Dokpri. Ilustrasi |
Pada abad ke 18, Kalimantan Selatan mulai dikuasai
oleh kolonialis Belanda. Baik dalam aspek ekonomi hingga politik pemerintahan
di Kesultanan Banjar. Campur tangan Belanda dalam urusan internal Kesultanan
ini kemudian ditetapkan sebagai latar belakang utama terjadinya Perang Banjar
pada 1859.
Realitanya, apabila ditinjau secara kronologis
sejarah, maka kita akan menemukan upaya eksploitasi alam yang dilakukan
perusahaan pertambangan Belanda bernama Oranje Nassau di Kalimantan Selatan
pada 1849.
Tidak sekadar merusak alam, Oranje Nassau menerapkan
sistem kerja rodi, yang merugikan masyarakat sekitar. Khususnya terhadap
suku-suku Dayak, yang kelak bergabung bersama dengan pasukan Pangeran Antasari
menentang kolonialis Belanda. Hal ini dijelaskan pada situs Kesultanan Banjar,
di mana "Bulan Jihad" Sang Panglima Burung suku Dayak, bertempur
bersama Gusti Zaleha, cucu dari Pangeran Antasari.
Hal ini senada seperti ungkapan Tjilik Riwut,
pahlawan nasional dari Kalimantan Tengah dalam memoarnya. Perjuangan rakyat
Kalimantan selain dari menentang hadirnya kaum kolonialis adalah menjaga alam
dari kerusakan. Begitu pula dengan "Bulan Jihad" selaku pemimpin suku
Dayak Kenyah kala itu.
Alhasil, pertambangan Oranje Nassau berhenti
beroperasi akibat kerusakan yang dialaminya. Serbuan pasukan Pangeran Antasari
bersama suku Dayak, berhasil mengalahkan kolonialis Belanda yang berjaga di
dalam benteng.
Tidak ada kata kompromi dengan Belanda, hingga
Pangeran Antasari wafat pada Oktober 1862. Perjuangannya kemudian dilanjutkan
oleh Muhammad Seman, ayah dari Gusti Zaleha. Pendekatan militeristik penguasa
kolonial semakin membuat para pejuang mantap dalam melakukan perlawanan.
Situs pertambangan Oranje Nassau adalah saksi bisu
sejarah menentang eksploitasi alam di Banjar, Kalimantan Selatan. Tentu ada
hikmah yang dapat kita petik dari kisah sejarah ini. Semoga kita dapat terus
menjaga kelestarian alam demi anak cucu kita kelak.