Kemungkinan besar makam
itu memang berada di luar kota, sebab peraturan Yahudi melarang menguburkan
orang mati di dalam kota. Namun sejak tahun 44 tempat pemakaman itu telah
berada di dalam tembok kota setelah perluasan tembok ke wilayah Gareb oleh
Herodes Agripa.
Gareb adalah bukit
berbatu-batu yang bentuknya menyerupai tengkorak, tempat penyaliban pada
umumnya dan tempat dahulu Yesus disalibkan. Maka bukit itu disebut juga dalam
bahasa Aram golgota dan dalam bahasa Latin calvarium, yang berarti “tengkorak.”
Akibat perluasan tembok
kota, wilayah perbukitan itu terpecah-pecah dan tinggal bongkahan-bongkahan
batu yang salah satunya berukuran panjang 10 m dengan tinggi 4-5 m. Sekitar
40-50 m dari tempat itu terdapat kuburan yang dipahat pada dinding batu, yakni
kuburan dari Yusuf Arimatea, tempat dahulu Yesus dimakamkan.
Bukit Golgota itulah
yang oleh jemaat Kristen purba Yerusalem dijadikan tempat kudus untuk berdoa
dan terluput dari penghancuran kota oleh pasukan Titus tahun 70. Tahun 135
Kaisar Adrianus yang berkuasa sejak tahun 117-138 meratakan wilayah Golgota itu
dengan tanah untuk pembangunan kota Romawi Aelina Capitolina dan Yerusalem
menjadi ibu kotanya. Orang-orang Yahudi dilarang masuk dan tinggal di wilayah
itu dan nama Yudea pun diganti dengan Siria-Palestina.
Di mata sang kaisar
baik agama Yahudi maupun Kristen dipandang sebagai kelompok pemberontak. Oleh
karena itu, untuk menghapus keberadaan dan pengaruh keagamaan itu wilayah
Golgota ditimbun tanah setinggi 20 m.
Wilayah itu dijadikan
lapangan luas dan pusat kegiatan baik politik maupun keagamaan kafir. Di area
makam Yesus didirikan kuil dengan patung Yupiter, dewa utama bangsa Romawi
penguasa langit-bumi dan patung Venus, dewi kecantikan dan asmara bangsa
Romawi, didirikan di atas batu tempat penyaliban Yesus.
Tahun 312 Kaisar
Konstantinus berkuasa dan mensahkan Kekristenan sebagai agama di kekaisarannya
dengan Edic Milan. Ibunya, Ratu Helena, yang berusia 63 tahun pun dibaptis
menjadi seorang Kristen.
Menurut catatan
Eusebius, seorang sejarahwan Gereja awal, tahun 324 kaisar memberi wewenang
kepada Ratu Helena untuk pergi ke Palestina menemukan tempat-tempat suci.
Alhasil, dua gereja dibangun untuk menandai tempat suci, yakni satu di tempat
kelahiran Yesus di Betlehem dan yang lain di tempat kenaikan Yesus ke Surga di
puncak bukit Zaitun.
Kaisar Konstantinus pun
memerintahkan untuk menghancurkan Aelina Capitolina beserta kuil-kuil tempat
ibadatnya. Wilayah Golgota disucikan kembali dan dibangun Anastasis (makam yang
sangat besar dan megah) di atas kubur Yesus dan sebuah basilika bercorak
Bizantium didirikan di sisi batu tempat penyaliban Yesus. Namun
bangunan-bangunan suci itu dihancurkan oleh pasukan Persia tahun 614, lalu
dibangun kembali oleh Modestus, tetapi dihancurleburkan lagi oleh kalifah Hakim
tahun 1009.
Tahun 1099 para pejuang
Perang Salib masuk ke Yerusalem, membangun kembali basilika dengan Anastasis
sebagai pusatnya dan selesai pembangunan tahun 1149. Basilika itu tetap berada
hingga Statu Quo, yakni perjanjian tentang tempat-tempat suci tahun 1852 oleh
Sultan Abdul Majid.
Berkat perjanjian itu
berhentilah pertikaian dari Gereja-gereja yang memperebutkan tempat-tempat
suci, terutama Basilika Makam Suci. Maka basilika itu dibagi dan kapel-kapel
yang besar menjadi milik tiga Gereja, yakni Gereja Katolik, Gereja Ortodok
Yunani dan Gereja Armenia.
Kapel St. Helena milik
Gereja Armenia. Kapel Penyaliban di tempat dahulu Yesus ditanggalkan
pakaian-Nya dan dipaku di kayu salib, milik Gereja Katolik, yang diatasnamakan
pada para biarawan Fransiskan.
Kapel Sakrat Maut dan
Kematian adalah kapel dengan altar persis di atas batu tempat dahulu Yesus
disalibkan, milik Gereja Ortodok Yunani. Di sebelah kanan altar itu terlihat
garis yang memecah batu, yang diyakini akibat dari gempa bumi saat Yesus mati
di salib. Sedangkan Gereja Siria, Koptik dan Etiopia memiliki hak milik atas
kapel-kapel kecil yang lain dan pihak Islam memegang kunci pintu gerbang masuk
basilika.
Menurut sebuah legenda
kuno, Eusebius mengatakan bahwa Ratu Helena menemukan Salib Yesus di dalam
Basilika Makam Suci. Maka St. Helena selalu digambarkan memeluk sebuah salib
Yesus. Tahun 326 kuil Yupiter dirobohkan dan para penggali situs arkheologi
menemukan bekas makam Yesus yang kemudian dijadikan tempat ziarah. Kuil Venus
pun dirobohkan dan penggalian menemukan batu tempat Yesus disalibkan.
Kaisar Konstantinus
menulis surat kepada Mgr. Makarius, Uskup Yerusalem, dan memerintahkan
pencarian salib Yesus di bukit Kalvari. Yudas, seorang terpelajar Yahudi yang
tahu banyak tentang wilayah Golgota dilibatkan dalam proyek penting itu.
Alhasil, ditemukan tiga salib dan satu titulus atau tulisan di sepotong kayu
berbahasa Latin Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum.
Tulisan ini yang biasa
disingkat dengan INRI dan berarti “Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi.”
Persoalannya adalah dari ketiga salib itu yang mana salib Yesus?
St. Yohanes Krisostomus
dan St. Ambrosius bersaksi sbb.: Seorang perempuan yang menderita penyakit
mematikan dan sedang menghadapi ajalnya dibawa untuk menyentuh ketiga salib itu
satu per satu.
Sumber Foto: http://pengagumataupengikut.blogspot.com/2016/10/santa-helena-dan-salib-suci.html- Tulisan RP. Surip, OFMCap- Edisi 376 Majalah DUTA |
Ketika ia menyentuh
salib yang pertama dan kedua ia tidak mengalami pengaruh apapun, tetapi saat
menyentuh salib yang ketiga ia langsung bereaksi dan mengalami kesembuhan
total. Itulah salib Yesus, yang dalam kotbahnya St. Ambrosius berkata: “Ketika
Ratu Helena menemukan salib Yesus ia tidak menyembah kayu, tetapi Raja yang
tergantung pada kayu salib itu. Ia berkobar-kobar dalam kerinduannya yang
sejati untuk menyentuh jaminan hidup abadi.”
Dalam suratnya kepada
Kaisar Konstantius (putera dan penerus Konstantinus), St. Sirilus dari
Yerusalem menulis: “Kayu salib yang menyelamatkan ditemukan di Yerusalem pada
masa Kaisar Konstantinus.”
Dalam buku Pengajaran
Katekese ia juga menulis: “Ia sungguh disalibkan demi dosa-dosa kita. Jika
engkau menyangkalnya, tempat ini secara tak terelakkan membuktikan kesalahanmu;
Golgota yang terberkati ini tempat kita sekarang berkumpul demi Dia yang
disalibkan di sini; dan sejak saat itu seluruh dunia telah dipenuhi dengan
potongan-potongan kayu Salib.”
Pesta Salib Suci
dirayakan setiap tanggal 14 September. Kutipan dari Injil Yoh 3:13-17 berikut
mengungkapkan nilai/makna terdalam dari salib Yesus yang dengannya Ia
memperoleh kemuliaan-Nya.
13 Tidak ada seorangpun
yang telah naik ke surga, selain dari pada Dia yang telah turun dari surga,
yaitu Anak Manusia. 14 Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun,
demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, 15s upaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.
16 Karena begitu besar
kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal. 17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan
untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.
Penginjil Yohanes tidak
membandingkan penderitaan Yesus di salib dengan penderitaan Hamba Yahwe (Yes
52:13-53:12), tetapi dengan peninggian ular tembaga. Yesus bagaikan ular
tembaga yang ditinggikan Musa dan orang-orang yang memandangnya, pikiran mereka
terarah kepada Allah, sehingga mereka disembuhkan dan tetap hidup (bdk. Bil
21:4-9). Yesus harus ditinggikan dan orang yang mengarahkan pikiran serta percaya
kepada-Nya akan memperoleh hidup kekal.
Kata Yunani hupsoun
yang artinya “meninggikan” dipakai untuk Yesus yang ditinggikan pada kayu salib
maupun Yesus yang ditinggikan dalam kemuliaan-Nya pada waktu Ia naik ke surga.
Dengan demikian peninggian-Nya pada salib merupakan jalan menuju kemuliaan-Nya.
Salib Yesus
mengingatkan kita pada besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, tetapi beroleh hidup yang kekal.
Allah bertindak bukan
untuk kepentingan-Nya sendiri, tetapi untuk orang yang percaya dan untuk dunia.
Artinya, kasih Allah yang telah mengaruniakan Anak-Nya itu bukan hanya kepada
manusia yang menanggapi kasih-Nya, tetapi juga untuk yang menolaknya. Oleh
karena itu, bagi orang yang menerima Yesus telah berada di jalan keselamatan
dan orang yang menolak-Nya telah mendapat penghakiman. Sebab Allah mengutus
Yesus demi keselamatan manusia, sehingga yang menolak Yesus berarti telah
memilih dan menjadikan dirinya sendiri tidak selamat.
Aku punya sebuah kisah.
Di hari ulang tahunku yang ke sekian, ku berada di Yerusalem untuk studi
Arkheologi Biblis. Hari itu bersama seorang professor dan teman-teman sekelas
di Hebrew University kami mengunjungi Basilika Makam Suci, membolak-balik
berbagai dokumen dan mempelajari beragam tradisi tentang wilayah perbukitan
Golgota. Di akhir pertemuan kuterima sebuah bingkisan dari kawanku yang telah
lama manaruh simpati denganku, seorang gadis manis berkebangsaan dan beragama
Yahudi.
Hadiah itu sempat
mengejutkanku, karena isinya sebuah salib Yesus. Seorang Yahudi memberiku
sebuah salib Yesus. Seketika itu juga kutersentak seraya mulai menelusuri
kembali persahabatan kami yang kadang diwarnai dengan ejekan yang menambahkan
keakrapan.
Terlintas di benakku
sebuah kritik yang pernah kutuduhkan kepadanya: “Gara-gara nenek moyangmu,
Yesusku harus menderita, disalibkan dan mati. Kini giliranmu harus meminta maaf
kepadaku, salah satu pengikut-Nya.”
Jawabannya pun
membuatku bungkam: “Harusnya kamu tahu diri kawan! Justru karena nenek-moyangku,
kamu akhirnya punya Tuhan. Coba pikir kalau Yesus tidak dibunuh nenek
moyangku!” “Dasarrrrr… orang Yahudi,” gerutuku.
Ada banyak lagi guyonan
kami soal keyahudian dan kekristenan, tetapi kali ini tidak begitu penting.
Lebih baik kita bicara tentang hadiah salib Yesus yang mempesonaku meski sudah
begitu kuno nampaknya.
Salib itu kubawa
pulang, lalu kupasang di dinding kamar indekosku. Namun betapa sedihnya aku
karena kecerobohanku yang mengakibatkan salib itu terjatuh dan patahlah tangan
kanan Yesus.
Meski demikian salib
itu tetap kupajang di tembok kamarku. Susahnya, setiap kali aku berada di kamar
dan memandang salib itu, kudipaksa menyesali kecerobohanku. Akhirnya, suatu
hari terlintas dalam permenunganku sebuah ide ini. Di bawah tangan kanan Yesus
yang sudah puntung itu kutulis satu pertanyaan: “Surip, di manakah tangan-Ku?”
Lalu di sisi lain dari salib itu kutempel hasil permenungan dan niatku: “Yesus,
aku mau menjadi tangan-Mu.”
Aku mau menjadi
perpanjangan tangan Yesus. Maukah Anda juga menjadi perpanjangan tangan Yesus?
Mari kita bergandengan tangan bersama. Jadilah perpanjangan tangan Yesus, asal
jangan sampai “panjang tangan!”
***
Source: majalahduta.com