Kebijakan politik memiliki kekuatan untuk
mengendalikan pasar bahkan memanipulasinya. Akibatnya, pelaku usaha baik dari
korporasi maupun koperasi perlu mempertimbangkan politik dalam menyusun prospek
bisnisnya.
Secara umum, kita perlu memahami bahwa para penyelenggara
negara merupakan kumpulan individu-individu yang memiliki preferensi dalam
memanfaatkan peluang untuk mengambil keuntungan baik untuk pribadi maupun
kelompoknya.
Sebagaimana analisa William H. Riker, dalam Political Science and Rational Choice
(1994), kita akan menimbang-nimbang tindakan kita tergantung keyakinan, nilai,
dan selera kita.
Berangkat dari hal tersebut, kita akan memilih opsi
terbaik untuk memaksimumkan keuntungan kita sebagai individu. Namun, tetap
saja, ini tidaklah mudah, karena walaupun masing-masing individu punya
keinginan, tidak semua keinginan mudah digapai.
Kendala ini terjadi karena dua hal, pertama karena
ada kendala sumber daya dan yang kedua buruknya keterampilan untuk
menggapainya. Selain itu, “tekanan” strutruktural maupun kultural di
masing-masing ruang waktu juga memiliki peran besar bagi individu untuk menahan
diri.
Dengan demikian, sebaiknya sebagai individu,
masyarakat mulai mencoba menafsirkan realitas politik agar bisa mengoptimalkan
atau setidaknya mempertahankan bisnis mereka.
Tantangannya, orang-orang Indonesia terkesan malas
untuk mengawasi dinamika politik. Mereka sering berfikir, terlalu
membuang-buang waktu dan sumber daya mengikuti apalagi terlibat politik.
Opini ini dibuktikan, dari berbagai lembaga riset,
bahwa masyarakat kita sering tidak tahu rekam jejak para pejabat yang
bertanggungjawab dengan masa depan mereka.
Padahal penggiat koperasi butuh melek politik.
Karena para politisi dan para pejabat memiliki kekuatan untuk membuat regulasi
yang mampu mengalokasikan insentif sumber daya dan menjamin kondusifitas iklim
ekonomi.
Sayangnya, kita lebih senang menarik diri dari
proses melobi para politisi dan para pejabat. Kita lebih nyaman menunggu
“kelompok lain” memulai lobi, dan kita menjadi pendompleng untuk memungut
“keuntungan” yang tak berarti.
Menjadi lebih bahaya jika, semua kelompok memilih
menjadi pendompleng dari pada pelobi. Ini mengakibatkan, minimnya stakeholder
yang berpihak pada ide-ide koperasi inovatif.
Menurut analisa Mancur Olson, dalam The Logic of Collective Action (1965),
perusahaan besar lebih mampu melobi pemerintah karena bagi perusahaan
keuntungan yang dihasilkan oleh lobi lebih besar ketimbang onkos lobinya.
Sedangkan, bagi perusahaan kecil ongkos lobi dirasa lebih besar daripada
hasilnya.
Mental perusahaan kecil dalam urusan lobi juga
terjadi di koperasi. Lobi masih dianggap hal terlalu berisiko bagi koperasi,
padahal manfaat yang diperoleh bisa jadi menghasilkan hal-hal progresif bagi
ekosistem koperasi di masa depan.
Memang, melakukan proses lobi pasti ada biayanya,
dan hasilnya bahkan bisa dinikmati oleh semua orang yang tidak terlibat dalam
proses lobi.
Kita jangan terlalu naif, kebijakan yang pro
koperasi inovatif tidak hadir begitu saja, ia perlu upaya, tekanan dan insentif
untuk membujuk kelompok-kelompok untuk bergabung mendukung koperasi inovatif.
Untuk memulai lobi pada para pemangku kepentingan,
para penggiat koperasi perlu menginisasi tim lobi yang ramping. Karena pada tim
lobi yang ramping setiap kontribusi orang mudah diukur secara sepadan.
Tim ini bertugas untuk mengaggregasi dan
mengkalkulasi setiap kepentingan stakeholder yang ada pada agenda-agenda
pembangunan koperasi baik dari sisi regulasi atau kebijakan afirmasi.