Kota Betun, Ibu Kota Kabupaten Malaka, NTT |
Kabupaten Malaka saat ini memiliki jumlah penduduk mencapai sekitar 190.561
jiwa dengan luas wilayah sekitar 1.160,63 km².
Pada tanggal 9 Januari 2018 Presiden Joko Widodo meresmikan proyek
infrastruktur Bendungan Raknamo yang berada di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi
Oefeto, Kabupaten Kupang, serta dua Pos Lintas Batas Negara (PLBN), yaitu PLBN
Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara dan PLBN Motamasin di Kabupaten Malaka.
SEJARAH
KABUPATEN MALAKA
Dari berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah
Malaka, bahwa sebelum orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka sebelumnya ada
sebuah suku yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu Umumnya adalah
"Suku Melus". Orang Melus di kenal dengan sebutan "Emafatuk oan ai oan", (manusia
penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar
orangnya dan bertubuh pendek.
Selain suku melus yang menghuni daerah tersebut,
berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui bahwa Orang Malaka
sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka" yang datang dari Negara
Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami
daerah Belu umumnya.
Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus
dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu
yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain
terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan
universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Terdapat cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang
dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga
saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan. Dari
makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus
(Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin).
Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya
Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay
(Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari
Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain
dan Haitimuk Nain.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki
wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya.
Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar
daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan
Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di
Malaka.
Bahkan menurut para peneliti asing ”Liurai
Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana
dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan
yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan
Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana.
Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan
Wewiku-Wehali.
Menurut para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan
menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari
pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan
Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu,
khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan
seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk
mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para
pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti
Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan
Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang
dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun,
Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala,
manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga
bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, dalam berbagai penuturan di Utara maupun di
Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat
dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian
Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya
keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang
menandai asal - usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang
sudah lama punah.
PEMBENTUKAN KABUPATEN MALAKA
Selain itu juga akan dikemukakan prospek dari
terbentuknya suatu Daerah Otonom baru disebut dengan “Kabupaten Malaka”.
Semua elemen dalam masyarakat dapat memahami, menyiapkan diri dan merencanakan
bentuk-bentuk partisipasi apa saja yang dapat ia sumbangkan demi memajukan
Daerah Otonomi baru tersebut jika pada saatnya terbentuk secara defenitif.
Dengan demikian, isu negatif bahwa ide memekarkan suatu wilayah hanya
semata-mata untuk mengakomodir kepentingan elit-elit politik dan aparat
birokrasi dapat dimengerti sebagai suatu isu destruktif yang sebetulnya tidak
memiliki kebenaran secara keseluruhan.
Pertanyaan makro yang dapat dianalisis berikut ini adalah untuk apa dan mengapa
suatu daerah perlu dimekarkan sebagai suatu Daerah Otonomi? Refleksi ini lebih
difokuskan pada pemekaran Kabupaten Belu agar ada pemahaman yang ideal tentang
pemekaran suatu daerah.
Sesuai amanat yuridis-formal, pembentukan suatu Daerah Otonom baru dimaksudkan
untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengoptimalkan berbagai potensi
wilayah dan memperpendek Rentang Kendali Birokrasi yang memiliki fungsi
memerintah dan yang melayani. Berbagai maksud diatas bertujuan akhir agar
rakyat dapat menjadi sejahtera setidaknya ada pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) bagi kelompok masyarakat
kelas menengah dan kelas bawah.
Paradigma ini diimplementasikan oleh semua “Stakeholder” berbasiskan pada
pusat-pusat kekuasaan yang dibentuk dalam Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik yaitu Pemerintah Daerah (Birokrasi dan DPRD) bersama semua elemen dan
civil society seperti Perguruyan Tinggi, LSM, Parpol dan Lembaga Pers.
Dalam tataran ini, terbentuknya Daerah Otonom baru “Kabupaten Malaka”
diharapkan tidak saja memenuhi kebutuhan elit birokrasi karena adanya posisi-posisi
strategis dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang juga dianggap
“berwibawa” dan “terhormat” tetapi juga daerah otonom baru tersebut harus
dipersiapkan dan didorong untuk optimalisasi potensi wilayah seperti sector
peternakan, pertanian, industri kecil dan pengembangan pendidikan yang
berbasiskan sekolah-sekolah kejuruan.
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, Kabupaten
Malaka dapat direncanakan sebagai daerah “Transit” yang menghubungkan
mobilisasi barang dan manusia dari Timor Leste ke Kupang dan wilayah-wilayah
lain di NTT.
Konsekwensi logisnya adalah adanya infrastruktur yang memadai dan
industri-industri jasa yang sesuai kebutuhan. Momentum inilah sebetulnya yang
diharapkan dapat memberi kontribusi yang realistis bagi masyarakat pada umumnya
karena terbukanya lapangan kerja baru dan adanya daya beli yang signifikan atas
hasil-hasil produksi yang melibatkan warga kedua negara di kawasan perbatasan.
Itulah sedikit gambaran mengenai sejarah Asal Usul Kabupaten Malaka Provinsi
Nusa Tenggara Timur Indonesia.
***
Artikel ini diambil dari https://www.kuwaluhan.com, ditulis oleh Muhammad Imron