Ilustrasi |
Namun, di balik
ketidaknyamanan tersebut, sebenarnya itulah cara sesama (komunitas) untuk
menyelamatkan saya. Hal ini serupa dengan kisah dalam perikop Mat 16:13-23 yang
kerap kita renungkan.
Diceritakan bila Yesus
mengumumkan cara kematian-Nya kepada para murid. Ia memberitahu bahwa seorang
Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam
kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.
Mendengar hal itu,
Petrus menampik pernyataan Yesus tersebut. Katanya, “Tuhan, kiranya Allah
menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.”
Sontak, Yesus menegur
Petrus, “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau
bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Memang dalam beberapa
tafsiran spiritual, Yesus tidak menegur Petrus secara langsung, melainkan iblis
yang berencana jahat melalui idealisme Petrus. Namun, hati siapa yang tidak
sakit bila disamakan oleh sesosok iblis? Hal itu yang kemungkinan besar dialami
oleh Petrus.
Ia ditegur oleh Guru
yang sangat dikasihinya. Maksud hati ingin menyelamatkan Sang Guru, justru ia
kena “sembur” dari Yesus sendiri. Namun, beruntung bahwa Petrus menyadari dan
menyesali perkataannya tersebut. Ia tidak menyanggah dan melawan teguran dari Yesus
tersebut. Justru, ia sadar bahwa Sang Guru ingin menyelamatkannya dari kuasa
kegelapan.
Perikop ini setidaknya
mengingatkan saya untuk melihat teguran sesama sebagai sapaan Allah yang
menyelamatkan. Memang, tak dipungkiri bahwa kecenderungan saya sebagai manusia
adalah untuk membela diri (self-defence). Setidaknya mekanisme “membentengi
diri” itu tertanam secara naluriah dalam tiap pribadi manusia.
Oleh karena itu,
diperlukan suatu sikap kerendahan hati untuk menerima teguran yang ada. Agaknya
sebuah teguran dapat dianalogikan sebagai obat yang mampu menyembuhkan
orang dari penyakit. Meskipun rasa obat itu pahit, namun orang mau tidak mau
harus meminumnya demi menghilangkan penyakit. Begitupun juga dengan teguran,
meski kerap membuat panas di telinga namun sejatinya itulah yang menyelamatkan
kita dari bahaya kehancuran.
Adapun cara kawan
menegur kita, itu tidak menjadi fokus kita. Hal yang menjadi poin penting bagi
kita adalah caraku bereaksi terhadap teguran itu. Mungkin, bila reaksi
yang kita berikan positif (tetap bersikap adem, sekalipun tidak
mengenakkan), persoalan tidak melebar kemana-mana.
Sebalinya, bila reaksi
yang kita berikan negatif (menyerang karena “merasa benar”), maka “api”
kemarahan itu semakin berkobar. Bila seperti ini, masalah menjadi berabe dan
tidak kunjung selesai. Toh ini bukan masalah “menang-kalah” atau “benar-salah”.
Ingat, kita tidak mau relasi terhadap sesama menjadi runyam hanya karena
persoalan yang sepele! Maka, dalam hal ini dibutuhkan sikap tenggang rasa dalam
menerima teguran sesama.
Saya jadi teringat akan
sebuah pesan dari seorang kawan, “Jangan menjadi pribadi yang reaktif,
melainkan jadilah pribadi yang reflektif.” Memang, bisa saja apa yang dikatakan
teman saya tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi, saya tidak perlu lekas untuk
marah. Justru sebaliknya saya perlu besyukur, sebab ada orang yang masih peduli
dengan saya. “Satu teguran dari temanmu, tidaklah menghancurkan dirimu secara
keseluruhan,” kata seorang pastor di saat memberi rekoleksi komunitas. Semoga
Tuhan senantiasa memberikan kebijaksanaan kepada kita, lebih-lebih dalam
memberikan reaksi terhadap teguran dari sesama.