Ketika Cinta Menjadi Sajak (Puisi), Seks Menjadi Pemerkosaan (Telaah Singkat atas Kasus Pemerkosaan)

Ketika Cinta Menjadi Sajak (Puisi), Seks Menjadi Pemerkosaan (Telaah Singkat atas Kasus Pemerkosaan)





Setapak rai numbei  - Persoalan pemerkosaan dan seksualitas belakangan banyak muncul di berita Tv maupun media massa atau media online dalam sudut pandang beragam. Kebanyakan di media online ada yang mengupas tentang kehamilan dampak pemerkosaan. Ada yang menyoal perkosaan dengan pertanyaan; “Mungkinkah memasukkan benang dalam lubang jarum bergoyang? Apa enaknya “kerja” sendirian? Ada juga yang bertanya “Adu Kejantanan dan Perkosaan: Sampai Kapan?” Dari beragam tulisan yang muncul lalu timbul pertanyaan: “Di manakah cinta?” Mungkinkah ketlisut (lupa), tapi maunya orgasme orgasme melulu? Apakah ketika cinta hanya menjadi puisi, lalu seks menjadi pemerkosaan?

 

 “Hasrat seksual” itu idealnya dipelihara dengan ikatan cinta, kasih sayang tulus, serta komitmen dalam menjaga kepentingan kedua pihak. Hanya saja, untuk mencapai tataran ideal itu tidak gampang, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, merindukan cinta sejati itu sama halnya merindukan keadilan. Merindukan cinta sejati dapat diibaratkan bagai ingin memeluk air; yang sering terasa “hanya basah dan menggigil”. Butuh komitmen dan konsistensi kuat untuk mendapatkannya, meski harus ditebus dengan hati yang sering dipatah-patahkan oleh aneka macam tantangan dan cobaan.

 

Antara Pemerkosaan dan Sulitnya Menerjemahkan Cinta

 

Harus diakui, menerjemahkan cinta dalam sikap dan perilaku dua pihak sungguh luar biasa rumit. Kesulitan ini dapat dihadapai siapa saja, tanpa pandang bulu – entah itu pejabat penting, orang tidak penting, atau orang pintar dengan sederet gelar akademik pun - dapat bingung juga menerjemahkan cinta untuk memabngun relasi yang harmonis. Jika gagal menerjemahkan cinta tapi maunya orgasme orgasme melulu, maka yang mungkin terjadi adalah pemerkosaan hingga menimbulkan korban.

 

Kalau sekedar mengucapkan cinta (mengaku sayang) sebatas kata-kata, memang mudah. Siapa saja dapat melakukannya. Lihat saja di televise-televisi, radio-radio, majalah-majalah, koran-koran, hingga dunia cyber internet; banyak orang membicarakan cinta. Tapi kadang banyak juga orang yang tidak dapat mengerti benar cintanya itu sesungguhnya untuk apa. Kisah Romeo and Juliet (karya William Shakespeare) yang terkenal di segala penjuru dunia adalah potret pengakuan manusia masa lalu bahwa cinta kadang memang sulit untuk dimengerti dengan nalar rasio yang telanjang.

 

Banyak orang menggambarkan cinta dengan ungkapan-ungkapan yang melambung tinggi ke langit. Ada yang bilang, cinta dapat membuat hidup orang terasa lebih hidup. Cinta mampu mengubah seorang pengecut menjadi seorang pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut, dan yang lemah jadi kuat. Cinta mampu membuat kita seperti orang yang hilang tulang-belulangnya, lemas, tak berdaya, dan merasa bodoh tanpa kita sadari.

 

Ada yang berpendapat cinta itu dapat memberikan kekuatan positif luar biasa kepada yang merasakan dan memilikinya. Sebaliknya, cinta juga dapat menimbulkan daya hancur luar biasa. Bahkan, kadang-kadang cinta hingga harus diwarnai dengan tragedi kematian, seperti yang pernah dialami seorang TKI asal Kediri, Jawa Timur. TKI yang baru pulang dari luar negeri itu nekad memilih mati bersama suaminya dengan cara minum racun bersama. Itu dilakukan demi membuktikan cinta sejati mereka setelah sebelumnya terlibat perselisihan akibat rasa cemburu terkait adanya kecurigaan tentang perselingkuhan. Haruskah cinta diterjemahkan dengan kematian tragis semacam itu? Munculnya perilaku mengejutkan macam inilah yang kadang membuat cinta jadi sulit untuk dimengerti.

 

Kata orang-orang, cinta itu dapat datang kapan saja dan dapat menghampiri siapa saja, tanpa pandang bulu. Cinta bukan hanya miliknya para pejabat, para intelektual, orang-orang cerdas atau orang yang dikenal baik hati saja, para penjahat jalanan – entah itu pencopet maupun perampok – juga memiliki cinta. Cinta bukan bukan hanya miliknya para penyair hebat seperti Kahlil Gibran atau Jalaluddin Rumi, para gelandangan dan pengemis juga dapat memilikinya. Tapi cara mereka dalam menerjemahkan cintanya dalam kehidupan sehari-hari tentunya sangat beragam.

 

Lantas, bagaimana caranya menerjemahkan cinta dengan baik agar mereka yang maunya orgasme melulu itu tak sampai mencari korban untuk diperkosa? Sebaliknya, apakah keindahan seksual itu harus dinikmati dengan cinta? Mari kita jawab pertanyaan itu dengan enjoy saja dalam kehidupan sehari-hari. Tak perlu diperumit dengan polemik, saling mencibir dan lain-lain. Mari mengalir saja seperti air. Tapi tulisan sambungannya nanti saja ya. Maklum, lagi ribet urusan sehari-hari. Yang jelas, seks kini sudah jadi barang dagangan dan ada juga yang “menjual” cintanya meski harus rela tidak dapat menikmati indahnya seks seperti yang diharapkannya.





Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama