Penulis, (tengah) bersama rekan-rekan kerja |
Kita hidup di dunia
yang semakin rumit. Banyak hal tak lagi bisa dilakukan sendirian. Maka kita
perlu kerja sama, atau berkolaborasi. Kolaborasi adalah model kerja masa kini
dan masa depan.
Hal yang sama berlaku
di dalam lingkup organisasi. Segala sesuatu mulai dari menentukan strategi
organisasi, tata kelola yang baik, sampai menciptakan produk-produk baru,
membutuhkan proses kerja sama yang harmonis sekaligus dinamis. Untuk itu dalam
semua hal, menurut Adam Richardson, kita memerlukan sekumpulan kemampuan,
perspektif, dan pendekatan yang berbeda, yang bekerja sama secara harmonis
sekaligus dinamis. (Richardson, 2011)
“Untuk menciptakan
inovasi di pasar,” demikian tulisnya, “kita memerlukan perpaduan antara
orang-orang yang dominan otak kiri sekaligus otak kanan, para visioner
sekaligus tukang, orang-orang idealis yang keras kepala sekaligus orang-orang
pragmatis yang berpikiran fleksibel.” (Richardson, 2011)
Esensi dari kolaborasi
atau kerja sama adalah perpaduan elemen-elemen yang (kontras) berbeda untuk
menciptakan sesuatu yang sebelumnya tak terpikirkan. Namun di Indonesia
sekarang ini, banyak tantangan untuk menciptakan kolaborasi. Dalam pendidikan
siswa tidak dibiasakan untuk bekerja dalam kelompok. Jika ada kerja kelompok,
yang terjadi adalah satu orang bekerja lebih rajin, sementara yang lain hanya
numpang menaruh nama. Jadi sebenarnya tidak ada kerja sama.
Padahal di dalam
dunia sekarang ini, kemampuan bekerja dalam tim secara bersama adalah sesuatu
yang amat penting. Kolaborasi adalah kunci bagi keberhasilan di semua hal. Jika
sistem pendidikan kita tidak memahami fakta ini, maka sumber daya manusia kita
akan ketinggalan jaman. Kita akan menjadi tidak relevan.
Untuk bisa bekerja sama, kita perlu memiliki
empati, yakni kemampuan untuk melihat suatu masalah dari sudut pandang orang
lain. Sementara dunia pendidikan formal kita justru tidak mempersiapkan anak
didik untuk memiliki kemampuan semacam itu. Bahkan seperti dikatakan oleh pakar
pendidikan Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, dunia pendidikan internasional
sekarang ini seolah mengajarkan anak didik untuk tidak bekerja sama. Saya rasa
hal yang sama bisa dikatakan tentang Indonesia.
Proses
Banyak orang lupa bahwa kerja sama, atau kolaborasi, adalah suatu proses, dan bukan semata peristiwa yang langsung dapat ada. Kerja sama perlu waktu, dan bahkan perlu pemanasan maupun pengkondisian untuk melakukannya. Sama seperti seorang atlit yang hendak bertanding memerlukan pemanasan, kerja sama pun butuh pemanasan, sebelum kerja sesungguhnya dilakukan.
Kerja sama yang sejati akan bertahan lama, dan menghasilkan hal-hal yang bermakna. Supaya bisa bertahan lama, menurut Richardson, proses kerja sama harus diikat oleh kepercayaan. (Richardson, 2011) Inilah salah satu tahap pemanasan, sebelum orang bisa sungguh bekerja sama. Orang perlu mengenal satu sama lain, baik secara profesional maupun secara personal. Orang perlu tahu gaya bekerja rekannya, termasuk cara mereka berkomunikasi, kelemahan diri, maupun kekuatannya.
Pemilik atau pimpinan organisasi perlu untuk sungguh memperhatikan hal ini.
Mereka perlu untuk secara aktif dan sadar mengajak rekan-rekan kerjanya untuk
saling mengenal satu sama lain, dan menciptakan kepercayaan di antara mereka,
sebelum sungguh bekerja untuk melakukan sesuatu. Pengenalan dan kepercayaan di
antara anggota kelompok akan membuat proses kerja lebih efisien dan bermakna
untuk semua pihak. Jika sudah begitu kualitas hasil kerjanya pun tak perlu
diragukan.
Inovasi
Bentuklah kerja sama yang sejati di antara sekelompok orang yang berlatar berbeda, maka segalanya akan ditambahkan padamu, baik efektivitas, kreativitas, maupun inovasi. Begitulah argumen yang dinyatakan oleh Adam Richardson. Pada hakekatnya inovasi adalah soal menggabungkan ide maupun perspektif (seperti filsafat dan bisnis) yang sebelumnya tak pernah, atau jarang, dilakukan. Paradigma kolaborasi bisa diterapkan dalam hal ini.
Richardson juga menambahkan bahwa inovasi selalu melibatkan pengambilan resiko. Ini hanya dapat terjadi dengan baik, jika para pengambil resiko saling mempercayai satu sama lain, terutama ketika keadaan tidak berjalan sesuai rencana. “Metode untuk membangun kepercayaan guna bekerja sama”, demikian tulisnya, “akan membantu banyak orang untuk secara bersama berani mengambil resiko dari hasil kerjanya.” (Richardson, 2011)
Tidak ada satu pun organisasi yang bisa bertahan di dunia sekarang ini di dalam
isolasi. Mereka membutuhkan orang lain, terutama yang berbeda dari mereka.
Mereka membutuhkan pihak-pihak lain untuk mengisi kekosongan yang ada, baik
kekosongan visi, pengetahuan, moral, dan sebagainya. Bahkan mereka membutuhkan
adanya pihak lain untuk memberikan kritik, termasuk kritik yang amat tajam,
kepada cara kerja atau arah organisasi mereka.
Membongkar Mitos
Seperti sudah ditegaskan sebelumnya, kemampuan untuk bekerja sama, atau
kolaborasi, sangatlah penting di dalam dunia yang terus berubah, seperti
sekarang ini. Dan seperti telah dijelaskan oleh Richardson, kerja membutuhkan
empati, persiapan, kepercayaan, dan pengenalan dari pihak-pihak yang melakukan
kerja sama. Namun seperti juga ditegaskan oleh Richard Hackman, banyak mitos
yang menyelebungi pemahaman kita soal kerja sama.
Ia setidaknya melihat enam mitos. Mitos pertama terkait dengan pandangan umum yang mengatakan, bahwa harmoni adalah hal terpenting di dalam sebuah kelompok atau organisasi. Orang tidak perlu membuang waktu untuk berdebat, dan langsung bekerja saj
Inilah mitos pertama yang perlu dibasmi. Berdasarkan penelitiannya Hackman menyimpulkan, bahwa perdebatan, dan bahkan konflik, jika ditata dengan baik dan fokus pada tujuan yang ingin dicapai, akan menghasilkan ide-ide yang kreatif, guna mencapai tujuan, atau menyelesaikan masalah yang ada. Sementara pada kelompok yang melenyapkan perdebatan maupun konflik, ide-ide yang digunakan cenderung sudah umum, dan masalah cenderung tetap ada, atau bahkan membesar. (Hackman, 2011)
Namun perlu juga dicatat, bahwa konflik ataupun perdebatan harus fokus pada
pekerjaan yang hendak dilakukan, dan bukan pada masalah pribadi. Prinsip yang
digunakan adalah argumentum ad rem, yakni argumen yang dilontarkan pada
hal yang menjadi perdebatan, bukan pada orang yang mengajukan argumen tersebut
(ad hominem). Ini amat penting untuk diingat, supaya perdebatan dan konflik
bisa menyumbangkan ide-ide segar untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Wajah Baru
Mitos kedua yang perlu dibongkar adalah anggapan, bahwa organisasi harus selalu
membuka ruang untuk anggota-anggota baru yang diharapkan bisa membawa ide-ide
segar pada pengembangan organisasi. Tanpa wajah-wajah baru itu, organisasi akan
berpikiran dan bertindak “tua”, sehingga tidak lagi mampu menanggapi tantangan
jaman.
Argumen ini jelas punya kebenarannya sendiri. Namun menurut penelitian Hackman,
semakin lama orang berada di satu kelompok tertentu, maka kinerjanya akan semakin
baik. Di dalam tim basket ataupun orkestra, tim yang sudah bersama lebih lama
akan tampil lebih baik. Memasukan orang baru ke dalam suatu organisasi tidak
otomatis membawa kesegaran yang akan membawa tim itu bekerja lebih baik.
Ukuran
Mitos ketiga adalah bahwa semakin besar suatu organisasi, maka semakin baik.
Pengandaiannya adalah bahwa organisasi yang besar memiliki sumber daya yang
juga besar untuk digunakan. Semakin besar sumber daya yang ada, maka semakin
besar pengaruh organisasi itu di masyarakat.
Hackman tidak setuju dengan pendapat ini. Berdasarkan penelitiannya ukuran
organisasi yang terlalu besar adalah musuh utama bagi terciptakan kolaborasi
yang bermakna. Di dalam organisasi raksasa, akan ada banyak penumpang bebas yang
tidak bekerja efektif, namun hanya menumpang mencari nafkah. Mereka ini disebut
para free-rider. Jika sudah begitu maka koordinasi yang efektif pun
sulit tercipta. “Kelompok kecil”, demikian tulisnya, “lebih efisien dan lebih
tidak membuat frustasi.” (Hackman, 2011)
Komunikasi
Mitos keempat adalah soal komunikasi. Di tengah berkembangnya dunia informasi
dan komunikasi, orang tidak lagi perlu bertatap muka. Mereka cukup menggunakan
email ataupun telepon untuk menyampaikan maksud mereka. Dengan kecangihan
teknologi ini, proses kerja untuk mencapai tujuan bisa berlangsung lebih
efisien.
Penelitian yang dilakukan Hackman memperoleh kesimpulan yang berbeda. Baginya
proses komunikasi virtual dengan menggunakan teknologi memiliki banyak
kerugian. Komunikasi yang tercipta tidak berkualitas, sehingga pertukaran ide
pun tidak berjalan maksimal. Ide-ide yang dihasilkan cenderung umum dan tidak
kreatif. (Hackman, 2011)
Perjumpaan fisik tetap merupakan cara terbaik untuk berkomunikasi, termasuk
dalam kolaborasi bisnis ataupun organisasi manapun. Secara finansial perjumpaan
fisik memang membutuhkan biaya banyak. Namun berdasarkan penelitiannya Hackman
menyimpulkan, bahwa ini adalah investasi yang perlu untuk dilakukan, guna
meningkatkan kualitas kerja sama yang ada.
Pemimpin
Mitos kelima adalah anggapan umum, bahwa kunci perubahan terletak di tangan
pimpinan. Kepribadian, perilaku, dan gaya memimpin pemilik bisnis ataupun
pimpinan organisasi amat menentukan keberhasilan suatu organisasi. Anggapan ini
begitu tertanam di dalam benak orang Indonesia, ketika berbicara politik
ataupun bisnis.
Angapan ini tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan penelitiannya Hackman menyimpulkan, bahwa yang terpenting adalah atmosfer organisasi yang mampu menciptakan kondisi bagi setiap anggota untuk memimpin dirinya sendiri. Jadi mereka bekerja dalam tim, sekaligus mampu memimpin dan mengatur diri mereka sendiri secara tepat.
Pimpinan tetap
berperan. Namun perannya tidak sebesar yang dibayangkan banyak orang. Tugasnya
hanyalah menciptakan atmosfir yang memungkinkan setiap orang berkembang
sekaligus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Setelah itu ia bisa duduk, dan
menikmati hasil kerjanya.
Bakat
Mitos terakhir yang juga perlu dibongkar adalah anggapan, bahwa untuk mencapai
hasil yang baik, orang hanya perlu mengumpulkan orang-orang berbakat pada satu
tim, informasikan kepada mereka apa tujuan kerja mereka, maka semuanya akan
beres. Seolah sekumpulan orang-orang hebat akan menghasilkan hasil yang hebat
pula.
Menurut Hackman kunci utama keberhasilan suatu organisasi bukanlah hadirnya
kumpulan orang-orang berbakat, tetapi visi yang jelas, dan tersedianya sumber
daya yang mencukupi, guna menerapkan langkah-langkah praktis-jelas untuk
mewujudkan visi itu. Orang-orang berbakat diperlukan, tetapi tidak mutlak, dan
bukan merupakan kunci keberhasilan.
Problem Lebih Jauh
Jelaslah di dalam dunia yang terus berubah, orang tidak bisa bekerja sendirian.
Organisasi pun juga tidak dapat bekerja dalam isolasi dari
organisasi-organisasi lainnya. Maka yang dibutuhkan adalah kerja sama, atau
kolaborasi, di berbagai bidang kehidupan, supaya kita bisa sungguh hidup
bersama, dan mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Dapat dikatakan bahwa
kolaborasi adalah harga mati di semua bidang sekarang ini. Orang tidak dapat
menawar, apalagi menolaknya.
Kunci dari kolaborasi menurut Richardson adalah empati dan kepercayaan. Empati
diperlukan supaya orang bisa melihat masalah dari sudut pandang orang lain.
Sementara kepercayaan diperlukan supaya orang bisa mengambil resiko-resiko
penting dalam kerja dan hidupnya, tanpa merasa takut, bahwa ia akan
ditinggalkan, dan hancur sendirian pada akhirnya.
Juga untuk bisa bekerja sama, orang perlu melepaskan mitos-mitos yang
menyesatkan di dalam pemahaman mereka tentang kerja sama, seperti yang telah
ditegaskan oleh Hackman. Di dalam organisasi kita perlu membuka ruang
untuk perdebatan, tidak terlalu cepat memperbesar diri, tidak gampang menerima
anggota baru, memperbanyak proses komunikasi tatap muka antar anggota, tidak
menggantungkan diri pada pemimpin, serta tidak terpesona dengan karisma
orang-orang berbakat semata.
Filsafat sebagai suatu displin yang hendak memahami dunia secara rasional,
kritis, dan sistematis sudah selalu ada di dalam semua proses tersebut, mulai
dari sikap empati, sampai pembongkaran mitos yang beredar. Konsep-konsep utama
filsafat, seperti otonomi; kemampuan menentukan diri sendiri, dan rasionalitas,
amat penting di dalam mengembangkan kolaborasi di dalam organisasi.
Saya rasa sudah saatnya para filsuf menengok ke dunia pengembangan organisasi.
Karena bagaimana pun kita selalu hidup dalam organisasi, mulai dari masyarakat,
perusahaan, sampai negara. Sudah saatnya.
KOLABORASI
(SAJAK AKAR RUMPUT)
Kolaborasi, adalah saling bergandengan tangan
Dalam meraih tujuan
Saling menguatkan
Bukan saling melemahkan
Kolaborasi, dilandasi oleh saling percaya
Bukan saling curiga
Bukan pula saling prasangka
Yang akan merusak suasana
Kolaborasi, adalah saling melengkapi
Karena setiap orang punya kelebihan dan kekurangan
diri
Bukan saling menutup diri
Karena takut tersaingi
Kolaborasi, menjadikan pekerjaan semakin mudah
Kehidupan akan makin indah
Kebersamaan terjalin sudah
Dan hasilnya akan menjadi berkah
Inspirasi Jalan Setapak Angkaes-Kabupaten Malaka,
Permenungan Senja
Jumat, 16 Juli 2021