Pengrajin Tenun di Manggarai Barat. Foto : Remi Ansi |
"Dulu saya hanya
coba-coba saja pakai kulit nangka dan dedaunan, ternyata setelah dicelup benang
hasilnya bagus," kata perajin kain tenun Valeria di Desa Poco Ruteng,
Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, NTT, jumat, (25/6).
Valeria menceritakan
pemanfaatan pewarna alam telah ia lakukan sejak 2014 lalu. Namun produksi
secara masif baru dimulai pada 2017.
Kala itu Badan
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) datang ke daerahnya memetakan potensi
pewarna alam di lingkungan sekitar pemukiman.
"Warna alam tidak
cerah dan ramah pada kulit karena tidak mengandung bahan-bahan kimia,"
katanya.
Lebih lanjut, Ia
menjelaskan bahwa warna kuning dihasilkan dari batang nangka, warna cokelat
berasal dari kulit mahoni, dan warna merah bersumber dari akar serta batang
secang.
Kulit kedondong juga
bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan warna cokelat, buah kemiri untuk warna
putih, daun tembakau menghasilkan warna hijau, dan rumput indigofera untuk
warna biru.
Pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan untuk bahan pewarna kain menghasilkan tenun yang berwarna
kalem, sehingga menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan tenun dari daerah
lain di Flores.
"Nenek moyang kami
dulu sudah pakai pewarna alam untuk kain songke," kata Valeria
Ketua Asosiasi Kelompok
Usaha Unitas (Akunitas) Manggarai Barat Maria Srikandi Mayangsari menceritakan
perajin sempat memakai pewarna sintetis selama sekitar dua dekade karena metode
sintetis cepat dan mudah.
Pada 2017 metode
pewarnaan alam mulai digalakkan dalam membuat kain tenun khas Manggarai Barat
tersebut.
"Ada tuntutan
pasar yang ingin back to nature, sehingga pewarna alam kembali dipakai untuk
tenun," katanya.
Harga kain tenun
pewarna alam dibanderol Rp1,5 juta per lembar dengan panjang empat meter dan
lebar 75 sentimeter, sedangkan tenun pewarna sintetis dihargai Rp 500 ribu per
lembar kain.