Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia

Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia

Tokoh-tokoh perempuan Indonesia


Setapak rai numbei - - -  Pengertian sederhana dari feminisme adalah ide atau pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Orang yang memperjuangkannya disebut feminis. Dengan demikian, sebenarnya feminisme itu ada dan tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, agama, dan negara. Walaupun mungkin menggunakan istilah yang berbeda. Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme lahir dipengaruhi oleh berbagai kondisi historis sejarah perjuangan bangsa, program pembangunan nasional, globalisasi, reformasi serta kehidupan religius masyarakat.

Pergerakan kaum feminis secara historis khususnya di Indonesia, dapat dibagi menjadi (enam) bagian, dari zaman prakolonial sampai era reformasi. Setiap era sangat tergantung kepada kondisi dan situasi zaman yang dihadapinya.

 

Sejarah Kolonial (akhir abad 19 awal abad 20)

Sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah, Indonesia mengalami kolonialisme terpanjang di bawah kekuasaan Belanda. Dalam masa kolonialisme tersebut, khusunya menjelang akhir abad 19 dan awal abad 20, perempuan ikut memanggul senjata, berada dalam politik formal dan memperjuangkan kesempaan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini terlihat jelas dengan beberapa tokoh perempuan yang kita jumpai. Panglima perang wanita yang tidak semata-mata membela kaumnya saja, seperti Cut Meutia dari Aceh (1870-1910), Roro Gusik (istri Untung Surapati) di Jawa, Martha Tiahahu yang membantu Pattimura, Emmy Saelan di Sulawesi Selatan (1924-1947) yang giat dalam perlawanan melawan Wolter Monginsidi, Raden Ayu Ageng Serang (1752-1828) dan Cut Nyak Dien (1850-1908).

Raden Ajeng Kartini (1879-1904) di Jawa Tengah berjuang untuk persamaan hak wanita (emansipasi) melalui pendidikan. Beliau bersama beberapa tokoh wanita lainnya, seperti Dewi Sartika di Jawa Barat, dan Rasuna Said di Sumatera Barat berasa bahwa wanita-wanita Indonesia tertekan dan terisolasi dengan keadaan yang saat itu terjadi. Oleh karena itu mereka berusaha untuk memajukan dan mensejahterakan wanita-wanita Indonesia dengan cara mengadakan pendidikan-pendidikan dan sekolah-sekolah khusus bagi kaum wanita (Wieringa, 1999:99)

Kebangkitan pergerakan wanita di Indonesia muncul kembali diawali oleh peranan Nyai Achmad Dahlan (1872-1946) di Yogyakarta yang giat dalam gerakan sosial. Nyai Ahmad Dahlan selain merintis perjuangannya melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren untuk putri sebagai pusat latihan kader santri dan ulama wanita, bahkan beliau mendirikan pula sekolah-sekolah umum; ia juga aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dengan lembaganya yaitu Sopo Tresno (tahun 1914) dan pada tahun 1917 dirubah menjadi Aisyiah. Ia memilih jalur pendidikan karena beranggapan bahwa semakin terdidik seorang wanita, semakin mudah ia diajak untuk maju (Burhanudin, 2002).

Selain itu, wartawan perempuan dari Minangkabau, Sumatera Barat, Rohana Kudus (1884-1972) mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setya untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi pada tahun 1911 dan setahun setelahnya Rohana menulis surat kabar Soenting. Surat kabar yang pada masa itu sudah sangat progresif dan kritis karena mengangkat isu-isu sensitif seperti masalah adat yang tidak ramah perempuan, poligami, perlunya pendidikan dan keterampilan buat perempuan, dan sebagainya. Ditahun yang sama organisasi perempuan pertama bernama Poerti Mardika didirikan di Jakarta diikuti oleh perkumpulan perempuan lainnya bernama Putri Sejati dan Wanita Utama.

Selanjutnya Gerakan Pembaharuan Islam Muhammadiyah yang terbentuk tahun 1917 telah melahirkan organisasi wanita Aisyiah pada tahun 1920 menyuarakan agar perempuan mendapat pendidikan yang baik dan perbaikan kondisi poligini. Kemudian diikuti oleh organisasi perempuan kaum katolik dan protestan yang menyuarakan anti poligami. Di Tahun 1920 juga munculnya Organisasi sarekat rakyat yang menyurakan peningkatan upah dan konidisi kerja yang baik bagi kaum perempuan. Disusul oleh lahirya organisasi yang memperjuangan pendidikan bagi kaum perempuan, menentang perkawinan anak-anak, permaduan serta perdagangan perempuan dan anak -anak.

Maraknya pertumbuhan berbagai organisasi perempuan pada tahun 1928 hingga 1939. Seperti Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang menyuarakan reformasi pendidikan dan reformasi perkawinan, Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang menyuarakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak, Organisasi Istri Sedar (1930) masih tetap menyuarakan anti poligami dan perceraian dan 27 organisasi lainnya. Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada Desember 1928 dan dilaksanakan rutin setiap 3 tahun.


Pendudukan Jepang (1942)

Jepang melarang semua organisasi perempuan. Hanya ada satu yang diizinkan yakni Fujinkai. Dengan anggota yang terdiri dari istri pegawai negeri serta kegiatan dalam hirarki sejalan dengan kegiatan suami.

 

Masa Belanda (1946-1949)

Kembali Kongres Wanita Indonesia, menyuarakan upah yang sama, perbaikan hukum perkawinan serta esensi pendidikan untuk perempuan. Wanita Indonesia harus menyokong Indonesia Merdeka, bergabung dengan pasukan bersenjata dan ikut perang gerilya. Belanda dikalahkan pada tahun 1949.

 

Pasca Kemerdekaan - Orde Lama

Berbagai partai politik membentuk sayap perempuan masing-masing. Dua organisasi yang menonjol adalah GERWANI dan Wanita Marhaen. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada mulanya bernama Gerakan wanita Sedar (Gerwis) didirikan pada 1950 yang kemudian sering dirujuk sebagai gerakan perempuan feminis-sosialis. Beranggotakan 500 perempuan yang umumnya berpendidikan tinggi dan sudah memiliki kesadaran politik lebih maju dibandingkan perempuan umumnya. Organisasi ini tersebar di berbagai kegiatan masyarakat seperti warung, koperasi, koperasi simpan pinjam, petani, buruh pabrik, taman kanak-kanak yang diselenggarakan di pasar, perkebunan, kampung, Badan Penyuluh Perkawinan, dan kursus-kursus dengan materi buku ajaran komunis. Organisasi ini menyuarakan: sukseskan pemilu, anti perkosaan, peningkatan kesadaran perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi pemerkosa dan penculikan, kegiatan sosek bagi kaum perempuan, pendidikan masalah politik, kesehatan, dan monogami.

 

Masa Orde Baru

Dalam upaya untuk mewujudkan negara yang bebas dari ancaman ideologi kiri maka muncul kebijakan tumpas kelor. Semua organisasi “keluarga komunis”, seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani telah disiksa dan dikalahkan.

Pada masa ini organisasi-organisasi wanita diberikan dukungan dana sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan pemerintah. Satu-satunya organisasi yang hidup adalah Perwari. Namun pada tahun 1978 dilebur ke dalam Golkar. Akan tetapi lahir beberapa organisasi besar seperti : Golkar, Dharma Wanita ( istri PNS), Dharma Pertiwi (Istri yang suaminya bekerja di Angkatan Bersenjata) serta organisasi PKK. Selain itu, hanya ada dua organisasi wanita yang boleh bergerak di pedesaan yaitu Aisyiah dan PKK.

Masa Orde Baru adalah masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusian. Pelanggaran hak asasi manusia sudah seperti makanan sehari hari kala itu. Melihat keadaan, organisasi feminis tidak hanya diam saja, mereka mulai melakukan berbagai siasat dan gerakan politik anti Orde Baru. Salah satunya adalah organisasi Yayasan Jurnal Perempuan yang lahir pada tahun 1996, kuat dalam penerbitan jurnal yaitu jurnal perempuan dengan visi pemberdayaan perempuan melalui pengetahuan. Jurnal ini merupakan jurnal feminis pertama Indonesia. Jurnal yang berinisiatif mengadakan rapat-rapat internal untuk mendiskusikan berbagai teori yang dapat membantu menerangkan bagaimana atau dengan cara apa kekuatan masyarakat madani, khususnya gerakan perempuan, mampu mendelegetimasikan atau menjatuhkan sebuah rezim otoriter. Tidak hanya itu, Jurnal Perempuan secara intens mengkampanyekan gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan, bekerja sama dengan United Nation Development for Women (UNIFEM) dan melihat bagaimana implikasinya terhadap demokrasi dan hak-hak perempuan.

Namun sangat disayangkan, peranan feminis dalam transisi demokrasi ini jarang dimasukkan dalam buku sejarah.

 

Era Reformasi

Dalam era reformasi, lahirnya Komnas Perempuan yang berhaluan feminis karena pendirinya adalah tokoh-tokoh feminis di Indonesia. Dengan tujuan untuk menguatkan hak asasi perempuan yang disahkan melalui Peraturan Presiden (perpres) Nomor 181 Tahun 1998 dan dikuatkan melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2005. Dengan munculnya berbagai problematika yang kompleks akibat demokrasi yang datang ditengah hiruk pikuknya globalisasi, lahirnya berbagai organisasi wanita yang tidak hanya membela kaumnya sendiri, melainkan juga membela dan memikirkan nasib masyarakat marjinal. Seperti Wardah Hafiz, Suara Ibu Peduli yang membela hak anak, Ratna Sarumpaet melalui Teater dan novelnya menyuarakan demokrasi, hak buruh, perdagangan anak dan pekerja seks, pluralisme dan toleransi.

Dibidang penegakan hukum, sosok seperti Nursyahbani Kacasungkana yang membela wanita dari objek kekerasan dan kejahatan, perwira Kepolisian Republik Indonesia Irwati Harsono dan hakim perempuan pertama terpilih di MK Maria Farida. Tidak ketinggalan Ibu Aisyah Amini yang telah berkiprah dalam dunia politik sejak lama, serta masih banyak lagi tokoh wanita Islam lainnya yang berkiprah dalam organisasi wanita.

Demikianlah, semua perjuangan tersebut dimaksudkan untuk memberi kemungkinan menjadi yang terbaik untuk setiap perempuan Indonesia.

Perempuan di mana pun harus bersatu untuk menguatkan dan meluaskan gerakan mereka menuju kemerdekaan (Saadawi, 2001: xxi)

 


Sumber:

Wieringa, Saskia Eleonora. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Garba Budaya dan Kalyanamitra. Jakarta.

Wieringa, S.E., 2010. Penghancuran gerakan perempuan: politik seksual di Indonesia pascakejatuhan PKI. Penerbit Galangpress.

Burhanuddin, J., 2002. Ulama Perempuan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Mariana, Anna. 2015. Perbudakan Seksual Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru. Marjin Kiri. Tangerang Selatan.

Djoeffan, Sri. (2001). Gerakan Feminisme di Indonesia: Tantangan dan Strategi mendatang. Mimbar. Nomor 3.

Aliyah, Ida. (2018). Feminisme Indonesia dalam Lintasan Sejarah. Temali: Jurnal Pembangunan Sosial. Volume 1, Nomor 2.

Ariviam, Gadis & Subono, Nur. (2018). Seratus Tahun Feminisme di Indonesia. Friedrich-Ebert- Stiftung.

Lestari, Fitri. (2016). Menilik Kembali Peran Organisasi Perempuan Di Masa Orde Baru.

http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/menilik-kembali-peran-organisasi-perempuan-di-masa-orde-baru#_ftn1

Gischa, Serafica. (2020). Istri Sedar: Pergerakan Politik Perempuan Pertama di Indonesia

https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/08/180000669/istri-sedar--pergerakan-politik-perempuan-pertama-di-indonesia?page=all.

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama