Mustahil manusia tidak
berdusta, sebab dusta adalah senjata andalan bagi tiap-tiap individu untuk
bertahan hidup di tengah-tengah spesiesnya. Manusia memerlukannya untuk menjaga
martabat, untuk melindungi diri dari serangan sesamanya, untuk menghindari pemecatan
oleh atasan, untuk menyelamatkan diri dari kemarahan, atau untuk sekadar tampak
baik-baik saja, dan sebagainya.
“Sejak lama dusta sudah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia,” kata Leonard Saxe. “Tidak
pernah kita melewati satu hari pun tanpa dusta.” Saxe adalah pakar poligraf
(alat pendeteksi kebohongan) dan profesor psikologi pada Universitas Brandies,
Amerika Serikat.
Orang tua saya tidak
pernah membaca Saxe. Dan, sebagaimana para orang tua pada umumnya kepada
anak-anak mereka, orang tua saya sering memberi tahu hal yang harus dilakukan, “Jangan bohong!”—selain beberapa jangan lainnya yang saya dengar di
masa kanak-kanak: “Jangan mandi di sungai,” “Jangan malas,” “Jangan cengeng,”
dan tentu saja “Jangan lupa berdoa.”
Saya pikir “jangan”
adalah kosakata kesukaan para orang tua, disampaikan kepada anak-anak untuk
mendorong mereka melakukan, secara diam-diam, apa yang tidak dikehendaki oleh
orang tua mereka. Ketika mereka mengatakan, “Jangan bohong” itu berarti mereka
mendorong anda berbohong. Penjelasan singkatnya begini:
Para orang tua, karena
sudah menasihati anak-anak agar jangan berbohong, akan marah ketika tahu anak-anak
membohongi mereka. Namun, itu bukan berarti mereka akan memuji ketika si anak
berterus terang. Mereka akan tetap mengamuk sekiranya anak-anak berkata jujur
tentang apa yang sudah mereka lakukan. Artinya, memang tidak ada alternatif
bagi anak-anak kecuali berdusta, jika situasi menghendaki demikian. Dusta
memberi kemungkinan untuk hidup selamat, asalkan tidak terbongkar, sementara
berbicara apa adanya adalah tindakan yang mengerikan dan tidak masuk akal.
Berterus terang berarti melucuti diri sendiri, membiarkan diri telanjang tanpa
tameng pelindung.
Saya tentu saja tidak
memiliki peluang untuk menyampaikan sebaliknya kepada orang tua saya. Tidak
mungkin saya membentak mereka, “Jangan bohong!” kecuali berani menanggung
risiko menjadi jambu monyet—itu ganjaran bagi anak durhaka—sekalipun saya yakin
mereka juga berbohong, sebab mereka manusia. Setidaknya, mereka tidak selalu
berterus terang kepada anak-anak tentang hal buruk yang mereka pernah lakukan.
Jadi, hikmah yang bisa
anda petik dari hasil penelitian itu, yang bisa anda tularkan kepada orang lain
seolah-olah anda baru menerima wahyu, adalah bahwa hidup ini hanya saling
memberi dan menerima kebohongan. Anda menggunakan senjata kebohongan kepada
orang-orang lain dan, sebaliknya, orang-orang lain menggunakannya kepada anda.
Anak berbohong kepada orang tua dan sebaliknya; suami kepada istri; istri
kepada suami; tukang telur kepada pelanggannya; presiden kepada rakyatnya.
Para pejabat publik
mengucapkan sumpah dengan kitab suci dinaungkan di atas kepala, tentu dengan
maksud agar lempung pendusta ini bisa berperangai lurus dan menepati sumpah
mereka. Tetapi di bawah sejilid buku tebal yang mereka yakini berasal dari
Tuhan, yang mengabarkan api neraka dan azab pedih bagi pendusta, kebanyakan
dari mereka tetap saja berdusta. Para politisi, anda tahu, adalah juara
olimpiade dalam berdusta; sama dengan para tukang sulap, kata Ben Okri, mereka
bicara untuk mengalihkan perhatian kita dari apa yang sesungguhnya mereka
lakukan. Bedanya, para tukang sulap melakukannya untuk menghibur kita.
Manusia bisa tidak
berbohong hanya ketika ia hilang ingatan; ketika masa berlakunya di dunia ini
sudah expired—kita menyebutnya wafat; atau ketika ia hidup menyepi, dikelilingi
hanya oleh hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati. Anda tidak
perlu berbohong kepada kura-kura piaraan anda. Anda tidak perlu berbohong
kepada rumpun semak-semak maupun rumput laut. Anda tidak perlu berbohong untuk
menyelamatkan nyawa atau mempertahankan harga diri di hadapan batu-batu kali.
Sebagai dusta berkaki
dua dengan kuku pipih dan lebar, manusia masih memiliki satu lagi kualitas
mengagumkan berkaitan dengan naluri kebohongannya, ialah sering merasa benar
meskipun ia keliru, meskipun ia tahu bahwa di mata orang lain ia keliru. Dan
orang yang keliru seringkali akan marah atau sakit hati jika ditegur. Ia
mengamuk mempersoalkan cara menegurnya, siapa yang menegurnya, di depan siapa
ia ditegur, dan lain-lain, dan lupa menyadari bahwa ia ditegur karena berbuat
lancung.
Yang demikian itu bukanlah
keajaiban. Kita tahu setiap orang memiliki kacamata masing-masing untuk
membenarkan diri sendiri dan mengarang alasan untuk menyulap sebuah kekeliruan
menjadi amal mulia. Beberapa orang mengenakan kacamata kuda untuk
mempertahankan pendirian mereka. Saya pernah bercakap-cakap, melalui e-mail,
dengan seorang kader partai politik yang bisa membenarkan korupsi oleh pemimpin
partainya. Pada waktu itu si pemimpin partai baru ditetapkan sebagai tersangka,
tetapi bukti-buktinya tidak mungkin dibantah dan ia tertangkap tangan dan sudah
pasti mendapatkan hukuman (nostalgia masa kuliah).
Menurut Pak Kader:
“Partai-partai lain melakukannya dan mereka menggunakan uang untuk kepentingan
pribadi dan membuat keropos negara, sementara kami melakukannya untuk
kepentingan membangun masyarakat yang lebih baik. Ini situasi darurat. Hal-hal
yang dilarang dalam situasi normal, dibolehkan dalam situasi darurat, dan kami
melakukannya demi kemaslahatan umat.”
Ia semau-maunya sendiri
dan membuat deklarasi melebihi wewenang presiden. Saya tidak pernah mendengar
presiden mengumumkan negara dalam keadaan darurat.
Saya membalasnya:
“Sebenarnya, menurut konstitusi negara, yang berhak menetapkan negara dalam
keadaan darurat hanyalah presiden. Tetapi, baiklah, saya sepakat dengan
pernyataan anda bahwa ini situasi darurat, kurang lebih seperti kita berada
dalam perahu yang hampir tenggelam dan beberapa benda di dalam perahu itu harus
dilempar ke laut agar perahu tidak karam dan para penumpangnya selamat. Menurut
saya, demi keselamatan, partai andalah benda pertama yang harus ditenggelamkan
ke dasar laut.”
Itu saran sungguh-sungguh kepada seseorang yang menganggap bahwa kacamata kuda adalah aksesori untuk tampil modis, baik untuk menjalani hidup sehari-hari bersama para tetangga maupun untuk menggeluti dunia politik. Jika sebuah partai dipenuhi dengan kader yang mengembangkan pikiran-pikiran kotor semacam itu, dan semuanya berkacamata kuda, saya pikir partai itu memang benda pertama yang harus dibenamkan ke dasar laut agar perahu tetap bisa berlayar sampai tujuan dan semua penumpang selamat.
Pikiran yang kotor membuat orang mudah digembalakan dan dihasut untuk kembali
ke masa pra-ilmiah dua puluh atau dua puluh tujuh abad lalu, ke masa ketika
seorang perempuan tiba-tiba menjadi tiang garam karena menoleh ke belakang.
Pikiran kotor juga membuat orang mudah diajak meratapi kembalinya masa kelabu
pra-peradaban seolah-olah itu zaman emas. Anda cukup menyewa orang untuk
menyiarkan dusta: “apa kabar? Enak jamanku, tho?” dan akan ada sekawanan orang
menyuarakan kerinduan mereka.
Sedih saya. Itu zaman yang membuat kita bebal hingga hari ini. Mari kita
bermenung bersama lagu Rossa Duet Broery
Marantika – “Jangan Ada Dusta Diantara ...”
Lirik
Ketika pertama kujumpa denganmu
Bukankah pernah kutanyakan padamu, kasih?
Takkan kecewakah kau pada diriku?
Takkan menyesalkah kau hidup denganku nanti?
Ho-o kasih
Memang kau bukan yang pertama bagiku
Pernah satu hati mengisi hidupku dulu
Dan kini semua kau katakan padaku
Jangan ada dusta di antara kita, kasih
Di antara kita, kasih
Semua terserah padamu aku begini adanya
Kuhormati keputusanmu
Apa pun yang akan kau katakan (kukatakan)
Sebelum terlanjur kita jauh melangkah
Kau katakan saja
Dan katakan padaku
Jangan ada dusta
Di antara kita
Memang kau bukan yang pertama bagiku
Pernah satu hati mengisi hidupku dulu
Dan kini semua kau katakan padaku
Jangan ada dusta di antara kita, kasih (kasih)
Semua terserah padamu aku begini adanya
Kuhormati keputusanmu
Apa pun yang akan kau katakan (kukatakan)
Sebelum terlanjur kita jauh melangkah
Kau katakan saja.
Jumat, 18 Juni 2021