Salib Yesus dan Ratu Helena

Salib Yesus dan Ratu Helena

Penulis: RP. Surip Stanislaus, OFMCap (Pesta Salib Suci 14 September) EDISI 376 MAJALAH DUTA CETAK



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk Numbei)Jumat sore di setiap awal bulan aku selalu berziarah ke makam suci di bukit Golgota. Basilika Makam Suci Yesus berdiri megah di atas bukit itu dalam area tanah kuburan Yusuf Arimatea. Lokasi itu dulu di luar tembok Yerusalem tetapi tidak jauh dari kota (Yoh 19:20).

Kemungkinan besar makam itu memang berada di luar kota, sebab peraturan Yahudi melarang menguburkan orang mati di dalam kota. Namun sejak tahun 44 tempat pemakaman itu telah berada di dalam tembok kota setelah perluasan tembok ke wilayah Gareb oleh Herodes Agripa.

Gareb adalah bukit berbatu-batu yang bentuknya menyerupai tengkorak, tempat penyaliban pada umumnya dan tempat dahulu Yesus disalibkan. Maka bukit itu disebut juga dalam bahasa Aram golgota dan dalam bahasa Latin calvarium, yang berarti “tengkorak.”

Akibat perluasan tembok kota, wilayah perbukitan itu terpecah-pecah dan tinggal bongkahan-bongkahan batu yang salah satunya berukuran panjang 10 m dengan tinggi 4-5 m. Sekitar 40-50 m dari tempat itu terdapat kuburan yang dipahat pada dinding batu, yakni kuburan dari Yusuf Arimatea, tempat dahulu Yesus dimakamkan.

Bukit Golgota itulah yang oleh jemaat Kristen purba Yerusalem dijadikan tempat kudus untuk berdoa dan terluput dari penghancuran kota oleh pasukan Titus tahun 70. Tahun 135 Kaisar Adrianus yang berkuasa sejak tahun 117-138 meratakan wilayah Golgota itu dengan tanah untuk pembangunan kota Romawi Aelina Capitolina dan Yerusalem menjadi ibu kotanya. Orang-orang Yahudi dilarang masuk dan tinggal di wilayah itu dan nama Yudea pun diganti dengan Siria-Palestina.



Di mata sang kaisar baik agama Yahudi maupun Kristen dipandang sebagai kelompok pemberontak. Oleh karena itu, untuk menghapus keberadaan dan pengaruh keagamaan itu wilayah Golgota ditimbun tanah setinggi 20 m.

Wilayah itu dijadikan lapangan luas dan pusat kegiatan baik politik maupun keagamaan kafir. Di area makam Yesus didirikan kuil dengan patung Yupiter, dewa utama bangsa Romawi penguasa langit-bumi dan patung Venus, dewi kecantikan dan asmara bangsa Romawi, didirikan di atas batu tempat penyaliban Yesus.

Tahun 312 Kaisar Konstantinus berkuasa dan mensahkan Kekristenan sebagai agama di kekaisarannya dengan Edic Milan. Ibunya, Ratu Helena, yang berusia 63 tahun pun dibaptis menjadi seorang Kristen.

Menurut catatan Eusebius, seorang sejarahwan Gereja awal, tahun 324 kaisar memberi wewenang kepada Ratu Helena untuk pergi ke Palestina menemukan tempat-tempat suci. Alhasil, dua gereja dibangun untuk menandai tempat suci, yakni satu di tempat kelahiran Yesus di Betlehem dan yang lain di tempat kenaikan Yesus ke Surga di puncak bukit Zaitun.

Kaisar Konstantinus pun memerintahkan untuk menghancurkan Aelina Capitolina beserta kuil-kuil tempat ibadatnya. Wilayah Golgota disucikan kembali dan dibangun Anastasis (makam yang sangat besar dan megah) di atas kubur Yesus dan sebuah basilika bercorak Bizantium didirikan di sisi batu tempat penyaliban Yesus. Namun bangunan-bangunan suci itu dihancurkan oleh pasukan Persia tahun 614, lalu dibangun kembali oleh Modestus, tetapi dihancurleburkan lagi oleh kalifah Hakim tahun 1009.

Tahun 1099 para pejuang Perang Salib masuk ke Yerusalem, membangun kembali basilika dengan Anastasis sebagai pusatnya dan selesai pembangunan tahun 1149. Basilika itu tetap berada hingga Statu Quo, yakni perjanjian tentang tempat-tempat suci tahun 1852 oleh Sultan Abdul Majid.

Berkat perjanjian itu berhentilah pertikaian dari Gereja-gereja yang memperebutkan tempat-tempat suci, terutama Basilika Makam Suci. Maka basilika itu dibagi dan kapel-kapel yang besar menjadi milik tiga Gereja, yakni Gereja Katolik, Gereja Ortodok Yunani dan Gereja Armenia.

Kapel St. Helena milik Gereja Armenia. Kapel Penyaliban di tempat dahulu Yesus ditanggalkan pakaian-Nya dan dipaku di kayu salib, milik Gereja Katolik, yang diatasnamakan pada para biarawan Fransiskan.

Kapel Sakrat Maut dan Kematian adalah kapel dengan altar persis di atas batu tempat dahulu Yesus disalibkan, milik Gereja Ortodok Yunani. Di sebelah kanan altar itu terlihat garis yang memecah batu, yang diyakini akibat dari gempa bumi saat Yesus mati di salib. Sedangkan Gereja Siria, Koptik dan Etiopia memiliki hak milik atas kapel-kapel kecil yang lain dan pihak Islam memegang kunci pintu gerbang masuk basilika.

Menurut sebuah legenda kuno, Eusebius mengatakan bahwa Ratu Helena menemukan Salib Yesus di dalam Basilika Makam Suci. Maka St. Helena selalu digambarkan memeluk sebuah salib Yesus. Tahun 326 kuil Yupiter dirobohkan dan para penggali situs arkheologi menemukan bekas makam Yesus yang kemudian dijadikan tempat ziarah. Kuil Venus pun dirobohkan dan penggalian menemukan batu tempat Yesus disalibkan.

Kaisar Konstantinus menulis surat kepada Mgr. Makarius, Uskup Yerusalem, dan memerintahkan pencarian salib Yesus di bukit Kalvari. Yudas, seorang terpelajar Yahudi yang tahu banyak tentang wilayah Golgota dilibatkan dalam proyek penting itu. Alhasil, ditemukan tiga salib dan satu titulus atau tulisan di sepotong kayu berbahasa Latin Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum.

Tulisan ini yang biasa disingkat dengan INRI dan berarti “Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi.” Persoalannya adalah dari ketiga salib itu yang mana salib Yesus?

St. Yohanes Krisostomus dan St. Ambrosius bersaksi sbb.: Seorang perempuan yang menderita penyakit mematikan dan sedang menghadapi ajalnya dibawa untuk menyentuh ketiga salib itu satu per satu.

Sumber Foto: http://pengagumataupengikut.blogspot.com/2016/10/santa-helena-dan-salib-suci.html- Tulisan RP. Surip, OFMCap- Edisi 376 Majalah DUTA


Ketika ia menyentuh salib yang pertama dan kedua ia tidak mengalami pengaruh apapun, tetapi saat menyentuh salib yang ketiga ia langsung bereaksi dan mengalami kesembuhan total. Itulah salib Yesus, yang dalam kotbahnya St. Ambrosius berkata: “Ketika Ratu Helena menemukan salib Yesus ia tidak menyembah kayu, tetapi Raja yang tergantung pada kayu salib itu. Ia berkobar-kobar dalam kerinduannya yang sejati untuk menyentuh jaminan hidup abadi.”

Dalam suratnya kepada Kaisar Konstantius (putera dan penerus Konstantinus), St. Sirilus dari Yerusalem menulis: “Kayu salib yang menyelamatkan ditemukan di Yerusalem pada masa Kaisar Konstantinus.”

Dalam buku Pengajaran Katekese ia juga menulis: “Ia sungguh disalibkan demi dosa-dosa kita. Jika engkau menyangkalnya, tempat ini secara tak terelakkan membuktikan kesalahanmu; Golgota yang terberkati ini tempat kita sekarang berkumpul demi Dia yang disalibkan di sini; dan sejak saat itu seluruh dunia telah dipenuhi dengan potongan-potongan kayu Salib.”

Pesta Salib Suci dirayakan setiap tanggal 14 September. Kutipan dari Injil Yoh 3:13-17 berikut mengungkapkan nilai/makna terdalam dari salib Yesus yang dengannya Ia memperoleh kemuliaan-Nya.

13 Tidak ada seorangpun yang telah naik ke surga, selain dari pada Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia. 14 Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, 15s upaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.

16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.

Penginjil Yohanes tidak membandingkan penderitaan Yesus di salib dengan penderitaan Hamba Yahwe (Yes 52:13-53:12), tetapi dengan peninggian ular tembaga. Yesus bagaikan ular tembaga yang ditinggikan Musa dan orang-orang yang memandangnya, pikiran mereka terarah kepada Allah, sehingga mereka disembuhkan dan tetap hidup (bdk. Bil 21:4-9). Yesus harus ditinggikan dan orang yang mengarahkan pikiran serta percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup kekal.

Kata Yunani hupsoun yang artinya “meninggikan” dipakai untuk Yesus yang ditinggikan pada kayu salib maupun Yesus yang ditinggikan dalam kemuliaan-Nya pada waktu Ia naik ke surga. Dengan demikian peninggian-Nya pada salib merupakan jalan menuju kemuliaan-Nya.

Salib Yesus mengingatkan kita pada besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, tetapi beroleh hidup yang kekal.

Allah bertindak bukan untuk kepentingan-Nya sendiri, tetapi untuk orang yang percaya dan untuk dunia. Artinya, kasih Allah yang telah mengaruniakan Anak-Nya itu bukan hanya kepada manusia yang menanggapi kasih-Nya, tetapi juga untuk yang menolaknya. Oleh karena itu, bagi orang yang menerima Yesus telah berada di jalan keselamatan dan orang yang menolak-Nya telah mendapat penghakiman. Sebab Allah mengutus Yesus demi keselamatan manusia, sehingga yang menolak Yesus berarti telah memilih dan menjadikan dirinya sendiri tidak selamat.

Aku punya sebuah kisah. Di hari ulang tahunku yang ke sekian, ku berada di Yerusalem untuk studi Arkheologi Biblis. Hari itu bersama seorang professor dan teman-teman sekelas di Hebrew University kami mengunjungi Basilika Makam Suci, membolak-balik berbagai dokumen dan mempelajari beragam tradisi tentang wilayah perbukitan Golgota. Di akhir pertemuan kuterima sebuah bingkisan dari kawanku yang telah lama manaruh simpati denganku, seorang gadis manis berkebangsaan dan beragama Yahudi.

Hadiah itu sempat mengejutkanku, karena isinya sebuah salib Yesus. Seorang Yahudi memberiku sebuah salib Yesus. Seketika itu juga kutersentak seraya mulai menelusuri kembali persahabatan kami yang kadang diwarnai dengan ejekan yang menambahkan keakrapan.

Terlintas di benakku sebuah kritik yang pernah kutuduhkan kepadanya: “Gara-gara nenek moyangmu, Yesusku harus menderita, disalibkan dan mati. Kini giliranmu harus meminta maaf kepadaku, salah satu pengikut-Nya.”

Jawabannya pun membuatku bungkam: “Harusnya kamu tahu diri kawan! Justru karena nenek-moyangku, kamu akhirnya punya Tuhan. Coba pikir kalau Yesus tidak dibunuh nenek moyangku!” “Dasarrrrr… orang Yahudi,” gerutuku.

Ada banyak lagi guyonan kami soal keyahudian dan kekristenan, tetapi kali ini tidak begitu penting. Lebih baik kita bicara tentang hadiah salib Yesus yang mempesonaku meski sudah begitu kuno nampaknya.

Salib itu kubawa pulang, lalu kupasang di dinding kamar indekosku. Namun betapa sedihnya aku karena kecerobohanku yang mengakibatkan salib itu terjatuh dan patahlah tangan kanan Yesus.

Meski demikian salib itu tetap kupajang di tembok kamarku. Susahnya, setiap kali aku berada di kamar dan memandang salib itu, kudipaksa menyesali kecerobohanku. Akhirnya, suatu hari terlintas dalam permenunganku sebuah ide ini. Di bawah tangan kanan Yesus yang sudah puntung itu kutulis satu pertanyaan: “Surip, di manakah tangan-Ku?” Lalu di sisi lain dari salib itu kutempel hasil permenungan dan niatku: “Yesus, aku mau menjadi tangan-Mu.”

Aku mau menjadi perpanjangan tangan Yesus. Maukah Anda juga menjadi perpanjangan tangan Yesus? Mari kita bergandengan tangan bersama. Jadilah perpanjangan tangan Yesus, asal jangan sampai “panjang tangan!”

***

Source: majalahduta.com



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama