Seorang rekan pernah bertanya kepada saya: Hidup itu
untuk makan atau makan untuk hidup? Saat itu saya memilih kalau makan itu untuk
hidup. Makan, pertama-tama, memang untuk hidup. Dengan makan saya akan
memperoleh energi untuk melakukan segala aktivitas serta tugas dan tanggung
jawab yang dipercayakan kepada saya.
Mengapa saya tidak memilih yang pertama? Apa yang
salah kalau memang hidup itu untuk makan? Saya tidak memilihnya, karena dalam
hemat saya hidup ini terkesan sangat dangkal kalau hanya untuk makan saja.
Bisa-bisa saya akan dicap sebagai orang yang rakus kalau dalam benak saya yang
ada hanya soal makan dan makan terus.
Benarkah demikian adanya? Sungguhkah mereka yang
menjalani kehidupannya dengan menempatkan perkara makan di atas segalanya, kita
cap sebagai orang yang rendah kualitas hidupnya? Sebagai orang yang hanya
memikirkan perkara duniawi? Ada baiknya kita tidak terlalu cepat memberi
penilaian yang buruk tanpa memperhatikan terlebih dahulu konteks kehidupan yang
sedang mereka jalani.
Seorang warga unggahannya menjadi viral di facebook
setelah mengeluh mendapatkan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) hanya
Rp. 215 ribu. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah mereka seharusnya
mendapatkan Rp. 600 ribu (https://pontianakpost.co.id/nilai-blt-dd-tak-sesuai-viral-di-medsos-pemkab-turunkan-tim-investigasi).
Bagamaimana penilaian kita terhadap aparat yang
masih saja tega mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari penderitaan
sesamanya? Orang-orang ini layak kita sebut sebagai orang yang rakus, rendah
kualitas hidupnya, dan sebagainya. Mereka dan para koruptor adalah contoh orang
yang hidup hanya untuk makan. Makan duit rakyat.
Sekarang persoalannya bagaimana kalau hal tersebut
terjadi dengan mereka yang hidup serba berkekurangan? Saudara-saudari kita yang
dari hari ke hari berkeringat dan berdarah-darah mencari sesuap nasi? Terhadap
mereka ini, saya pribadi tidak akan berani menilai bahwa kualitas hidup mereka
sangatlah dangkal karena hanya memikirkan urusan perut.
Mungkin ada dari antara kita yang sudah pernah
menonton film The Pianist. Sebuah karya dari seorang sutradara dan aktor
terkenal asal Polandia, Roman Polanski. Film ini berangkat dari kisah nyata
dari kehidupan seorang pianis asal Polandia yang masih keturunan Yahudi,
Władysław Szpilman.
Degan latar belakang pendudukan Jerman atas Warsawa,
film ini mengisahkan perjuangan seorang insan untuk bertahan hidup. Sebagai
seorang pianis, Szpilman tentulah dikenal banyak orang. Dia juga memiliki
beberapa teman orang Polandia yang sangat baik kepadanya. Merekalah yang banyak
membantunya dalam mencarikan tempat persembunyian dan mengantarkan makanan.
Tindakan mereka tersebut adalah nyawa taruhannya. Sebab, siapa pun yang
berusaha melindungi atau menyembunyikan orang-orang Yahudi akan turut dibantai
oleh tentara Jerman.
Szpilman selalu lolos dari kejaran tentara Jerman.
Namun, ketika situasi sudah semakin genting, teman-temannya tidak bisa lagi
mengantar makanan untuknya seperti sediakala. Peluang untuk bertahan hidup
semakin menipis. Dalam situasi genting seperti itu, kepada seorang teman
Polandia yang menemuinya di tempat persembunyiannya, dan menyampaikan bahwa
mereka kesulitan mencari makanan untuknya, sambil melepas jam tangannya, lalu menyerakannya
kepada temannya itu, ia berkata, “Ini. Jual ini. Makanan lebih penting daripada
waktu”.
Kisah hidup Szpilman bersama dengan orang-orang
Yahudi lainnya, pada titik tertentu, seakan menampilkan kalau hidup itu seolah
menjadi medan perjuangan dalam mencari makanan. Apakah hidup itu untuk makan
atau makan itu untuk hidup, bagi Szpilman, bukan saat yang tepat untuk memilih
prinsip mana yang lebih bagus dan penting. Yang terpenting baginya sekarang
ialah ia bisa mendapatkan makanan dan bisa bertahan hidup.
Apakah bagi Szpilman waktu itu sungguh tidak
penting? Baginya, waktu tentu sangat penting dan berharga. Dengan memiliki
waktu (jam tangan), dia bisa merancang hidup dengan baik sekalipun berada dalam
ketidakpastian akan keselamatan hidupnya sendiri. Namun, waktu itu harus ia
korbankan karena ada sesuatu yang lebih penting untuk ia dapatkan supaya bisa
bertahan hidup, yakni makanan.
Tidakkah kisah hidup Szpilman-Szpilman yang lain,
yang akhir-akhir ini kita saksikan atau mungkin kita alami akibat pandemi
Covid-19 ini? Pandemi ini tidak hanya telah merenggut nyawa jutaan penduduk
dunia, tapi juga telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan.
Kehilangan pekerjaan dengan sendirinya akan mengakibatkan orang kesulitan
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Apakah hidup itu
untuk makan? Atau makan untuk hidup? Sepertinya yang menjadi persoalan bukan
perkara memilih prinsip mana yang lebih bagus. Pergulatan dan perjuangan anak
manusia untuk bertahan hidup seakan mengingatkan kita kalau kedua prinsip itu
seringkali saling tumpang tindih.
Barangkali dalam realitas yang sering tumpang tindih
itu, filsafat eksistensialisme dan fenomenologi bisa membantu kita dalam
memahami manusia beserta pergulatan hidupnya. Mereka yang menjadi pengikut
kedua paham ini tidak akan tergesa-gesa memberi penilaian. Ketimbang sibuk
memberi penilaian, mereka akan dengan berani menceburkan diri dalam realitas
kehidupan manusia yang seringkali berkeringat dan berdarah-darah dalam usaha
untuk bertahan hidup.
Kedua paham ini berusaha memahami manusia dari
fenomena atau realitas yang nampak di depan mata. Keduanya melakukan kontak
langsung dengan realitas. Dogmatisme atau absolutisme, karena itu, akan ditolak
karena dipandang menghalangi obyek kesadaran untuk menampakkan diri apa adanya.
Karena itu, seorang eksistensialis atau fenomenolog
ketika berjumpa dengan Szpilman atau mereka yang siang malam tak kenal lelah
mencari sesuap nasi, tidak akan berani berkata: “Saudaraku, cukuplah! Jangan
diteruskan! Ingat, makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan”. Di mata
mereka, ungkapan semacam itu hanya sebuah retorika indah namun tanpa makna.
Sebab, bagaimana mungkin berkata dengan begitu indah kepada mereka, sementara
sebutir nasi pun tak ada di hadapan mereka?
Apakah kedua paham tersebut merupakan kritik
terhadap kaum idealis? Boleh dikatakan demikian. Kalau begitu, apa yang keliru
dari paham idealisme dalam memaknai realitas? Kritik Kierkegaard, seorang
filsuf eksistensialis asal Denmark, terhadap Hegel bisa menjadi contohnya.
Di mata Kierkegaard, filsafat Hegel yang hendak
membangun sebuah sistem yang komprehensif, mampu memahami segala-galanya,
merupakan sebuah proyek yang ambisius dan tak masuk akal. Menurut Kierkegaard,
dengan pemikirannya itu, Hegel praktis menghilangkan daya sengat
perasaan-perasaan eksistensial manusia, misalnya kecemasan, kemarahan,
penderitaan dan keputusasaan. Ringkasnya, dengan sistem yang dibangun oleh
Hegel, filsafat telah melupakan makna menjadi manusia.
Berfilsafat dengan cara Hegel, bagi Kierkegaard,
bagaikan naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah. Dari puncak gunung orang
dapat melihat tatanan atau sistem pengaturan wilayah tersebut. Semuanya
kelihatan indah, rapi dan teratur. Yang tidak kelihatan ialah apa yang terjadi
di bawah atap rumah dan apa yang bergolak dalam hati penghuni rumah itu:
anak-anak yang mengalami kekerasan, suami-istri yang sedang bertengkar, mereka
yang berjuang untuk sembuh dari penyakit, para karyawan yang kehilangan pekerjaan
dan tidak tahu bagaimana harus menghidupi keluarganya, seorang pemuda/pemudi
yang diputus oleh pacarnya, dan sebagainya.
Jadi, sekali lagi, apakah hidup untuk makan atau
makan untuk hidup? Saya sendiri tidak akan memilih prinsip mana yang indah dan
bagus untuk menjalani kehidupan. Saya lebih senang menempatkan keduanya tidak
saling bertentangan, tapi berjalan beriringan. Jadi, bukan lagi apakah hidup
itu untuk makan atau makan untuk hidup, melainkan hidup untuk makan dan makan
untuk hidup. Untuk hendak mengatakan bahwa konteks anak manusia dalam bergelut
dan berjuang untuk bertahan hidup menjadi penting dalam memahami realitas hidup
sehari-hari.
Namun, terhadap mereka yang haus akan harta, mereka
yang tega mengebiri bantuan untuk rakyat kecil, para koruptor, kita tidak perlu
berdebat apakah kita seorang eksistensialis, fenomenolog atau kaum idealis.
Saya rasa kita akan sepakat kalau mereka-mereka itu adalah orang yang hidupnya
hanya memikirkan urusan perut sendiri. Orang-orang yang hidup hanya untuk memakan
jatah milik orang lain.
Referensi:
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan
Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004).
TRI_2020Jul26_Artikel
Rm Nyaming 030