Salah satu ritual adat pentahtaan barang-barang pusaka leluhur suku Ta'e Hutun Kaweran di wilayah Desa Kateri Kabupaten Malaka, NTT |
Indonesia sebagai
negara berdaulat dengan memayungi ragam suku bangsa dan etnis yang masing
masing memiliki tonggak penopang yang berupa kebudayaan dan adat istiadat
sendiri sendiri, saat ini terancam dengan hadirnya jargon Global Village yang
ditandai dengan membanjirnya arus informasi dan komunikasi yang nyata nyata
telah menghilangkan sekat sekat kebudayaan.
Kebudayaan dan adat
istiadat asli milik Indonesia yang merupakan kekayaan dan indentitas kebangsaan
kini berangsur angsur mulai terkikis, padahal disadari jika adat istiadat
tersebut merupakan salah satu sumber hukum nasional yang membedakan dengan
hukum hukum di Negara lain. Kekayaan bangsa kita yang berupa adat istiadat
adalah cermin dari keluhuran bangsa ini, meski kadang dimaknai sebagai
penghambat pembangunan oleh para pihak yang terlanjur gandrung dengan pola pola
bangsa asing, demikian padahal diketahui jika adat adalah hukum, peraturan,
kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat yang memiliki nilai
untuk dapat dijunjung tinggi serta dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Di Indonesia dari
berbagai suku bangsa maka terdapat seperangkat aturan tentang segi kehidupan
manusia yang mengikat kemudian disebut sebagai hukum adat, di berbagai daerah
di Indonesia maka adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, baik berupa
tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilaku warga
masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang
menjadi tokoh masyarakat menjadi cukup penting.
Bagi masyarakat
Indonesia maka hukum adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat
mengikat sehingga masyarakat yang melanggar adat-istiadat tersebut akan
mendapatkan sangsi baik secara langsung maupun tidak secara langsung yang
kesemuanya telah mengakibatkan efek jera bagi setiap pelanggarnya. Keragaman
hukum adat di Indonesia pada prinsipnya bisa menjadi inspirasi untuk
ditempatkan sebagai sumber hukum nasional karena berbagai literatur sejarah
telah mengetengahkan ragam kisah yang tertoreh dalam berbagai kitab kitab hukum
kuno seperti misalnya pada zaman Hindu, era Raja Dharmawangsa aturan hukum
tertulis dalam kitab Civacasana, pada
jaman Majapahit era Mahapatih Gajahmada (1331-1364) menulis kitab yang disebut
Kitab Gajah Mada, pada era Kanaka
Patih Majapahit (1413-1430) ada kitab hukum yang disebut dengan kitab Adigama serta di Bali sekitar tahun 1350
juga ditemukan kitab hukum Kutaramanava,
selain itu masih banyak terdapat kitab-kitab hukum kuno yang mengatur kehidupan
masyarakat agar tertib hukum.
Bahwa, keberadaan kitab
kitab hukum adat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tersebut telah
menandakan jika di Indonesia ini jauh sebelum orang –orang Eropa atau bahkan
orang orang Asia lainya datang, maka di Indonesia telah memiliki sistem dan asas-asas
hukumnya sendiri yang khas. Hukum Adat yang pada prinsipnya masih berlangsung
di berbagai daerah tersebut merupakan hasil akulturasi antara peraturan dalam
adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa
dalam kultur agama yaitu Hindu, Budha, Islam maupun Nasrani, selanjutnya
setelah terjadi akulturasi tersebut maka hukum adat atau hukum pribumi (Inladsrecht) tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai hukum yang tidak ditulis (jus non scriptum) dan hukum yang ditulis (jus scriptum).
Hukum adat di berbagai
daerah tumbuh dalam lingkungan masyarakat setempat yang berlandaskan pada
ajaran agama yang berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam
masyarakat tersebut, oleh karenanya sering dijumpai dalam masyarakat hukum adat
maka antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan, seperti halnya di pulau Bali
maka adat masyarakat Bali tidak dapat dipisahkan dengan ajaran agama Hindu,
atau masyarakat Jawa di beberapa hal terikat hukum adat yang bersumber dari
akulturasi kultur agama Islam dan seterusnya.
Bagi negara yang modern
seperti halnya Indonesia pada saat ini maka hukum yang berlaku merupakan suatu
sistem yang merupakan tatanan sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sistem
hukum sebagai suatu kesatuan dari ragam unsur memiliki interaksi satu sama
lainnya yang bersimbyosis guna mencapai tujuan bersama yaitu keselarasan dan
keseimbangan hidup bermasyarakat.
Bahwa, selanjutnya
diketahui jika keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat
disebut sebagai sistem hukum nasional yang mana sistem hukum tersebut kini
telah berkembang sesuai dengan dinamika zaman selanjutnya sistem tersebut
memiliki sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap, oleh karena itu
wujud dari sistem hukum nasional yang berbentuk hukum dapat dibedakan menjadi
hukum tertulis (hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan) dan
hukum yang tidak tertulis (hukum adat, hukum kebiasaan).
Hukum yang berlaku
dengan cara diberlakukan adalah hukum tertulis yaitu dengan diundangkannya
dalam lembaran negara, dimana dalam berlakunya juga ada yang berlaku sebagai
the living law tetapi juga ada yang tidak berlaku sebagai the living law karena
tidak ditaati/ dilaksanakan oleh rakyat. Hukum tertulis yang diberlakukan
dengan cara diundangkan dalam lembaran negara kemudian dilaksanakan dan ditaati
oleh rakyat dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup (the living law).
Sedangkan hukum tertulis yang walaupun telah diberlakukan dengan cara
diundangkan dalam lembaran negara tetapi ditinggalkan dan tidak dilaksanakan
oleh rakyat maka tidak dapat dikatakan sebagai the living law. Salah satu
contohnya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil. Hukum Adat sebagai hukum
yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis,
tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela
karena memang itu miliknya.
Dalam perspektif umum
maka hukum adat dapat dikatakan sebagai the living law karena Hukum Adat
berlaku di masyarakat yang dapat dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa
harus melalui prosedur negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak
tertulis sebagai the living law dan secara filosofis maka berlakunya hukum adat
sebenarnya karena adanya nilai-nilai dan sifat hukum adat itu sendiri yang
identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila, misalnya
padanan tentang religiusitas, magis, sifat gotong royong, musyawarah mufakat
dan keadilan yang mana terkandung nyata dalam butir Pancasila sehingga dasar
Negara kita yaitu Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Hukum adat yang hidup,
tumbuh dan berkembang di Indonesia maka dalam prosesnya jauh lebih luwes,
fleksibel dan tidak kaku yang nyata nyata sangat relevan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam butir butir Pancasila maupun sesuai pula dengan apa yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 yang merupakan manifestasi
pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI tersebut.
Berlaku hukum adat
dalam sistem hukum nasional pada prinsipnya merupakan hukum kebiasaan yang
mempunyai akibat hukum. Hukum adat mengatur tingkah laku manusia, dalam
hubungannya satu dengan yang lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat karena dianut dan dipertahankan oleh masyarakat itu sendiri maupun yang merupakan keseluruhan pengaturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam
keputusan para penguasa atau tokoh adat yang memiliki otoritas untukmemberi
keputusan dan sangsi.
Dalam lingkup penegakan
hukum lingkup pidana maka terhadap aturan-aturan hukum tidak berbatas dengan
tindakan menghukum dengan merampas kemerdekaan pelaku, namun yang lebih
substansial adalah bagaimana upaya penegak hukum dapat membimbing masyarakat agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum dalam
terminologi hukum pidana disebut istilah “ultimatum remedium” atau obat
terakhir. Dalam hal ini maka bekerjanya proses peradilan pada dasarnya merupakan
suatu rangkaian keputusan mengenai suatu tindak pidana oleh penegak hukum yang
berwenang dalam kerangka interrelasi antara petugas dan sub-subsistem peradilan
pidana, pendekatan sistemik semacam ini maka diperlukan adanya tujuan yang pasti yaitu gunameningkatkan
efektivitas sistem penanggulangan kejahatan, mengembangkan sistem koordinasi
diantara berbagai komponen peradilan serta bertujuan untuk mengawasi atau
mengendalikan penggunaan otoritas oleh penegak hukum itu sendiri agar tidak abuse of power atau penyalahgunaan
wewenang yang sering kita dengar akhir akhir ini.
Hukum adat mempunyai
ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat yang masih terikat adat, hal ini
terjadi karena bertolak dari adanya perasaan keadilan yang merupakan nilai
universal yang dimiliki oleh seluruh manusia sebagai subyek hukum, gambaran
tentang berlakunya hukum adat rupanya adalah bagian untuk mewujudkan ketertiban
umum yang secara garis besar maka ketertiban umum merupakan suatu keadaan
lingkungan masyarakat yang aman, tenteram dan saling menghormati hak-hak yang
satu dengan yang lain secara seimbang, hak demikian adalah tujuan hidup
bermasyarakat, namun sering kali gambaran ideal tersebut terkadang susah
terwujud tanpa peran beberapa komponen pendukung yaitu rohaniawan atau tokoh
masyarakat, kepolisian, pemerintah, dan masyarakat itu sendiri.
Bagi masyarakat
Indonesia peran seorang rohaniawan dan tokoh masyarakat adalah yang paling
utama, sering kita jumpai hanya lewat lisan dan kebijaksanaan dari rohaniawan
maupun tokoh masyarakat maka segala pencegahan tindak pidana dalam arti
pelanggaran ketertiban umum bisa teratasi, hal ini terjadi karena adanya
panutan sehingga masyarakat dapat mematuhinya, selain peran rohaniawan atau
tokoh masyarakat maka dalam penegakan hukum di arus bawah juga ada pula
kepolisian yang dapat menjalankan fungsi untuk menciptakan keamanan dan
ketertiban umum, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.
Tugas dan tanggung
jawab polisi secara limitatif dapat terbaca dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa (1) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Pejabat Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma
agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. (2)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1),
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Bertolak
dari hal tersebut maka diperoleh garis besar jika penegakan hukum diperlukan
aspek moral dan etika dari aparat penegak hukum itu sendiri, karena aspek moral
dan etika dalam penegakan hukum merupakan suatu hal yang berkaitan dengan
penegakan dalam sistem peradilan.
Sifat Hukum Adat di
Desa Adat sifatnya lex spesialis terbatas, yaitu dibatasi oleh wilayah, orang
dan jenis kegiatannya, misalnya di Bali maupun daerah daerah lain di Indonesia
masih dapat dijumpai hukum adat yang mana masih terdapat hak-hak yang diakui dalam
hukum positif dan hukum nasional, karenanya negara mengakui serta menghormati
kesatuan -kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Pasal 18 B ayat 2 UUD NRI 1945)
***
Catatan tulisan dibuat oleh Sofyan Mohammad (Lawyer Daerah) yang telah dipublikasikan pada lensabudaya.com