Banyak orang angkat topi kepadanya. Pastor Paulus Nasib Suroto melangkah penuh wibawah ketika namanya dipanggil menerima penghargaan sebagai murid berprestasi di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah. Paulus, demikian rekan-rekan tentara memanggilnya, lulus sebagai siswa berprestasi. Ia menggondol juara tiga lulusan terbaik TNI Angkata Udara (AU) dari 66 perwira muda.
Setelah digembleng
selama lima bulan, kini Pastor Paulus, selain sebagai seorang imam, ia juga
tentara aktif berpangkat letnan dua. Ia baru saja dilantik bersama 269 perwira
lulusan pendidikan pertama prajurit karier (Dikmapa PK) TNI angkatan XXV/2018.
Ia dilantik oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Selasa, 15/5.
“Saya harus menunjukkan
yang terbaik sebab di pundak saya ada dua institusi. Sebagai pastor saya adalah
Wakil Gereja Katolik dan sebagai perwira AU karena membawa nama baik institusi
militer,” ujarnya saat ditemui di Dusun Tundan Desa Purwomartani, Kecamatan
Kalasan, Sleman, DI-Yogyakarta.
Bincang santai bersama Romo Nasib Suroto, Imam Katolik sekaligus Tentara |
Perwira Bakso
Perjalanan hidup bungsu
enam bersaudara anak pasangan Matius Karjiyo dan Maria Kasminah ini sebenarnya
biasa-biasa saja. Dalam keluarga, Paulus tidak terlalu menonjol apalagi soal
disiplin. Ia menjalani hidup layaknya anak muda. Tidak pernah terlintas di
benaknya, ia akan menjadi perwira TNI AU. Keinginan menjadi imam lebih besar,
dari pada keinginannya menjadi perwira militer. Ia lebih ingin menjadi perwira
Kristus yang bekerja di ladang penggembalaan Allah.
Menjalani hidup di
seminari pun Paulus kerap disapa “tukang bakso” oleh para frater. Sebelum
menjadi seminaris, Paulus pernah berdagang bakso di Bandar Lampung. “Sebelum
masuk seminari, hampir selama 4,5 tahun saya jadi tukang bakso dan pernah
jualan sembako,” ungkapnya.
Imam Diosesan Malang
ini, sejak usia SMP sudah hidup terpisah dari kedua orangtuanya. Saat harus
melanjutkan pendidikan menengah, Paulus masuk SMP Katolik Mgr Soegijapranata,
Tanggul-Jember atas bantuan Sr Cecilia SPM. Setelahnya, ia melanjutkan
pendidikan ke SMA Satya Cendika, Jember.
Kebiasaan hidup mandiri
itulah yang menjadi alasan Paulus memantapkan hatinya menjadi pastor. Masa SMP
dan SMA di tempat yang jauh dari orang tua dengan sendirinya menlatih Paulus
menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. “Kepada kakak saya yang menjadi
biarawati, yaitu Sr Chirstina SPM (Alm), saya pernah janji kelak akan masuk
seminari untuk jadi pastor,” ingatnya.
Paulus sebenarnya punya
cita-cita ingin kuliah. Ia pun mendaftarkan dirinya di Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Namun, impian itu harus urung, ia sadar biaya kuliah mahal
sehingga pasti sulit bagi orangtuanya. “Saya hanya sempat mendaftar saja, lupa
jurusan apa karena kemudian saya pulang ke Lampung.”
Bakso Wonogiri
Sekembalinya ke
Lampung, Paulus enggan tinggal di kampung halaman. Ia ingin kerja untuk
meringankan beban orangtuanya yang hanya sebagai penjualan tape singkong. Kerja
apa saja dijalani, demikian tekad Paulus.
Paulus lalu diterima
bekerja di sebuah warung bakso di Bandar Lampung. Pedagang bakso asal Wonogiri,
Jawa Tengah itu memperkerjakan Paulus sebagai pencuci mangkuk. Setiap pagi, ia
juga bertugas membeli daging dan keperluan pembuatan bakso lain.
Saat di Bandar Lampung
ini, Paulus jarang pulang ke rumah orang tuanya meski jarak antara tempat
jualan bakso dengan rumah hanya sekitar 30 kilometer, atau bisa ditempuh dalam
waktu setengah jam. “Anak-anak muda di kampung suka mabuk-mabukan, amburadul.
Kalau saya pulang, saya khawatir hanya ‘dipajekin’ (dipalak-Red) temen untuk
beli miras,” ucapnya.
Seiring waktu, Paulus
pun menjadi tangan kanan majikannya. Sang bos percaya penuh kepadanya. Ia
mendapat kebebasan untuk mengembangkan usaha sesuai keinginannya. Dari hasil
bakso ini, ia bisa membantu meringankan beban orang tua. “Saya bangga karena
bisa membantu orang tua membeli pupuk dan membayar tagihan listrik rumah.”
Bertahun-tahun
menjalani profesi sebagai tukang bakso, tetapi Paulus merasa tidak puas dengan
apa yang didapatkannya. Pada titik ini, Paulus merasa terusik batinnya. Ia
merasa diingatkan lagi dengan janjinya kepada sang kakak. “Suster Cecil yang
berkarya di Jember selalu mendoakan saya. Beliau pernah pesan, ke mana pun saya
pergi, jadi apa pun, berhasil seperti apa pun, harus ingat janji dulu untuk
masuk seminari.”
Selama sebulan, Paulus
merenung. Ia mencoba tawar-menawar pada Yesus. “Kalau ini jalanku, ya direwangi
(dibantu),” bisiknya suatu saat pada Tuhan.
Lewat usaha yang sulit,
ia berhasil menghubungi Pastor Eko Aldilanto OCarm. Ia juga mengontak Pastor
Fadjar Tedjo yang adalah imam Diosesan di Malang. Tanpa canggung, Paulus
menceritakan keinginannya menjadi imam diosesan.
Saat itu, Paulus sudah
jatuh cinta dengan Keuskupan Malang karena kultur masyarakatnya sudah dipahami.
Dengan bantuan Pastor Fadjar, Paulus masuk Postulat Stella Maris Malang. Dari
sini, Paulus meniti hidup sebagai calon imam. Lantas, Paulus melanjutkan tahap
formatio karena mendapat panggilan “terlambat”. Dengan bimbingan Pastor Joseph
Krisanto di Tahun Orientasi Rohani. Ia lalu diterima di Seminari Tinggi
Interdiosesan San Giovanni, Malang. Pada 25 Agustus 2016, ia ditahbiskan
menjadi imam dan langsung mendapat tugas di Paroki Maria Bunda Karmel,
Probolinggo.
Baru tiga bulan menjadi
imam projo, Pastor Paulus tiba-tiba membaca sebuah pengumuman dari Uskup Malang
Mgr Henricus Pidyarto Gunawan OCarm. Sang uskup menawarkan, kalau-kalau ada
imam yang terpanggil untuk berkarya sebagai anggota TNI. Sebulan kemudian, ia
tergelitik untuk mencoba mendaftar.
Pada Februari 2017,
Pastor Paulus memberanikan diri menghadap Mgr Pidyarto. Ia mengutarakan, kalau
sekiranya diizinkan, ia akan mendaftar menjadi imam sekaligus berkarya sebagai
perwira TNI. Mendengar langsung niat ini, Mgr Pidyarto menanggapi serius. “Saya
senang kalau romo mau dan sanggup menekuni. Romo saya persembahkan untuk
negara,” kata Pastor Paulus menirukan pesan sang uskup.
Dari situ, pastor hitam
manis ini lantas mendaftar di Lanud Abdul Rachman Saleh Malang. Awalnya ia
pesimis karena tinggi badannya kurang. Saat diukur di tempat pendaftaran
ternyata tingginya hanya 160 cm, diukur lagi naik jadi 161 cm, dan diukur
ketiga kali cuma 162 cm. “Padahal kalau diukur di luar tempat tes, tinggi badan
saya pas memenuhi syarat minimal yang ditentukan, 163 cm,” terang pastor yang
hobi pelihara burung itu.
Pastor Paulus, saat ini
sebagai perwira rohani Katolik dan Pastor Militer organik kedua di Indonesia,
setelah Pastor Letkol (Sus) Yos Bintoro. Ia akan menjalani tugas untuk
mengikuti kursus intensif Bahasa Inggris di AAU, mulai 22 Mei 2018. Selanjutnya
menyiapkan kursus kecabangan administrasi dan dinas khusus di Skadron
Pendidikan 504 Halim Perdanakusuma, mulai Agustus nanti. Baru kemudian akan
ditempatkan sebagai Kepala Urusan Rohani Katolik, sekaligus merintis sebagai
dosen AAU mulai Februari 2019.
Letda
Paulus Nasib Suroto
Nama : Paulus Nasib Suroto
TTL : Margalestari, 15 September 1985
Alamat : Jl. Bendungan Sigura-gura Barat 2, Malang
Riwayan
Pendidikan:
• 1991 – 1997 : SDN 3 Margadadi, Lampung Selatan
• 1997 – 2000 : SLTP K Soegijopranata, Tanggul – Jember
• 2000 – 2003 : SLTA Satya Cendika, Jember, Jawa Timur
• 2007 – 2008 : Pendidikan Calon Imam dan Bruder, Postulat Stella Maris, Malang
• 2008 – 2009 : Tahun Rohani (TOR), San Giovanni XXIII, Malang
• 2009 – 2013 : Sarjana Strata Satu, Jurusan Filsafat Teologi, Widya Sasana,
Malang
• 2014 – 2016 : Pasca Sarjana, Jurusan Filsafat Teologi, Widya Sasana, Malang
Riwayat
Pekerjaan:
• 2003 – 2006 : Pernah bekerja di Bandar Lampung
• 2016 – Sekarang : Pastor Rekan Paroki Maria Bunda Karmel Malang
***
H.Bambang
S
Source: hidupkatolik.com