Hujan Mengguyur kampung kita Numbei,
bersama jemari lemah tak kuasa mengenggam,
bersama peluk yang melingkar di ruang kosong,
hanya lengang sendiri dan membisu...
waktu mengalir menuju ke hilir langkahmu pun telah sampai mengemas
takdir tunas-tunas yang kau tanam di sebentang taman
telah tumbuh dengan bernas merimbuni pelataran
sekuntum melati telah gugur di akhir senja menjelang jam kerahiman Ilahi
lalu angin menerbangkannya menuju khalik
mengantar beribu doa untukmu Mama Sr. Albertha, SSpS
matamu tabah memeram luka
Menyamarkan keruh genang airmata
Gelakmu lindap membentur pintu dadaku, patah
Dari balik dada retap jantungku gaduh membaca ungu rautmu.
kematian adalah kepulangan paling lapang, menuju Tuhan
Rentankan ikhlasmu untuk jalan sulur perempuan yang menghantarmu ke rahim semesta
kabar kepergianmu datang juga ke kampungmu Numbei, Rai Moris fatik
bersama kerumunan bunga-bunga kuning tabebuya
yang serupa kunang-kunang lahir perlahan dari ketiak dahan dan bertahan
hingga ujung musim penghujan menggugurkan seluruh daun-daunnya sempurna sepanjang jalan
Di Cawan Terakhir
Memaknai duka dengan cawan
perjamuan terakhir, rawan rasanya. Kalender terkelupas, koyak dari dinding.
Angka serupa merah daging, luka;
Mereka telah mengelopeknya dengan
diam. Lapis demi lapis, mencipta tangis sendiri, perih sendiri.
Geraham serupa gemeretak pisau atau pedang. Sakit pun tak sudi berbagi.
"Telah dicari Tuhan di alir
kelopak air mata itu. Meski penyamun, sungguh mereka tak ingin Ia
pergi."
Pada mezbah, tulang-tulang bergemeretak. Daging-daging berkeriyut. Mati atau bertahan hidup; sekarat dengan gigil dan doa.
Tapi tingkap altar terbuka, tak
pernah bergembok. Menyusun requiem. Lantunan misa - penyerahan dini hari
atau malam yang jahanam.
"Telah dicari-Nya para musafir
di seantero derita, ke mana-mana. Sesungguhnya Tuhan juga tak ingin mereka
pergi..."
Selamat Jalan Mama Sr. Alberta, SSpS
Bahagialah bersama Para kudus di surga