Keesokannya, suara omelan itu benar menjadi senyap.
Namun, ternyata ibunya juga ikut dihilangkan. Sang anak kemudian bingung,
padahal ia meminta suara itu yang berhenti, bukan dihapuskannya wujud perempuan
berambut hitam pekat itu. Ia menangis. Kakinya terus bergerak gelisah mencari
ibunya di setiap sudut rumah, memanggil dengan suara yang lengking berharap
perempuan itu segera muncul di hadapannya. Kosong. Ia hanya menemukan
kekosongan, tidak ada seorangpun di dalam rumah. Kemudian, ia berpikir jika
mungkin saja ibunya sedang berada di rumah tetangga, dengan setengah berlari ia
menghampiri salah satu rumah dengan cat warna hijau itu. Ternyata di sana juga
tidak ada ibunya, melainkan hanya ada tetangga yang sedang sibuk memasukkan
beras di dalam baskom dengan ditutupi sebuah kain hitam sambil menatapnya
terkejut.
Sang anak kembali ke rumah dengan kebingungan, ia
mulai berbicara sendiri sambil terus meratapi apa yang sedang terjadi hari ini.
Dibawa siapa ibunya saat ini? Apakah ia akan kembali lagi atau memang pergi
untuk selamanya? Dengan lunglai, ia bersandar di dinding sambil menekuk kedua
lututnya—berteriak lalu menangis sejadi-jadinya. Di tengah tangisnya, ia
akhirnya berpikir bahwa omelan yang selama ini ibunya lontarkan setiap hari
merupakan bentuk kasih sayang dan hanya ingin didengarkan keluh kesahnya.
Setiap pagi, sebelum matahari menampakkan dirinya,
ibu telah bangun untuk membersihkan dan mempersiapkan semuanya, menanggung
lelah yang tanpa orang lain tahu bahkan sekalipun putra dan putrinya. Beliau
hanya ingin semuanya merasa bahagia, tanpa memikirkan bahwa dirinya juga butuh
bahagia itu. Tidak jarang, beliau menahan rasa lapar demi melihat anaknya
kenyang, jika ditanya maka akan dijawab bahwa beliau telah makan, padahal belum
ada sesuap nasi yang masuk ke dalam mulutnya.
Ibu juga selalu menawarkan bahu agar anaknya bisa
bersandar dan menceritakan harinya, tetapi beliau juga diam-diam memendam apa
yang ia rasakan karena takut menambah beban orang di sekitarnya. Ia juga selalu
membela sang anak di depan orang lain lalu diam-diam memarahi mereka di rumah,
dirinya hanya tidak ingin mempermalukan anaknya walaupun tahu apa yang
dilakukan itu memang salah.
Setelah semua hal yang dirinya lakukan
bertahun-tahun tidak pernah sekalipun ia mengatakan bahwa ia ingin berhenti
karena lelah melakukan semua hal yang sama berulang kali dengan jangka waktu
yang cukup lama. Pernah sekali beliau mengharapkan terima kasih dan pelukan
hangat dari keluarga termasuk anaknya, namun jarang sekali ia terima karena
terhalang oleh gengsi dan rasa malu. Ibu memang merupakan pahlawan kehidupan
terutama bagi keluarga, namun beliau terkadang lupa menjadi pahlawan bagi
hidupnya sendiri.
Akhir cerita, anak itu tertidur sambil menangisi
ibunya yang entah hilang kemana secara tiba-tiba. Kemudian, seseorang
membangunkannya dan memeluk tubuhnya erat mencoba memberitahu bahwa anak itu
telah bermimpi hingga menitikkan air mata. Ternyata orang tersebut adalah
Ibunya, beliau masih hidup. Dengan segera ia bangun dan meminta maaf, berjanji
tidak akan memandang sepele apa yang telah ibunya lakukan atas hidupnya. Ini
juga alasan Allah yang Maha Kuasa menyebutkan ibu tiga kali dalam sebuah kedudukan karena
memang beliau sangatlah mulia.