Sepuluh anak Guru Alo (Alm) berfoto bersama Ibu mereka Theresia Bela (86 tahun). Enam dari mereka menjadi guru. (tD) |
Seperti dilansir
oleh tempusdei.id, Febry
Silaban, seorang Munsyi atau ahli bahasa, mengatakan, kata “guru” berasal dari
bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata, yakni gu yang
berarti kegelapan dan ru yang berarti cahaya atau terang. Sangat
menarik, ternyata kata “guru” tersusun dari dua suku kata yang bermakna
berlawanan, yaitu gelap dan terang.
Secara harfiah, guru
dipandang sebagai orang yang “menghalau kegelapan ketidaktahuan”. Guru adalah
orang yang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan
kebodohan atau kegelapan.
Adalah Aloysius Bulu
Malo atau Guru Alo, seorang remaja pada tahun 1950-an di Sumba (tepatnya di
Kalembuweri, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya). Melalui pendampingan misionaris
Eropa ketika itu, memilih pekerjaan menjadi guru. Oleh karena pendampingan para
misionaris itu pula, Guru Alo bisa melihat terang dan bisa memandang dunia
dengan lebih luas.
Sebagian menantu Guru Alo adalah guru. (Foto: Vera) |
Merasa gembira bisa
melihat terang itu, Alo ingin agar sesama terdekatnya, teman-teman
sekampungnya juga melihat terang. Dia pun dengan gembira menerima ajakan untuk
menjadi guru di kampung. Pada masa itu, para misonaris Eropa merekrut guru
dengan cara yang sangat sederhana. Mereka yang sedikit menonjol di sekolah
ditawari menjadi guru lalu dikasih pendampingan lebih. Usia mereka pun masih
sangat muda: belasan tahun.
Sebagian kecil cucu Guru Alo (alm) bersama Nenek Mereka Theresia Bela (86 tahun). (Foto: Vera) |
Alo dan teman-temannya
yang terpilih ketika itu bahagia luar biasa ketika kemudian bisa membawa
orang-orang sekampung keluar dari kegepalan.
Perlahan tapi pasti,
Alo kian mencintai pekerjaannya yang ternyata sangat dihargai di tengah-tengah
masyarakat. Bahkan oleh masyarakat, dalam arti tertentu, Alo dan kawan-kawan
dianggap tahu segala hal baik untuk urusan sekolah, adat, gereja, pertanahan,
hukum, perkawinan dan sebagainya. Istilahnya all round.
Dengan keadaan atau
kepercayaan semacam ini, Alo dan teman-teman berimprovisasi secara cerdas dan
bijaksana sehingga tidak mengecewakan. Tentu saja mereka harus banyak mendengar
dan belajar dari orang-orang lain.
Sekali lagi, Alo merasa
bisa melihat terang karena jasa para misionaris Eropa. Sebagai “balas jasa”
atau “balas berkat”, ketika memiliki anak-anak, Guru Alo mendorong mereka untuk
menjadi guru. Kata-kata andalannya: “Masih banyak saudara-saudara kita yang belum
lihat terang, jadilah guru untuk membawa terang bagi mereka. Bawa mereka
menjemput terang.”
Dan benar, enam orang
dari sepuluh anaknya menjadi guru. Sebenarnya, tujuh orang, tapi yang satu,
yakni Leonardus Dapa Loka, oleh Pemerintah dipindahkan ke Dinas Pariwisata.
Mereka yang menjadi guru adalah Maria Ege, Agust Dapa Loka, Sesilia Dapa Kambu,
Petrus Umbu, Bernadethe Rengga Rame dan Agnes Ege.
Dari pengakuan
anak-anaknya, mereka mau menjadi guru selain karena nasihat ayah mereka, juga
karena melihat sang ayah sangat mencintai pekerjaannya di tengah berbagai
keterbatasan. Ayah mereka juga tanpa kenal lelah meyakinkan masyarakat untuk
menyekolahkan anak-anak mereka.
Yang menarik, pasangan
hidup sebagian anak-anaknya juga memiliki profesi sebagai guru. Mereka adalah
Petrus Tamo Ama, Alex Bili, Maria Gadi Rara, Korlina Koni dan Asterius Bulu
Damma. Beberapa cucunya, yakni Marcel Dapa Loka, Monica Pora dan Felicitas
pernah dan masih menjadi guru. Dengan demikian, dari keluarga Guru Alo, empat
belas orang menjadi guru. Semoga dunia semakin melihat terang. (tD)