak buruh,
perdagangan anak dan pekerja seks, pluralisme dan toleransi.
Dibidang penegakan
hukum, sosok seperti Nursyahbani Kacasungkana yang membela wanita dari objek
kekerasan dan kejahatan, perwira Kepolisian Republik Indonesia Irwati Harsono
dan hakim perempuan pertama terpilih di MK Maria Farida. Tidak ketinggalan Ibu
Aisyah Amini yang telah berkiprah dalam dunia politik sejak lama, serta masih banyak
lagi tokoh wanita Islam lainnya yang berkiprah dalam organisasi wanita.
Demikianlah, semua
perjuangan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemungkinan menjadi yang terbaik
untuk setiap perempuan Indonesia.
Perempuan di mana pun
harus bersatu untuk menguatkan dan meluaskan gerakan mereka menuju kemerdekaan
(Saadawi, 2001: xxi)
Sumber:
Wieringa, Saskia
Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Garba Budaya dan
Kalyanamitra. Jakarta.
Wieringa, S.E., 2010.
Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia pascakejatuhan
PKI. Penerbit Galangpress.
Burhanuddin, J., 2002.
Ulama Perempuan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
Saadawi, Nawal El.
2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mariana, Anna. 2015. Perbudakan
Seksual Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru.
Marjin Kiri. Tangerang Selatan.
Djoeffan, Sri. (2001).
Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi mendatang. Mimbar. Nomor
3.
Aliyah, Ida. (2018).
Feminisme Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Temali: Jurnal Pembangunan Sosial.
Volume 1, Nomor 2.
Ariviam, Gadis &
Subono, Nur. (2018). Seratus Tahun Feminisme di Indonesia. Friedrich-Ebert-
Stiftung.
Lestari, Fitri. (2016).
Menilik Kembali Peran Organisasi Perempuan Di Masa Orde Baru.
http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/menilik-kembali-peran-organisasi-perempuan-di-masa-orde-baru#_ftn1
Gischa, Serafica.
(2020). Istri Sedar: Pergerakan Politik Perempuan Pertama di Indonesia
https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/08/180000669/istri-sedar--pergerakan-politik-perempuan-pertama-di-indonesia?page=all.