Presiden pertama Sukarno saat berdialog dengan Soeharto yang kelak menjadi penerusnya.Foto: AFP |
Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 2 tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.
Dalam Keppres, tercantum nama tokoh-tokoh yang
dianggap memiliki peran penting dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Tapi
nama Soeharto tidak tercantum dalam Keppres tersebut, padahal tercatat dalam
buku-buku sejarah Soeharto yang memimpin serangan itu. "Serangan
Fajar" seperti julukannya memang melibatkan banyak tokoh dalam peristiwa
tersebut. Namun, yang sangat menonjol adalah Letkol Soeharto yang langsung
memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Keppres hanya
mencantumkan empat nama: Jenderal Sudirman, Sultan Hamengkubuwono IX, Presiden
Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Itulah yang memicu polemik Fadli
Zon dengan Mahfud MD di media sosial Twitter yang terbuka diikuti publik secara
luas hari-hari ini.
Jenderal Soeharto yang baru saja diangkat menjadi Presiden Indonesia oleh Jenderal Nasution (Presiden Kongres Rakyat), di Jakarta 19 Maret 1967. Foto: AFP |
Fadli Zon mengambil posisi sebagai sejarawan.
Kebetulan pula, doktor jebolan Universitas Indonesia itu pernah membuat
penelitian tentang Serangan Umum 1 Maret. Dia menganggap Keppres menggelapkan
sejarah. Lawannya, Mahfud MD, Menkopolhukam, seperti biasa, menangkis-nangkis
segala kritik masyarakat kepada pemerintah. Dia mengatakan, nama Soeharto tetap
tercantum dalam naskah akademik Keppres, bahkan ditulis sebanyak 48 kali.
Mengapa dalam Keppres hanya empat nama yang dicantumkan, memang begitulah
kaidah penulisan Keppres.
"Keliru Pak Mahfud. Dalam Serangan Umum 1 Maret
1949, Soekarno dan Hatta masih dalam tawanan di Menumbing. Pemerintahan
dipimpin PDRI (Pemerintah Darurat RI) di bawah Sjafroeddin Prawiranegara. Tak
ada gagasan dari Soekarno dan Hatta dalam peristiwa ini. Jangan belokkan
sejarah!" kata Fadli.
Kita tunggu saja kelanjutan polemik menarik ini
karena Fadli Zon menawarkan debat terbuka dengan Mahfud MD plus sejarawan yang
terlibat di dalam penerbitan Keppres itu.
Menurut ahli, sebagai ilmu, sejarah memang
mempelajari berbagai peristiwa yang terjadi sejak kelahiran manusia pertama
hingga sekarang ini. Sejarah mencatat berbagai peristiwa dari satu masa ke masa
lainnya dan menyebabkan perannya menjadi sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, sejarah dapat menjadi penghubung generasi sekarang
dengan generasi terdahulu. Melalui berbagai tulisan sejarah, generasi sekarang
dapat mengetahui dan memahami berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau,
sehingga generasi setelahnya dapat menentukan sikap dan langkah-langkah
kehidupannya menuju masa depan. Sejarah Nasional pada sekolah-sekolah di zaman
Pergerakan Nasional Indonesia, bangsa Indonesia mulai menyadari keberadaannya
sebagai sebuah bangsa yang ditindas oleh bangsa penjajah.
Tetapi sejarah tidak diam, dan kaku seperti mumi.
Sejarah itu statis. Ia terbuka untuk koreksi atau pelurusan berdasar "novum" baru atau temuan baru dari
para sejarawan. Betul. Memang sering terjadi pula proses pelurusan itu
dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk menutup dan membengkokkannya. Malah,
dimanfaatkan sebagai celah meletakkan diri dan golongannya untuk mengharumkan
perannya. Yang skeptis, akan mengatakan sejarah ditulis pemenang.
Sejarah PWI
Membelokkan sejarah hanya untuk kebutuhan suatu
kekuasaan amat menyakitkan. Saya bersama tokoh pers almarhum Rosihan Anwar
pernah mengalami itu. Dalam rangka memperingati HUT 50 Emas PWI (Persatuan
Wartawan Indonesia) pada 1996 kami membuat film sejarah pembentukan organisasi
wartawan pertama dan terbesar di Tanah Air. Kami terbang ke Surakarta, di kota
PWI berkongres 9 Februari 1946. Selain syuting di Monumen Pers dan membuka
banyak dokumen mengenai kongres yang berlangsung 8-10 Februari, kami juga mewawancarai
saksi hidup yang hadir di kongres waktu itu. Di Solo tinggal satu tokoh, yaitu
Surono Wirohardjono, wartawan pemimpin Majalah Adil. Beliau sudah sangat sepuh.
Perlu beberapa jam saya mewawancarai karena gangguan
pendengaran. Di Jakarta, Pak Rosihan mewawancarai saksi hidup dua tokoh pers BM
Diah dan Manai Sophiaan. Ayah aktor Sophan Sophiaan menempuh perjalanan naik
perahu 35 hari untuk sampai di Solo.
Pada momen Peringatan Hari Pers Nasional 1996 di
Jakarta, RCTI menayangkan film sejarah pendirian PWI itu. Pagi-pagi sebelum
penayangan, Pak Rosihan menelepon mengkonfirmasi kepastian penayangan. Wartawan
sepuh lalu menelepon sejawatnya BM Diah dan Manai Sophiaan. Meminta bersiap di
depan layar RCTI. Namun, apa yang terjadi? Sungguh memalukan. Sampai tayangan
berakhir, bagian wawancara BM Diah dan Manai tidak tayang. Telepon saya
berdering. Benar. Pak Rosihan marah, merasa telah dipermalukan. Saya langsung mengontak
Bung Chris Kelana, direktur pemberitaan/ pemred Seputar Indonesia/RCTI. Dia pun
terkejut, diprotes. Chris mengaku menerima memo dari pengurus PWI Pusat untuk
mengedit wawancara kedua tokoh itu. Kata Chris, memo itu menyebutkan alasan
karena Manai Sophiaan penandatangan Petisi 50 yang tidak disukai Pak Harto.
Kesulitannya, tidak satu pihak pun yang disebut pengurus PWI itu mengakui.
Begitulah bebalnya kekuasaan yang membelokkan
sejarah. Padahal, dalam sejarahnya PWI bukan hanya punya banyak tokoh kritis
terhadap pemerintah. Dalam sejarahnya, PWI pun pernah dipimpin oleh Djawoto dan
Karim DP, dua tokoh PKI. Djawoto menjadi Ketua PWI hasil Kongres IV PWI, 12 dan
15 Mei 1950 di Surabaya. Sedangkan Karim Daeng Patombong (Karim DP) Ketua umum
PWI Pusat tahun 1963-1965. Sebelum melakukan pemberontakan G-30-S tahun 1965,
PKI merupakan salah satu kekuatan sosial politik di Tanah Air, pemenang ketiga
Pemilu 1955. Begitulah adanya rupa sejarah kita.
Jas Merah
Presiden pertama RI Bung Karno pernah mengingatkan
bangsa yang besar adalah yang menghormati sejarahnya. Pidatonya yang terkenal
mengenai itu, "Jas Merah" (Akronim: Jangan sekali-kali melupakan
sejarah).
Jepang boleh menjadi referensi bangsa yang
menghormati sejarah. Jepang meminta maaf secara terbuka atas skandal
Jugun ianfu - istilah yang digunakan untuk merujuk peristiwa
memalukan Tentara Jepang selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah
perang. Jugun ianfu merupakan wanita
yang menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan
juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun tahun 1942-1945. Selain
meminta maaf Jepang juga memberikan kompensasi uang kepada keluarga korban jugun ianfu. Belanda berulang kali
meminta maaf mengakui dan minta maaf atas kejahatan militernya di Indonesia
periode 1945-1949.
Polemik Fadli Zon vs Mahfud makin relevan digelar.
Wajib kita dukung dilanjutkan dalam rangka pelurusan sejarah. Mencegah terjadi
dusta di antara kita.
"Belajar sejarah, belajar sejarah. Dalam
sejarah terletak semua rahasia tata negara," kata Winston Churchill,
politikus, perwira militer, penulis, dan PM Britania Raya (1940-1945 dan
1951-1955).
***
Tulisan ini telah dipublikasikan di kumparan.com dengan judul "Mengulik Polemik Peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949"