Masa depan robot yang dibangun Elon Musk. Sumber foto: https://www.techtimes.com/articles/264929/20210902/tesla-bot-created-elon-musk-ensure-safety-robots-present-good.htm |
Imajinasi Vonnegut mulai menjadi kenyataan. Setelah
perang dunia kedua berakhir, integrasi pekerjaan manusia dengan mesin semakin
lumrah di dunia industri.
Vonnegut sangat pesimis melihat kemajuan tersebut,
baginya mesin hanya membuat manusia semakin tidak bermakna.
Futuris Martin Ford, melihat hal yang lebih kelam,
dalam bukunya “Rise of the Robot: Technology and the Threat of Mass
Unemployment”, manusia semakin tidak berguna, data statistik menunjukan bahwa
dari tahun 2000-2010 di Amerika serikat, kemajuan teknologi ternyata tidak
menciptakan pekerjaan baru. Berbeda dengan momentum revolusi industri pertama
yang benar-benar mencetak banyak lapangan pekerjaan baru.
Menurut Ford, inovasi mesin berat dengan inovasi
teknologi informasi sangat jauh berbeda dampaknya. Saat ini kita tidak bisa
lagi mengganggap mesin sebagai alat untuk pekerja, sekarang mesin justru jadi
pekerja utamanya.
Algoritma bisa jauh lebih efisien daripada otak
manusia, dan kehadiran robot membuat algoritma menjadi pekerja yang sempurna
bagi mode produksi kapitalisme: robot tidak pernah merasa lelah dan tidak
pernah menuntut hak, selain listrik dan suku cadang.
Ketika robot hadir, ia akan bertahan lama. Bahkan,
pekerja dengan keterampilan tertinggi pun belum tentu aman posisinya di era
nanti.
Berdasarkan pengamatan Ford, banyak robot kini
melihat dalam tiga dimensi, persis seperti manusia. Sehingga robot dapat
berkerja lebih cepat, akurat dan presisi ketimbang manusia. Kini Robot
Operating System adalah sumber yang bebas dan terbuka, ini membuat inovasi
robot menjadi lebih murah beberapa tahun kedepan.
Dengan turunnya biaya membeli robot, tentunya
menjadi pilihan rasional bagi perusahaan manufaktur untuk memilih robot
daripada manusia. Kehadiran robot akan berdampak besar terhadap masyarakat ekonomi
global.
Kita ambil contoh Perusahaan Adidas, mereka saat ini
sedang membangun robot “Sewbot”, robot tersebut bisa memproduksi delapan ratus
ribu potong kaus kaki dalam sehari, hal yang sangat ekploitatif jika target
produksi tersebut dikerjakan oleh manusia.
Selain itu, Nike, yang sedang berusaha untuk
menggantikan ribuan pekerja pembuat sepatu di Indonesia dengan robot untuk
menggenjot produktivitas. Selain itu, upaya yang dilakukan Nike tersebut untuk
meminimalisir kontroversi mengenai kondisi kerja yang buruk di perusahaannya di
mata dunia.
Permintaan pasar akan robot diprediksi semakin
tinggi, yang berarti permintaan tenaga kerja akan semakin menurun. Kita juga
perlu cermati visi Elon Musk terhadap "Tesla Bots" yang akan jadi
sektor industri baru yang berpotensi mengubah permainan bisnis di masa depan.
Pada situasi tersebut, menurut Ford, banyak orang
yang akan tetap mempunyai pekerjaan, tetapi upah mereka tidak akan naik karena
manusia semakin tidak relevan.
Pada sisi yang lain, perusahaan-perusahaan kecil
memiliki peluang mendapatkan tenaga kerja murah, ini pilihan terbaik, jika
mereka masih menabung untuk membeli robot sebelum menggantikan pekerjanya
secara keseluruhan.
Ford menjelaskan dua sisi mata uang dari robotisasi
adalah harga barang dan jasa yang menjadi sangat murah untuk masyarakat: karena
gaji pekerjanya menjadi sangat rendah.
Jadi dapat dikatakan, satu-satu yang dapat
menyelamatkan pekerjaan manusia saat memasuki era robot adalah kebijaksanaan
regulasi dari pemerintah masing-masing negara.
Lalu bagaimana
peran koperasi di era menuju robotisasi?
Langkah kongkrit yang dapat dilakukan penggiat
koperasi untuk menghadapi ratusan juta orang yang akan mengganggur karena
tersingkir robot adalah dengan membuat model bisnis yang inklusif dimana peran
manusia masih dapat dioptimalisasi, seperti pada sektor ekonomi kreatif dan
ekonomi rekreasi: sebuah bisnis yang masih sangat membutuhkan sentuhan manusia,
menjadi pilihan terbaik di era robotisasi.
Koperasi dapat memobilisasi orang-orang yang tidak bisa
mencari nafkah di pasar tenaga kerja mainstream untuk membangun unit bisnis
bersama.
Sektor leisure Economy, merupakan lini bisnis yang
cukup resisten terhadap robotisasi, hal ini menjadi peluang bagi koperasi yang
percaya bahwa modal sumber daya manusia adalah segalanya. Namun, bisnis ini
masih belum begitu digandrungi oleh pegiat koperasi di Indonesia.