Marilah semua ratu di Indonesia, marilah kita semua
rayakan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November hingga 10
Desember! Angkatlah mahkotamu, angkatlah badanmu, dan angkatlah derajatmu!
Selamat Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan!
Pandangan Lelaki
terhadap Perempuan
Menurut biologi, cinta adalah hubungan seksual
belaka dan proses reproduksi demi keberlangsungan peradaban manusia. Menurut
kimia, cinta memproduksi dopamin yang membuat kita bahagia. Menurut William
Shakespeare, cinta adalah tragedi dan benih rasa melankolis di hati. Menurut
beberapa lelaki, cinta itu hanya merupakan dominasi. Mengapa pandangan kacau
seperti ini tercipta? Padahal, cinta itu semestinya lembut. Padahal, cinta itu
merupakan rasa kasih sayang. Padahal, cinta itu sakral. Katalis akan kekerasan
terhadap perempuan adalah lengketnya patriarki di dunia yang mengutamakan
dominasinya lelaki.
Patriarki adalah sistem dan masyarakat yang
didominasi oleh lelaki. Ini memengaruhi banyak aspek kehidupan seperti
kepemimpinan politik, manajemen bisnis, lembaga keagamaan, sistem ekonomi dan
kepemilikan properti. Bahkan, laki-laki yang selalu dijadikan sebagai kepala
rumah tangga dalam sebuah keluarga, sedangkan istrinya terkadang hanya
disepelekan sebagai individu yang hanya mampu membersihkan rumah.
Ditilik dari sejarah manusia primitif, peran
perempuan atau wanita itu memang tidak kalah bernilainya dengan peran lelaki,
tetapi masyarakat lebih menjunjung tinggi kontribusinya lelaki dalam berbagai
macam bidang yang dianggap esensial. Bahkan, bagi beberapa orang, kehidupan perempuan
itu tak bermakna tanpa anak. Walaupun perempuan untuk sekian lamanya tidak
harus khawatir dengan perihal seperti peperangan dunia, peran ibu kerap sekali
diludahi sebagai pekerja rumah tangga yang sederhana. Namun, belum tentu para
suami sanggup melakukan pekerjaan ‘sederhana’ ini.
Adapun fenomena seperti male gaze yaitu ketika
lelaki memandang wanita sebagai tubuh tanpa hati. Yang paling menjengkelkan
adalah signifikannya peran media dalam mengamplifikasikan seksualitas wanita
demi emasnya kesuksesan.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa benih yang paling
signifikan akan seksisme dan kekerasan terhadap perempuan adalah sikap apatis
perempuan terhadap tubuh masing-masing. Terutama, perempuan muda pada zaman
modern kerap sekali mendandani kecantikan wajah agar terlihat seperti boneka
barbie plastik yang seksi. Ini tentunya tidak salah secara moral, tetapi banyak
perempuan yang akhirnya lupa bahwa kecantikan sesungguhnya itu di dalam diri
mereka masing-masing.
Apakah kalian hanya ingin diperlakukan sebagai boneka
atau ratu? Jika kalian menjawab ‘ratu’, buktikanlah karena ratu seharusnya
berani. Seharusnya, ratu itu terkuat di catur. Seharusnya, ratu itu merdeka.
Jumlah Kasus di
Indonesia
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang
tahun 2020 di Indonesia itu sebesar 299.911 kasus. Tiap-tiap ratu dari 299.911
kasus telah dikudeta oleh raja yang berbahaya, bengis, dan bringas. Dari
299.911 kasus tersebut, terdapat 3.221 kasus mengenai kekerasan terhadap istri
(KTI). Ini merupakan kasus yang paling frekuen ketimbang kekerasan dalam
pacaran yang hanya terdapat 1.309 kasus, sedangkan kekerasan terhadap anak
perempuan sebanyak 954 kasus. Yang biasanya memanifestasikan tindakan amoral ini
adalah suami, mantan suami, pacar, dan saudara lelaki.
Dengan demikian, banyak ratu-ratu cantik justru
dimainkan seperti mereka hanya sekadar boneka tanpa hati. Dilempar ke dinding
sebagai simbol dominasinya sang raja. Dipeluk erat-erat lehernya hingga dada
pun sesak napas. Ditampar pipi lunaknya sampai semua panca indra sang ratu itu
lenyap. Bahkan, beberapa tubuh pun bukan hanya jatuh ke sekadar lantai,
melainkan masuk ke dalam tanah kubur.
Selanjutnya, hidupnya ratu pun terkadang dibelenggu
demi kepuasan pribadi, baik untuk sisi emosional maupun seksual. Selain raja,
pangeran terkadang juga menginjak kaki sang ratu, meskipun surga itu berada di
telapak kaki Ibu. Kekerasan verbal itu lebih umum dilakukan oleh para pria
remaja yang sering menindas sang ratu. Walaupun aksi ini setidaknya terlihat
halus ketimbang pelecehan seksual, dampaknya itu tidak kalah signifikan dalam
menanamkan bibit kekerasan terhadap perempuan.
Setidaknya, angka kekerasan terhadap perempuan pada
2020 mengalami penurunan yang substansial sekitar 31,5 persen dari tahun
sebelumnya. Namun, ini berarti 68,5 persen perempuan masih terancam. Apa kalian
sebagai ratu akan memproklamasikan kemenangan kecil ini?
Bagi sejumlah lelaki, perempuan masih hanya boneka
yang babak belur dan tak mampu menjadi kepribadian yang berbudi pekerti luhur.
Organisasi yang
Melindungi Perempuan di Indonesia
Kerap sekali, para ratu itu takut untuk mengetuk
pintu bantuan seseorang demi penjagaan status-quo hubungan masing-masing. Yang
paling memilukan itu saat wanita memilih untuk bisu karena mereka didoktrin
bahwa melapor kepada otoritas itu merupakan tindakan pengecut. Namun, tindakan
yang pengecut sebenarnya adalah tindakan pasif. Tindakan pengecut yang sesungguhnya
itu merupakan kekerasan terhadap perempuan. Pengecut yang sebenarnya bukan
ratunya, melainkan rajanya. Korban bisa melaporkan goresan dari pelaku ke
layanan SAPA 129 atau melalui layanan pesan WhatsApp di 08111-129-129.
Jadi, jangan hanya duduk terpaku dan kaku di depan
kekerasan. Memangnya kalian sebagai perempuan hanyalah boneka belaka yang
pantas untuk dicelakai? Jadi, marilah kita melawan eksistensinya kekerasan
terhadap perempuan dan jangan biarkan pertumpahan darah para ratu di Indonesia terbuang
sia-sia.
Jadi, Angkatlah mahkotamu! Selamat Hari
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan!