Dari judulnya bisa
ditebak bahwa lagu ini berisi lirik yang bernada menasihati untuk menerima
sebuah kenyataan dengan penuh kebesaran hati. Lagu itu segera meledak
atau booming di tengah masyarakat dan menjadi sangat popular. Dan
merupakan lagu terakhir The Beatles. Sampai sekarang ini masih sering
dinyanyikan atau diputar di berbagai kesempatan.
Ceritanya, di sekitar
waktu penciptaan lagu itu, The Beatles kembali dari liburan di India. Liburan
itu dirasa kurang efektif untuk memperkuat soliditas The Beatles yang
sedang mengalami banyak guncangan internal. Sebut saja pernikahan John Lennon
yang retak dan kecanduan dengan heroin, George Harrison yang mulai tidak puas
karena tidak diperlukan adil, hingga Paul McCartney yang terlalu workaholic.
Belum lagi kekacauan manajemen yang menyebabkan The Beatles terus merugi. Ini
situasi yang sangat menggangu. “Saya mengalami masa yang sangat sulit sekitar
musim gugur 1968,” kenang McCartney dalam buku Marlo Thomas, The Right
Words at the Right Time.
Dia merasakan, The
Beatles bakal bubar. “Saya lalu begadang, minum-minum, menggunakan
narkoba, clubbing, seperti yang dilakukan banyak orang saat itu,” aku
McCartney.
Dalam situasi ini, Paul
yang memang pekerja keras berusaha keras tampil dominan agar The Beatles tetap
bertahan sehingga menghasilkan karya-karya baru. Namun tidak mudah dan terasa
amat melelahkan.
Siang malam, situasi
ini sangat mengganggu pikiran dan batin Paul. Dia pun terserang insomnia. Namun
setiap kali bisa tidur, persoalan ini menjadi menu pengantar tidurnya. Dan
begitu bangun, persoalan yang sama serta-merta langsung menyergap lagi. Mau buat
apa, Paul pun bingung sambi memendam beban berat dalam hatinya.
Persoalan tersebut lalu
menjelma menjadi bunga mimpi tidurnya. Suatu malam, ketika McCartney tertidur
pulas, sebuah mimpi menyelinap. Sesosok wanita datang mengunjunginya. Wanita
itu bernama Mary menasihatinya untuk tabah dan ikhlas menjalani segala sesuatu.
Wanita itu dengan
tatapan yang teduh dan suara yang tenang berbicara kepadanya. Tidak lain, dia
adalah sosok ibundanya sendiri bernama lengkap Mary Mohin McCartney, yang
meninggal karena kanker payudara ketika McCartney masih berumur 14 tahun.
Mendengar nasihat itu,
Paul merasa sangat diteguhkan. Terberkati. Hatinya tersergap rasa gembira atau
sukacita. Bebannya seperti terangkat begitu saja. Legah! Motivasi dan
semangatnya tumbuh. Ia akhirnya mengabadikan pengalaman itu dengan lagu Let It Be.
Simak lirik berikut:
When I find myself in times of trouble
Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom
Let it be
And in my hour of darkness
She is standing right in front of me
Speaking words of wisdom
Let it be
Banyak orang
mengira, tokoh “Mary”
dalam Let It Be itu adalah
Bunda Maria, ibu Yesus. Bagi Paul, penafsiran itu tidaklah salah. “Barangkali
itulah keindahan dari musik, semua orang bebas menginterpretasikan artinya
sesuai apa yang mereka rasakan ketika mendengar lagu ini,” kata McCartney suatu
saat.
Memang lagu ini seakan
memberikan semangat dan motivasi, bahwa menghadapi pergumulan hidup itu memang
tidak mudah, namun jika dijalani dengan sabar akan menghasilkan sesuatu yang
positif.
Kematian Mendadak yang “Menghancurkan”
Kematian mendadak Mary
Mohin McCartney menghancurkan keluarga McCartney. Bagi McCartney, Mary adalah
ibu yang luar biasa, sumber kekuatan dan dukungan utama. “Dia pernah menjadi
perawat, ibuku, dan pekerja keras, karena dia menginginkan yang terbaik untuk
kami. Kami bukan keluarga kaya—kami tidak punya mobil, kami hanya punya
televisi—jadi kedua orang tua saya pergi bekerja, dan Ibu menyumbang separuh
pendapatan keluarga. Pada malam hari ketika dia pulang, dia memasak, jadi kami
tidak punya banyak waktu satu sama lain. Tapi dia adalah sosok yang sangat
menghibur dalam hidupku.”
Atas kepergian ibunya,
McCartney belajar mati-matian untuk menguasai keterampilan bermain gitar. Itu
juga yang menjadi dasar persahabatannya dengan John Lennon, yang juga
kehilangan ibunya dua tahun kemudian dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. “Itu
menjadi ikatan yang sangat besar antara John dan saya,” kata McCartney dalam
film dokumenter The Beatles Anthology. “Kami berdua mengalami gejolak
emosional yang harus kami tangani dan, sebagai remaja, kami harus menghadapinya
dengan sangat cepat.” “Let It Be”
menjadi single terakhir band ini sebelum perpisahan mereka diumumkan
pada bulan April 1968.
Sejak saat itu lagu ini
mencapai status sebagai himne modern yang dicintai, membawa kegembiraan dan
inspirasi bagi jutaan orang yang tak terhitung jumlahnya.
Pada tahun 1968 itu
terpilih sebagai final bertabur bintang di panggung London Live Aid,
memancarkan pesan surgawi iman Maria di seluruh dunia.
Gambar Bunda Maria |
Lagu itu membawa
penghiburan bagi penulisnya sekali lagi pada tahun 1998, ketika kerumunan 700
orang menyanyikannya di sebuah upacara peringatan untuk Linda istrinya, yang
meninggal akibat kanker payudara. Terlepas dari maknanya yang sangat
pribadi, McCartney tetap bersikap baik tentang beberapa interpretasi saleh.
Paul McCartney, salah satu personil The Beatles |
Sekali lagi, tentang
interpretasi orang yang mengira tokoh Mary dama lagu tersebut adalah Bunda
Maria, Ibu Yesus, McCartey mengatakan tidak keberatan. “Saya cukup senang
jika orang ingin menggunakannya lagu itu untuk menopang iman mereka. Saya tidak
punya masalah dengan itu dan tidak keberatan,” katanya kepada Miles. (EDL/aleteia.org
dan sumber lain)