Keterangan foto: Umat Katolik dan pastor saat perayaan ekaristi peringatan satu tahun badai seroja di Kabupaten Lembata. Foto: Teddi Lagamaking. |
Malam itu, banyak umat
Katolik larut dalam misa perayaan paskah saat badai seroja menghantam pulau
Lomblen, Kabupaten Lembata.
Air bah yang datang
dari ketinggian puncak gunung itu menerjang pemukiman warga. Air mengalir
membawa lumpur dan bebatuan besar dari lereng gunung. Rumah-rumah hanyut
bersama para penghuninya.
Pagi harinya, 4 April
2021, tampak akses jalan terputus, tiang-tiang listrik berserakan tak
beraturan. Warga yang selamat mulai mencari keluarga mereka yang terpencar
melarikan diri ke tempat aman.
Di tepi pantai, di
balik puing-puing bangunan, satu per satu tubuh tak bernyawa ditemukan.
Desa Waowala, Tanjung
Batu, Amakaka, Lamawara, Waimatan dan Lamawolo di Kecamatan Ile Ape dan
Waimatan serta Lamawolo di Ile Ape Timur sudah luluh lantak. Yang ada hanya
duka dan air mata karena kehilangan orang-orang tercinta dan tempat tinggal.
Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lembata mencatat sebanyak 68 orang meninggal
dunia, 46 jenazah ditemukan dan 22 jenazah dinyatakan hilang sampai hari ini
akibat badai seroja.
Kenangan tragedi
mencekam ini masih segar dalam ingatan saat warga memperingati satu tahun
bencana yang kemudian dikenal dengan badai seroja itu.
Warga di desa-desa
terdampak di Ile Ape dan Ile Ape Timur menggelar misa, menabur bunga dan
menyalakan lilin di tempat-tempat bencana pada 4 April 2022.
Suasana duka begitu
terasa di tempat-tempat warga menabur bunga dan menyalakan lilin. Masih ada
warga yang meratapi kepergian keluarga mereka.
Ketua Dewan Stasi
Lewotolok Antonius Arakian, mengatakan peringatan satu tahun digelar di
beberapa desa secara terpisah dengan perayaan ekaristi dan doa bersama yang
dipimpin Romo Deken Sinyo da Gomes di gereja.
Setelah itu umat
diarahkan untuk menabur bunga dan menyalakan lilin di lokasi-lokasi bencana.
Banyak keluarga dari kota Lewoleba juga datang untuk mengikuti doa bersama dan
penaburan bunga.
Dia memastikan bencana
ini akan diperingati setiap tahun. Bahkan, umat juga sudah berencana untuk
mendirikan satu monumen peringatan akan bencana banjir dan longsor yang
menerjang kampung mereka.
"Rencana kami,
tempat itu kami gunakan sebagai monumen peringatan setiap tahun," katanya.
Di desa Waimatan, Romo
Kristo Soge memimpin perayaan ekaristi peringatan bencana yang digelar di pusat
kampung.
Warga desa Waimatan
yang saat ini masih berada di pengungsian juga datang, berdoa, menabur bunga
dan menyalakan lilin di lokasi bencana.
Patris Pereto, warga
setempat, menuturkan ulang bencana yang menerjang kampung halamannya itu. Dia
termasuk salah satu orang yang menyaksikan dan mengikuti semua proses evakuasi
korban di desa Waimatan. Oleh sebab itu, dia memilih tetap tinggal di kampung
itu pasca bencana hingga pencarian berakhir.
Longsor yang menerjang
sebagian pemukiman di Waimatan itu memakan 26 korban jiwa, dan sampai sekarang
ada 8 orang yang dinyatakan hilang.
"Kita pasrahkan
semuanya," kata Patris.
Warga desa Waimatan
juga sudah membahas rencana untuk membangun tugu peringatan bencana pada 4
April 2021 yang lalu.
Romo Kristo Soge,
berpesan kepada para umatnya untuk bangkit dan tidak perlu lama tenggelam dalam
kedukaan. Menurut dia, orang Waimatan tidak mungkin sendiri melewati semua ini.
"Dengan peristiwa
ini, kita semua ada bersama. Dalam kehidupan ke depan kita bangun kerja sama
yang baik," ujarnya.
Kepala desa Waimatan
Onesimus Sili Betekeneng mengucapkan terima kasih berlimpah kepada semua pihak
yang terlibat sejak proses evakuasi korban hingga penanganan bencana
setelahnya.
Camat Ile Ape Timur
Niko Watun bersama sejumlah stafnya juga hadir dalam acara peringatan bencana
di Waimatan.
Masih Tinggal di Pondok
Para penyintas yang
kehilangan rumah masih tinggal di pondok-pondok di kebun mereka, selain di
rumah keluarga.
Mereka masih menunggu
rumah baru yang dibangun pemerintah pusat di tiga lahan relokasi yakni Podu,
Waisesa dan Tanah Merah.
Pemerintah pusat
mendirikan 700 unit rumah di Kabupaten Lembata untuk para penyintas.
Rinciannya, di Waisesa sebanyak 173 unit, 233 unit di Podu dan 294 unit di
Tanah Merah. Semua lahan relokasi masih ada di wilayah Kecamatan Ile Ape.
Pemerintah juga
mendirikan 300 unit rumah di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Proyek di
Lembata dan Adonara tersebut dikerjakan oleh PT Adhi Karya.
Project Construction
Manager (PCM) M Yoling mengatakan secara umum progres pengerjaan rumah relokasi
di Lembata sudah 94 persen.
Dirinya juga sudah
berkoordinasi dengan kepala desa supaya warga yang tinggal di pondok pindah ke
kompleks perumahan Waisesa. Oleh sebab itu, sejak seminggu yang lalu, warga
sudah mulai membersihkan rumah baru mereka untuk ditempati.
Menurut dia, manajemen
PT Adhi Karya memberikan perhatian yang besar kepada pengerjaan rumah relokasi
di Lembata dan Flores Timur.
Tiga komisaris PT Adhi
Karya juga sudah berkunjung ke Lembata. Itu menunjukkan bentuk keseriusan
manajemen perusahaan untuk menyelesaikan proyek relokasi perumahan tersebut.
Pihaknya berupaya
supaya penyintas tidak terlalu lama tinggal di tempat pengungsian.
"Lebih cepat lebih
bagus, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya," kata
dia.
Menurut Yoling, setelah
warga menempati rumah baru mereka, manajemen perusahaan masih punya tanggung
jawab perawatan selama enam bulan.
Dia menyebutkan
pembangunan rumah relokasi dikerjakan secara padat karya baik material dan
sumber daya manusia. Sebanyak 80 persen pekerja di Waisesa merupakan tenaga
lokal.
M Yoling mengakui
pembangunan sempat terhambat pandemi COVID-19 dan kebijakan lockdown akibat
pandemi tahun lalu. Dampaknya saat itu, mobilisasi pekerja dan material dari
Pulau Jawa terhambat.
Koordinator Logistik
Caritas Keuskupan Larantuka Romo Kristo Soge menyebutkan Caritas sebagai
lembaga kemanusiaan gereja Katolik juga sedang mendirikan 125 unit rumah untuk
warga dari desa Lamagute.
Meski tidak terdampak
langsung, pemerintah telah berencana untuk merelokasi desa Lamagute. Sebab itu,
gereja membantu pemerintah untuk menyiapkan perumahan bagi warga Lamagute.
"Caritas itu
lembaga kemanusiaan gereja, wujud nyata gereja membantu masyarakat dari
sumbangan umat Katolik seluruh Indonesia. Caritas itu milik kita maka ketika
ada bencana caritas hadir bersama kita," pesannya.
Ketua Dewan Stasi
Lamawolo, Yohanes Bunga juga menyebutkan bahwa warga Lamawolo pun sudah diberi
tahu supaya datang ke Tanah Merah untuk membersihkan rumah baru mereka. Kunci
rumah juga akan diserahkan kepada mereka.
"Kita harus
bangkit meski bencana setahun lalu masih segar dalam ingatan," ujar
Yohanes, tersenyum.
***
Artikel ini telah dipublikasikan di media online kumparan.com, Kontributor: TeddiLagamaking.
Source: kumparan.com/florespedia