Banyak kasus dan kisah
yang menceritakan buah pahit dari kebohongan. Tapi apakah sekali-kali kita
pernah berpikir hakikat kebohongan itu sendiri? Dan bagaimana manusia bisa
berbohong? Apakah bisa kita terlepas dari kebohongan?
Hakikat Dusta
Mengenai hakikat
kebohongan atau dusta, penulis ingin mengajak pembaca kepada suatu ilustrasi
tentang seseorang yang buta warna. Seseorang yang normal dan buta warna diminta
untuk melihat warna suatu bunga, kemudian masing-masing memberitahukan apa yang
mereka lihat pada seseorang yang sama.
Seseorang yang normal
mengatakan bahwa ia melihat bunga berwarna merah, sedangkan orang yang buta
warna mengatakan bahwa ia melihat bunga itu berwarna ungu. Keduanya terlibat
perdebatan yang sengit tentang warna bunga yang mereka lihat. Keduanya sama
kolotnya karena mereka yakin tentang apa yang mereka lihat itu nyata.
Pertanyaannya, siapa
yang berdusta di antara mereka? Jika dusta diartikan salah, maka apakah yang
normal telah jujur karena ia menunjukkan warna yang sebenarnya? Lalu, apakah
yang buta warna berdusta karena ia melihat warna ungu itu sama nyatanya dengan
orang yang normal melihat warna hijau?
Di mana Kebenaran?
Ilustrasi di atas membawa kita pada pertanyaan
selanjutnya, yaitu di manakah letak kebenaran? Apakah ada pada warna bunga itu?
Atau pada orang yang memandangnya? Atau dengan kata lain, apakah kebenaran itu
terletak pada fenomena? Ataukah pada manusia? Bagaimana jika fenomena tersebut
terkait dengan manusia? Contoh sederhana yang dapat kita lihat ialah kehidupan
keluarga yang secara ekonomi kurang. Dilihat dari kondisinya, seharusnya
keluarga tersebut tidak merasa bahagia, akan tetapi keluarga tersebut merasakan
kebahagiaan karena selalu bersyukur.
Jadi kebenarannya,
apakah keluarga tersebut bahagia atau tidak? Kalau kebenarannya terdapat pada
kondisi keluarga, maka keluarga tersebut secara ekonomi kekurangan dan tidak
bahagia. Akan tetapi, jika kebenaran ada pada diri keluarga yang merasakan,
maka kebenarannya adalah keluarga tersebut bahagia karena mereka selalu
bersyukur.
Kebenaran
Menurut Para Filsuf
Mengenai letak kebenaran, penulis teringat pada filsuf Richard Rorty, ia menyatakan
bahwa “Kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, karena kalimat-kalimat itu
bergantung pada kata-kata, dan kata-kata adalah milik manusia, maka begitupun
kebenaran adalah milik manusia”. Sampai di sini, kita dapat simpulkan bahwa
kebenaran terletak pada manusia lewat bahasa. Bahasa sendiri sangat terkait
dengan pikiran. Ia adalah produk dari persepsi atau pikiran manusia itu
sendiri.
Permasalahannya yaitu
bahasa dalam dirinya mengandung ambiguitas. Di satu sisi, bahasa mereduksi
pikiran untuk kepentingan pemahaman, di sisi lain ia bisa bersifat hiperbolik,
melebih-lebihkan dan melampaui pikiran itu sendiri. Dunia bahasa tidak pernah
sedemikian literal dan apa adanya, alias dusta.
Namun, Michel Foucault,
dalam teorinya Rezim of Truth berpendapat bahwa kebenaran terbentuk dalam suatu
sistem atau rezim. Rezim ini semacam dasar yang menjadikan kebenaran berfungsi,
lengkap dengan aturan-aturan yang membuat seseorang mampu membedakan antara
benar dan salah. Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana kebenaran dan
kesalahan di setiap tempat sangat berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan
kepentingan yang berbeda-beda di setiap tempat rezim kebenaran tersebut.
Martin Heidegger, dalam
pandangan faktisitasnya, ia menyatakan bahwa manusia senantiasa tidak mampu
mengatasi keterlemparannya pada dunianya. Manusia tidak bisa memilih untuk
menjadi perempuan atau laki-laki, berkulit hitam atau putih, terlahir di
Indonesia atau di Australia, atau lainnya. Manusia sejak berada di dunia selalu
terhubung dan tidak pernah sama sekali terpisah dari dunianya. Dalam hal ini,
manusia tidak mampu melawan keberadaannya pada suatu sistem atau rezim
kebenaran yang ada dan tidak terlepas dari dirinya.
Jujur dan Dusta: Dua Sisi Mata Uang
Dalam keilmuan
neurosains, mungkin kita pernah mendengar alat pendeteksi kebohongan.
Sederhananya, alat ini mendeteksi kebohongan lewat aktivitas otak yang direkam
melalui alat khusus. Namun, apakah alat lie detector ini cukup valid? Dalam
beberapa percobaan neurosaintifik, ditemukan bahwa orang yang berbohong bahkan
mampu lebih tenang dari pada orang yang jujur.
Secara umum, dapat
disimpulkan bahwa orang yang berbohong memiliki tujuan yang sama dengan orang
yang jujur, yaitu sama-sama berusaha meyakinkan seseorang bahwa ia berkata
jujur. Oleh karena itu, aktivitas otak untuk berbohong sama dengan aktivitas
otak untuk berkata jujur. Sangat sulit untuk membedakan antara orang yang jujur
dengan orang yang berbohong.
Bukti-bukti neurosains
sendiri menunjukkan bahwa orang yang tidak pernah berbohong, hanya ditemukan
pada orang yang mengalami gangguan parkinson di mana otak yang berperan dalam
berdusta terganggu. Otak orang yang normal adalah otak yang mampu berkata
dusta. Hal ini membawa pada paradoks tentang dusta itu sendiri. Dusta secara
moral adalah penyakit, akan tetapi jika seseorang tidak bisa berdusta maka itu
adalah penyakit secara neurosains. Manusia selama mampu berkata jujur, maka ia
selalu berpotensi juga untuk berkata dusta.
Kebenaran Hakiki
Manusia dengan segala
potensi dustanya, serta didukung dengan keterlemparannya pada dunia yang telah
dilingkupi sistem kebenaran tertentu, seakan-akan membawa pada pernyataan bahwa
nyaris tidak ada kebenaran yang absolut dalam diri manusia. Tujuan penulis di
sini adalah menyadarkan para pembaca bahwa kita senantiasa lupa dengan adanya
kebenaran yang hakiki.
Kebenaran hakiki,
adalah kebenaran yang diakui oleh siapapun, inilah kebenaran yang sebenarnya.
Akan tetapi, kebenaran ini belum pernah tersentuh, belum pernah terjamah dan
belum pernah dimengerti juga belum pernah dibuktikan. Kebenaran dengan segala
misteri yang ada didalamnya, menyatu dengan hati nurani. Kebenaran yang dicari
dengan metode ilmiah, yang temuannya selaluterbantahkan oleh temuan berikutnya.
Kebenaran yang dihindari oleh kebenaran relatif karena ketidak mengertiannya.
Kebenaran yang di klaim sebagai kebenaran ideologis tapi yang akhirnya
berbenturan sesama kebenaran ideologis sendiri karena perbedaan penafsiran.
Kebenaran hakiki memang
tidak akan pernah tersentuh, akan tetapi keyakinan akan adanya kebenaran hakiki
hanya akan ditemukan dengan petun juk yang diyakini kebenarannya.
Di zaman ini saat
fikiran manusia banyak dikendalikan oleh isme isme tertentu,oleh pemikiran ala
pos mo yang sudah tidak lagi berfikir tentang hal hal yang bersifat hakiki maka
pemahaman tentang ‘kebenaran hakiki’ itu harus direka ulang kembali.
Dengan kata lain di
zaman ini tugas para pemikir ‘kebenaran hakiki’ sebenarnya menjadi jauh lebih
sulit ketimbang apa yang dilakukan seorang Socrates terhadap kaum Sopies sebab
di zaman ini tantangannya sudah demikian canggih dan semakin beraneka warna.
Sehingga di zaman ini
upaya untuk mendeskripsikan hakikat adanya ‘yang hanya mungkin satu’ dibalik
realitas yang beraneka warna tidaklah mudah masuk kedalam fikiran orang
orang tertentu,sebab dalam fikiran manusia tertentu seperti telah tertanam
suatu pandangan seolah realitas yang beragam ini berasal dari ‘hakikat yang
berbeda beda’ atau dengan bahasa lain ‘berasal dari tuhan yang banyak’ sehingga
tugas para pemikir ‘kebenaran hakiki’ adalah bagaimana meruntuhkan pandangan
seperti itu untuk menunjukkan bahwa kebenaran hakiki itu hakikatnya berwajah tunggal
- ada pada yang satu,sebagaimana matahari yang dibuat hanya satu untuk semua
manusia.
Dan itulah ke aneka
ragaman warna warni kehidupan dunia dengan berbagai perbedaan di dalamnya
adalah ujian tersendiri bagi para pencari kebenaran sejati untuk mencari
kebenaran sejati yang hakikatnya hanya mungkin ada satu.
Dan pelajaran tentang
adanya kebenaran hakiki yang hanya mungkin ada satu itu sebenarnya telah kita
peroleh di sekolah dasar dulu ketika guru kita saat memberi ujian kenaikan
memberikan pilihan jawaban untuk di pilih : pilih a - b - c - d atau e ? ...
maka sang guru tentu saja tidak akan mengatakan 'semua pilihan jawaban itu
benar' sebab pernyataan itu bisa merusak logika karena essensi dari tiap
pilihan jawaban itu dibuat berbeda beda bahkan berlawanan satu sama lain.
Lalu mengapa prinsip
demikian tidak kita terapkan dalam melihat (dan memahami ) realitas yang
beragam yang essensinya berbeda beda dan bahkan berlawanan satu sama lain?
Akhir kata, kita telah
melihat bagaimana peluang manusia untuk berkata jujur sama besarnya dengan
peluangnya untuk berdusta. Manusia dengan mudah menjadi Homo Hoaxinensis karena
kepentingan tertentu. Maka penulis mengajak para pembaca untuk senantiasa
memfilter dan tidak mengunggulkan satu sistem kebenaran tertentu. Karena pada
hakikatnya, manusia tidak akan lepas dari dusta. Kita harus senantiasa
berhati-hati dalam berucap, dan marilah kita menjunjung tinggi kebenaran yang
hakiki, yakni kebenaran Tuhan.
Inspirasi Jalan Setapak
Pada Secuil Kerikil
Di rumah tua,
Jumat, 18 Juni 2021