Bangsa ini perlu belajar dari orde baru, dalam kurun
32 tahun bagaimana dampak dari biasnya kekuasaan itu, kedaulatan bukan lagi di
tangan rakyat tetapi di tangan kekuasaan. Mungkin tidak ada yang membayangkan
bahwa akan ada penyalahgunaan kekuasaan, namun seiring waktu benih benih
otoritarianism kian semakin kuat, terlebih khusus 1 dekade terakhir. Sehingga
rakyat kehilangan hak-haknya sebagai bangsa Indonesia buah dari penyimpangan
kekuasaan tersebut. Hak berserikat diintimidasi, kebebasan berpendapat
dikekang, kritik pada kebijakan pemerintah berakhir dibui.
Hari ini, benih otoritarianism kian tampak dan gejala
feodalistik semakin menguat ditubuh kekuasaan. Sistem politik koalisi telah
menjerat utusan partai politik di parlemen, yang sebenarnya keterwakilan
lembaga legislatif bersumber dari suara rakyat dan tujuannya untuk
memperjuangkan kepetingan rakyat. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi
memposisikan dirinya sebagai oposisi, sehingga peran dan kinerjanya tidak
sesuai dengan desain sistem presidensial. Maka tidak heran jika dua penyakit
yang tumbuh pada masa orde baru yaitu otoritarianism dan feodalistik muncul
kembali.
Koalisi partai politik dengan partai pemenang,
menjadi jalan sunyi bagi oposisi. Partai politik ditekan untuk mendukung
kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyimpang dan jauh dari kata ideal,
sehingga fungsi legislatif diredam dampak dari koalisi transaksi, maka tidak
ada yang bersuara lantang mengenai persoalan hukum, Jika ada anggota parlemen
yang mengintervensi kebijakan pemerintah melalui hak pengawasan, maka anggota
yang bersangkutan akan ditegur dan dievaluasi melalui partai pengusungnya.
Tidak heran jika indeks persepsi public terhadap
anggota dewan semakin memburuk, faktanya anggota parlemen yang merupakan suara
keterwakilan rakyat, dirampas hak suaranya oleh instruksi kepentingan partai
politik, anggota dewan bersuara tidak lagi memihak kepentingan rakyat, tapi
melayani syahwat kepentingan kelompok elite partai dan pemilik modal. Padahal
banyak isu yang harus menjadi sorotan lembaga legislatif, seperti isu utang
yang menjadi perhatian penting saat ini, ketimpangan sosial dan ekonomi,
persoalan pendidikan, dan keadilan hukum. Persoalan tersebut sudah banyak
dikaji dan disuarakan para akademisi dan peneliti, tapi sayang seribu sayang
parlemen diam seakan-akan mati. Maka anggota dewan sebagai budak partai politik
tidak bisa dibantahkah lagi.
Bahkan partai politik yang tidak masuk dalam
lingkaran partai berkuasa, menyatakan diri sebagai oposisi, tapi cenderung
memperlihatkan gimmick politik wait and see jika ada isu reshuffle yang
beredar. Disisi lain tujuannya adalah tetap merawat kepentingan format koalisi
di masa yang akan datang, sehingga kicauan di platform media tidak jarang
dianggap hanya serimoni belaka, tidak ada kesungguhan dalam mengawal isu
tertentu.
Oleh karena itu, lembaga legislatif harus kembali ke
titahnya, di mana suara rakyat menjadi sistem control yang kuat dalam mengawasi
kekuasaan, jika kekuasaannya menyimpang maka ia harus dikoreksi melalui
legislatif. Apa bila penyimpangan kekuasaannya tidak bisa ditertibkan, maka
harus diadili dan diberhentikan melalui mekanisme yang telah ditetapkan tanpa
ada tawar menawar.