Kisah Sejoli Muda Tinggalkan Kota demi Mendidik di Pelosok Papua

Kisah Sejoli Muda Tinggalkan Kota demi Mendidik di Pelosok Papua




Setapak rai numbei"Kami anak Kosarek, sudah menerima injil Yesus Kristus, dan firman Tuhan sudah dinyatakan di Tanah Kosarek. Kami sudah menjadi orang percaya, tetapi juga, kami ingin belajar dan sekolah yang tinggi."

Puisi itu dibacakan oleh Yanes dan Yuman, dua anak asal Kampung Kosarek, Kabupaten Yahukimo, Papua dalam sebuah perayaan Natal pada Desember lalu di hadapan puluhan warga yang menyaksikan.


Puisi berjudul "Doaku, Anak Kosarek" itu mereka ciptakan sendiri setelah belajar mengenal puisi dalam kelas Bahasa Indonesia.


Yanes dan Yuman adalah murid yang duduk di bangku setara kelas 2 SD di Rumah Belajar Kosarek, sekolah alternatif yang didirikan oleh sepasang suami istri berusia 36 tahun, Zakharia Primaditya alias Adit dan Putri Kitnas Inesia.


Selama tiga tahun terakhir, Rumah Belajar Kosarek menjadi satu-satunya tempat bagi lebih dari 60 anak di kampung itu untuk menempuh pendidikan.


Yanes dan Yuman adalah dua di antara murid-murid pertama yang dididik oleh Adit dan Putri. Putri masih ingat betul bagaimana Yanes dan Yuman saat pertama kali datang untuk belajar. Mereka tidak fasih berbahasa Indonesia, tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung.


"Walaupun usia mereka sudah belasan tahun, tapi karena tidak pernah sekolah kami kasih materi kelas 2 SD untuk mereka," kata Putri kepada BBC News Indonesia.


Kampung Kosarek berlokasi di pelosok Kabupaten Yahukimo, dengan jarak tempuh tujuh hari dari kota terdekat, Wamena. Minimnya infrastruktur membuat kampung itu terpencil dan sulit dijangkau. Sekolah formal sudah belasan tahun tidak beroperasi, sehingga mayoritas anak-anak tidak tersentuh pendidikan.


Situasi itu yang membawa Adit dan Putri datang ke Kosarek, meninggalkan karier dan kehidupan mereka sebelumnya untuk menggerakkan kembali pendidikan di kampung itu.


Keduanya adalah lulusan universitas ternama di Pulau Jawa. Putri bahkan telah menempuh pendidikan magister di Austria.


Dengan latar belakang itu, keduanya bisa saja memilih berkarier di kota-kota besar seperti yang dilakukan mayoritas pemuda usia produktif di Indonesia.


"Kami punya pilihan lain, bisa kerja di Jakarta dengan gaji yang mumpuni dan karier yang lebih baik," kata Adit, yang sebelumnya pernah menjadi kepala sekolah di sekolah Kristen di wilayah Bokondini, Papua.


"[Keputusan ini] adalah panggilan kami. Dari dulu panggilan kami memang untuk kemanusiaan, untuk orang-orang yang termarjinalkan," lanjut dia.


Adit merasakan panggilan yang begitu kuat setelah pada 2015 dia bepergian ke Yahukimo dan melihat banyak anak di sana belum terjangkau pendidikan.


Hal itu membuatnya gelisah. Bagi Adit, kegelisahan itu adalah panggilan spiritual dari Tuhan untuk menjangkau anak-anak tersebut. Momen itu lah yang membuat Adit bersama Putri bertekad menjalankan misi sebagai pendidik.


"Banyak anak mau didampingi tapi orang-orang belum banyak yang terpanggil untuk datang. Kami ingin memberikan hidup untuk anak-anak ini sehingga mereka bisa bertumbuh seperti anak-anak di daerah lain yang lebih beruntung," ujar Putri.


Ekspedisi berjalan kaki menyusuri 26 kampung


Adit dan Putri memulai misi mereka dengan berjalan kaki menyusuri 26 kampung di Kabupaten Yahukimo pada penghujung 2017.


"Kami ingin merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu kira-kira tempat mana yang Tuhan tunjuk kami untuk menyelenggarakan pendidikan," kata Putri.


Tidak ada akses jalan raya dan transportasi darat yang bisa digunakan. Mereka harus berjalan menyusuri hutan untuk mencapai kampung-kampung di Yahukimo.


Opsi lainnya adalah menggunakan pesawat perintis yang tentunya berbiaya mahal.


Sebanyak 26 kampung mereka singgahi dalam kurun 42 hari perjalanan, salah satunya Kampung Kosarek.


Adit dan Putri menemui banyak anak usia sekolah di Kosarek, tetapi mereka tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Sebab, terakhir kali sekolah formal beroperasi di distrik itu ialah pada 2006.


Seluruh penduduk di Kampung Kosarek beragama Kristen, sehingga setiap pekan mereka mengikuti Sekolah Minggu di gereja. Berbagai kegiatan masyarakat pun dikoordinasikan oleh gereja.


Namun, tingkat literasi yang rendah membuat anak-anak itu tidak bisa membaca injil meski telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mek, bahasa asli mereka.


Melihat situasi itu, Adit dan Putri meyakini bahwa Kampung Kosarek lah tempat yang ditunjuk Tuhan untuk mereka.


Mereka kemudian menyampaikan misi untuk menggerakkan kembali pendidikan di kampung itu kepada misionaris gereja.


"Waktu kami memperkenalkan diri dan menyampaikan visi kami untuk menggerakkan pendidikan di daerah terpencil, mereka [misionaris gereja] senang," kata Adit.


"Bagi mereka, kami adalah pergumulan dan jawaban doa mereka, dan bagi kami mereka juga adalah jawaban dari doa-doa kami," ujarnya.


Mome Lemnep Ae Kosarek


Setelah ekspedisi dan proses yang panjang, Adit dan Putri akhirnya memulai misi mereka di Kampung Kosarek pada Oktober 2018.


Ini adalah keputusan besar yang membuat mereka harus tinggal jauh dari keluarga, meninggalkan segala fasilitas dan kenyamanan di kota.


Misi itu mereka mulai bermodal uang tabungan pribadi. Rumah pertama yang mereka tempati di Kosarek adalah sebuah bangunan sederhana berdinding kayu yang telah belasan tahun tidak dihuni.


Mendapatkan kebutuhan pokok tidak lagi semudah datang ke toko terdekat. Bahan-bahan pokok harus mereka datangkan dari kota menggunakan pesawat, dengan biaya lebih mahal.


Sumber listrik bergantung pada panel surya, dan pada saat itu, belum ada sambungan internet yang bisa menghubungkan mereka dengan dunia luar. Tetapi tekad mereka lebih kuat di tengah segala keterbatasan itu.


"Kami benar-benar nekat. Kami tidak ada pengalaman misionaris, tidak ada pengalaman crowdfunding, cari dana atau apa pun. Kami hanya komitmen ke Tuhan," kenang Adit.


Pada masa-masa awal di Kosarek, Adit dan Putri mengasuh Sekolah Minggu sebanyak dua kali dalam sepekan, mengajarkan literasi dasar dan alkitab untuk anak-anak usia dini.


Mereka juga melatih dan mendampingi pemuda setempat yang dulunya putus sekolah untuk menjadi tutor belajar bagi anak-anak yang lebih muda.


Seiring berjalannya waktu, Adit dan Putri akhirnya mendirikan rumah belajar, yang dalam bahasa Mek mereka sebut sebagai Mome Lemnep Ae Kosarek.


Berawal di sebuah bangunan sederhana berdinding kayu dan beralas rumput, Mome Lemnep Ae menjadi tempat pertama bagi anak-anak Kosarek untuk menimba ilmu setelah belasan tahun lamanya.


Di Mome Lemnep Ae, anak-anak mendapat pelajaran agama, matematika, dan bahasa. Tetapi, materi pelajaran disampaikan dengan cara yang variatif seperti melalui dongeng, permainan, kuis berhadiah, dan lagu.


"Saya bikin video hari pertama belajar di alas rumput. Untuk pertama kalinya mereka merasa kita belajar, tapi kayak main," kenang Putri.


Ketika murid-muridnya hendak belajar menulis atau menggambar, maka Adit dan Putri akan mengajak mereka menyanyikan lagu yang liriknya berupa instruksi untuk melakukan gerakan jari ringan sebagai pemanasan.


Lagu itu diciptakan sendiri oleh Adit dalam bahasa Mek, sehingga anak-anak mampu memahaminya dengan baik.


Adit dan Putri juga membekali anak didik mereka dengan keterampilan nonteknis. Setiap tahun mereka meminta anak-anak untuk tampil di hadapan banyak orang dengan bernyanyi, bermain musik, drama, atau membaca puisi untuk melatih kepercayaan diri mereka.


Sebab, sebagian besar anak-anak di Kosarek pada awalnya adalah pribadi yang pemalu dan rendah diri karena tidak memiliki cukup ruang untuk beraspirasi.


"Sekarang kalau anak Mome Lemnep Ae ditanya siapa yang mau buat penampilan, semua angkat tangan baku rebut, karena kepercayaan diri mereka sudah tumbuh," jelas Putri.


Setiap pulang sekolah, mereka juga menjalankan peternakan yang dikelola bersama. Anak-anak bisa menyumbang ubi untuk makanan ternak ayam dan bebek. Mereka juga memiliki jadwal piket untuk membersihkan kandang.


"Ketika usia ayam sudah cukup, hasilnya masuk ke tabungan pendidikan anak-anak. Kami tidak memungut biaya, kami hanya ingin anak-anak punya tanggung jawab dan kemandirian yang tinggi," kata Putri.


Mengajar dengan bahasa ibu


Beberapa bulan yang lalu, Rumah Belajar Kosarek kedatangan seorang murid baru bernama Yon.


Di mata Adit dan Putri, Yon adalah anak yang cerdas. Dia cukup lancar membaca, menulis, dan juga bisa mengenali angka.


Namun ketika mengerjakan soal-soal latihan dari buku paket berbahasa Indonesia, Yon tertinggal dibandingkan murid-murid lain.


Adit dan Putri kemudian memberi kelas tambahan untuk Yon menggunakan bahasa Mek. Upaya itu ternyata bisa ditangkap dengan baik oleh Yon.


Seperti Yon, banyak anak-anak Kampung Kosarek lainnya yang tak fasih berbahasa Indonesia. Akibatnya, mereka kesulitan memahami konsep ilmu dalam bahasa yang asing bagi mereka.


"Kami mau memperkenalkan pendidikan dan pengetahuan yang baru di luar dunia mereka tapi dengan cara yang dekat, bahasa yang dekat di hati mereka, paling tidak untuk anak usia dini," tutur Putri.


Bahasa Mek akhirnya menjadi bahasa utama yang mereka gunakan untuk mengajar anak-anak usia dini, setidaknya sampai mereka cukup fasih berbahasa Indonesia.


Sejumlah lagu anak-anak populer Indonesia mereka terjemahkan ke dalam bahasa Mek agar anak-anak bisa mengerti.


Mereka kemudian dibantu oleh sebuah yayasan yang mengadvokasi pendidikan berbahasa ibu untuk menyediakan alat-alat belajar berbahasa Mek.


Salah satunya adalah buku-buku cerita berbahasa Mek yang pemilihan ceritanya disesuaikan dengan kearifan lokal dan kehidupan sehari anak-anak Kosarek.


"Ceritanya dipilih yang dekat dengan anak-anak. Tidak ada cerita tentang kereta api karena di sini tidak ada kereta, tapi misalnya menceritakan tentang kus kus," jelas Putri.


Hasilnya, kata dia, anak-anak tersebut menunjukkan perkembangan belajar yang baik.


"Kami pikir enggak adil melabeli anak cerdas atau tidak karena kemampuan membaca atau berhitung dalam bahasa yang bukan bahasa ibu mereka," ujar dia.


'Jangan paksa mereka berhitung dengan 10 jari'


Selain soal bahasa, pendekatan serupa juga berlaku ketika Adit dan Putri mengajarkan cara berhitung kepada murid-murid mereka.


Tidak ada satu pun anak-anak yang memahami cara berhitung dengan konsep 10 jari, termasuk menggunakan tanda tambah atau kurang.


Masyarakat Kosarek ternyata memiliki cara sendiri dalam mengidentifikasi angka secara verbal.


Angka disimbolkan oleh bagian-bagian tubuh, dengan total mencapai 27. Sebagai contoh, angka tiga disimbolkan oleh jari tengah, bukan tiga jari yang diangkat secara bersamaan.


"Konsep numerasi itu sudah ada. Tapi ketika itu di bahasa Indonesia, pakai simbol 1, simbol 2, lambang tambah, kurang, mereka tidak mengerti karena itu bukan makanan mereka, bukan bahasa mereka, di sini tidak ada tulisan. Semua budaya verbal," jelas Adit.


Itu menyadarkan Adit dan Putri, bahwa mereka tidak bisa memaksakan konsep berhitung dengan 10 jari, tanpa pendekatan berhitung yang selama ini mereka kenal.


Mereka kemudian mencoba menggunakan kartu bergambar posisi jari atau bagian tubuh yang menunjukkan angka dalam bahasa Mek.


Dengan cara itu, anak-anak ternyata menunjukkan kemampuan yang mengesankan mengenali konsep angka.


Hal itu lagi-lagi membuktikan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing di luar suku dan latar belakang mereka.


"Ternyata konsep budaya setempat lewat pendidikan kontekstual dan akar rumput terbukti lebih aktif untuk mentransfer ilmu modern di tengah masyarakat tradisional," kata dia.


Jiwa-jiwa yang akhirnya tersentuh


Setelah tiga tahun berjalan, Mome Lemnep Ae kini memiliki ruang kelas yang yang lebih layak. Kegiatan belajar berjalan empat kali dalam satu pekan.


Ada lebih banyak pemuda-pemudi setempat yang mereka latih untuk menjadi pendamping bagi anak-anak setempat.


Hanya saja, ada sebagian orang tua yang menganggap rumah belajar itu sebatas "latih-latih" atau "bermain-main" karena metode belajar yang berbeda dengan sekolah formal pada umumnya.


Statusnya sebagai sekolah alternatif juga membuat Mome Lemnep Ae tidak bisa menerbitkan ijazah, yang bagi sebagian orang tua dianggap penting dari sebuah proses belajar.


Mereka berupaya mengakomodasi aspirasi itu dan tengah mendaftarkan rumah belajar mereka sebagai pusat kegiatan belajar mengajar nonformal.


Dengan demikian, anak-anak didik mereka bisa mengikuti ujian kejar paket A dan mendapatkan ijazah setara kelulusan SD. Hal itu, juga memberi peluang bagi anak-anak itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di masa yang akan datang.


Namun bagi Adit dan Putri, proses belajar anak didiknya hingga bisa bertumbuh menjadi anak-anak yang berilmu lah yang terpenting.


Seperti Yanes dan Yuman yang tadinya tidak bisa baca tulis, kini telah mampu menciptakan karya. Keduanya bahkan kini telah menjadi pendamping belajar bagi anak-anak di Kampung Kosarek.


"Kami terharu dan bangga melihat perkembangan mereka, dari masih kecil dengan bahasa Indonesia patah, menulis tidak bisa, sampai sekarang mereka menjadi tutor lokal untuk anak kelas 2 SD," kata Putri.


"Ada jiwa-jiwa yang kami sentuh dan sampai sekarang mau bertumbuh bersama kami itu yang membuat kami berpikir, 'Oh ini alasan kami mau meninggalkan kenyamanan di kota'," ujarnya.


***

Sumber: kumparan.com




 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama