Megalomania: Ekspresi Keterpecahan Jiwa (Split of Personality)

Megalomania: Ekspresi Keterpecahan Jiwa (Split of Personality)

Prestasi dan prestise, sejoli semantis yang menyertai aktivitas manusia. Prestasi spektakuler, prestise tinggi menjadi incaran, obsesi. Acapkali prestise (status oriented) jadi tiran atas prestasi. Orang merasa diri berjasa, sekecil apa pun kontribusinya. Lazimnya hasrat akan prestise (gengsi) tak diimbangi prestasi, hanya menampilkan gaya, bukan makna; kulit ketimbang isi. Kemegahan didewakan biar dikonstruksi di atas pelanggaran hak asasi dan parahnya ekosistem.

 

Tak sedikit rona pembangunan bernuansa destruktif. Padahal tujuan ontologis pembangunan adalah humanisasi diri manusia dan dunianya. Tanah rakyat disulap jadi arena golf, misalnya. Kata Hayono Isman (semasa Menpora),"Padang golfitu tanda kesejahteraan bangsa." Golfmania. Golf: simbol status orang kaya baru serempak disparitas sosial. Di ujung tahun 1997 kelaparan menggerogoti rakyat beberapa tempat di Irian Jaya. Nusa Irian, laksana ratna mutu manikam, toh lapar. Ratusan jiwa melayang. Bala bantuan amat terlambat tibanya. Ironisnya, pemerintah tidak sudi mengklaim sebagai malapetaka nasional, cuma tragedi lokal, aksidental. Konon, kredibilitas mereka tererosi jika mengafirmasikan ketidakberesan. Hampir bersamaan, di Jakarta dana dihamburkan sekedar show kembang api Sea-Games XIX. Solidaritas hanya verbalisme. Tugu, gedung pencakar langit dibangun di antara gubug reot. Lagi hangat, mega proyek menara Jakarta (tertinggi sejagat)- biar bermodal utang. Alokasi biaya demonstratif; indikasi lestarinya mentalitas arkais (prestise semata).

 


Kita akui: manusia dan kegiatannya terjangkit megalomania. Fenomena di atas pada tataran rekayasa pembangunan. Gaya hidup manusia kini pun dirasuki sindro megalomania. Orang merasa diri hebat, paling -, superior (Ãœbermensch-nya Nietzsche). Virus ini kondusif dalam badai individualisme-materialisme. Yang up to date dilahap tanpa kenal kenyang. Yang trend dianutagar digelari trendy. Kegiatan konsumtif (pesta-pora) marak. Hidup mewah dan glamour image maju dan modern. Uang diinvestasikan untuk koleksi barang luks demi pajangan; want bukan need. Aktualisasi diri (puncak kebutuhan ala Maslow) diekspresikan sebagai lambang status, berbasiskan pleasure principle. Orang berkompetisi agar lebih dari yang lain. Delusion of grandeur (mendefinisikan diri sebagai orang besar). Jadi pemimpin dengan menghalalkan cara: nepotis, karbitan. Yang lain mempilar diri: Mesias, jelmaan Soekarno, titisan Yang Kudus. Nyatanya pseudo, flatus vocis. Merumuskan diri hebat (demi prestise tanpa prestasi); kepada model manusia ini, kita kredit wacana Paulus: "Mereka... laksana gong yang berkumandang, canang yang gemerincing".

 

Megalomania: ekspresi keterpecahan jiwa (split of personality). Patos ini punya stadium: rendah (mild), menengah, dan parah. Yang buntut tentu meminta sentuhan psikiater. Resep preventif (juga kuratif): sadar diri, rendah hati. Bukan rendah diri. Yesus dari Nazaret, Putra Allah tulen. Ia membaptis diri "Anak Manusia". Pasti ini bukan kesombongan identitas. Mgr. Belo mengalamatkan nobelnya buat warga Tim-Tim yang kemanusiaannya dilecehkan dan dibonsai (imbas genocide). Rendah hati,  Solider, Egaliter.



Rendah hati, bukan terbatas keutamaan etis; juga kebijaksanaan. Sejarah ditenun dari rangkaian peristiwa. Bila ada prestasi dan prestise lumayan; tidak seluruhnya produk keringat pribadi. Ada intervensi yang lain. Tak meleset kita berkiblat pada Heidegger: DENKEN IST DANKEN! BERPIKIR ARTINYA BERSYUKUR!"







Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama