Kisah Para Rasul mencatat bahwa Yudas Iskariot mati secara tragis, perutnya terbelah dan isinya tertumpah keluar di tanah yang dibeli dari upah kejahatannya. (Foto: Ilustrasi) |
Yudas sosok terkenal
karena Injil mencatat kisah pengkhianatannya terhadap Yesus gurunya. Dalam
daftar nama para murid Yesus versi Sinoptik, pada nama Yudas ditambahkan
keterangan ‘pengkhianat’ (Mrk 3:19; Mat 10: 4; Luk 6: 13-16). Penginjil Markus
dan Matius dengan jelas menyebut Yudas sebagai orang yang ‘menyerahkan’ Yesus
kepada para imam dan ahli-ahli taurat (Mrk 14: 43-45; Mat. 26: 47-49).
Yesus sendiri
mengatakan: “Lebih baik kalau orang itu tidak pernah lahir” (Mrk 14: 21).
Teks-teks tersebut menjadi dasar pendangan tradisional dalam Gereja bahwa Yudas
adalah pelaku dosa besar: Ia mengkhianati Tuhan. Ia satu-satunya orang yang
pasti masuk neraka. Dalam artikel ini, pandangan tradisional ini perlu
dievaluasi. Tetapi sebelumnya akan dipaparkan dulu narasi biblisnya.
Markus, Injil
tertua ini menunjukkan bahwa pengkhianatan oleh Yudas sudah diramalkan oleh
Yesus pada saat perjamuan terakhir (Mrk 14:17), jadi Yudas juga ikut dalam
Perjamu Akhir bersama Yesus. Pengkhianat bukanlah orang di luar kelompok Yesus,
tetapi justru satu dari mereka yang paling dekat dengan Yesus dan ikut ambil
bagian dalam perjamuan terakhir. Mendengar kata-kata Yesus itu para murid
merasa sedih. Tampaknya, kata-kata Yesus ini menggemakan apa yang diungkapkan
pemazmur: “Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah
mengangkat tumitnya terhadap aku” (Mzm 41:9).
Yesus sendiri
menyatakan bahwa pengkhianatan ini akan mendatangkan celaka bagi si pelaku:
“Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia,
akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah
lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mrk 14:21). Perkataan
Yesus ini dapat dimaknai sebagai peringatan bagi si pengkhianat (Garland, A Theology of Mark’s Gospel, 166).
Perlu diperhatikan
bahwa dalam ayat tersebut Yesus tidak menyebut secara eksplist nama Yudas
sebagai pengkhianat. Yesus juga tidak mengutuk Yudas. Ia malah menegaskan bahwa
pengkhianatan Yudas termasuk rencana Allah. Tetapi tindakan Yudas jelas dicela.
Tidak dikatakan apakah dia juga ikut mengajukan pertanyaan “Bukan aku, ya
Tuhan?” (ay 19). Tidak dikatakan pula bahwa Yudas meninggalkan perjamuan
sebelum waktunya (Yoh 13: 26-30). Penginjil Markus hendak menegaskan bahwa
perjamuan Paskah seolah-olah dinodai hadirnya Yudas pengkhianat Yesus (Bdk.
Stefan Leks, Tafsir Injil Markus,
438).
Di taman Getsemani
Yudas menyerahkan Yesus kepada otoritas Yahudi dengan sebuah tanda, yaitu
ciuman (Mrk 14:44-45). Karena rombongan yang dipimpin Yudas tidak mengenal
Yesus, maka sebelum beraksi, Yudas memberi sebuah tanda. Ia memilih tanda yang
‘manis’ sekaligus ‘mematikan’. Setiap murid seorang guru Yahudi biasa menyapa
pemimpinnya lalu mengecup pipinya. Yudas juga menyapa Yesus dengan
sebutan Rabi. Sapaan hormat ini tercemar oleh motivasi jahat, maka ciuman
itu masuk dalam sejarah sebagai lambang pengkhinatan. Yudas tampaknya berotak
cemerlang sekaligus busuk (Bdk. Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, 455).
Penginjil Matius mengikuti
kisah Yudas dalam Injil Markus. Hanya saja dalam Injil Matius dinyatakan jumlah
yang pasti uang yang dibayarkan oleh imam-imam kepala kepada Yudas, yaitu tiga
puluh uang perak. Jumlah ini merupakan harga seorang budak (Kel 21:32) atau
upah yang diterima seorang penggembala (Zak 11:13). Agak berbeda dengan Markus,
Matius menceritakan bagaimana Yudas kemudian menyesal dan mengakui dosanya,
mengembalikan uangnya ke Bait Allah, dan akhirnya menggantung diri (Mat 27:
3-10).
Bagi Matius, Yesus tidak hanya mengetahui bahwa Ia akan diserahkan, tetapi juga siapa yang menyerahkan Dia (Bdk. Cathercole, The Gospel of Judas, 3-31): “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan. Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: ‘Bukan aku, ya Rabi?’ Kata Yesus kepadanya: ‘Engkau telah mengatakannya’ ” (Mat 26: 21-25).
Jawaban Yesus Engkau
telah mengatakannya bernada afirmatif, artinya pertanyaan Yudas kepada
Yesus, Bukan aku, ya Rabi?, justru mengekspresikan tujuan tindakannya.
Dialog singat antara Yesus dan Yudas versi Matius ini memberi indikasi bahwa
Yudas bukan tidak sadar akan niat jahatnya. Seperti Markus, Matius tidak
mengatakan bahwa Yudas meninggalkan perjamuan (Yoh 13: 30). Kiranya Yudas
meninggalkan kelompok para murid setelah mencium dan menyerahkan Yesus di taman
(Bdk. R. T. France, The Gospel of
Matthew, 990-991).
Tindakan pengkhianatan
Yudas menjadi semakin jelas di taman, ketika ia memberi salam dan mencium
Yesus: “Orang yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada
mereka: “Orang yang akan kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia. Dan segera ia maju
mendapatkan Yesus dan berkata: ‘Salam Rabi’, lalu mencium Dia. Tetapi Yesus
berkata kepadanya: “Hai teman, untuk itukah engkau datang?” (Mat. 26: 48-50).
Kata-kata Yesus ‘Hai
teman, untuk itukah engkau datang?’ menimbulkan penafsiran yang kabur bahkan
berbeda: bisa interogatif, namun bisa imperatif. Ada yang menafsirkan bahwa
kata-kata Yesus itu justru sebuah perintah: ‘Friend, do what you have come
for!’/ ‘do what you have come to do (Bdk. France, The Gospel of Matthew,
1012). Jadi secara ekstrim, ada yang melihat Yudas sungguh sebagai pengkhianat,
tetapi sebaliknya yang lain melihatnya sebagai murid dan sahabat yang dekat
dengan Yesus (Robinson, The Secred
of Judas, 42).
Lukas. Teks
penting ialah Luk 22:3-6: “Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama
Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu. Lalu pergilah Yudas kepada
imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan
mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka. Mereka sangat
gembira dan bermufakat untuk memberikan sejumlah uang kepadanya. Ia
menyetujuinya, dan mulai dari waktu itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan
Yesus kepada mereka tanpa setahu orang banyak”.
Teks ini menampilkan
tindakan aktif dan sadar dari Yudas: Ia pergi kepada imam-imam, berunding
bersama mereka, menyetujui permufakatan menangkap Yesus, mencari kesempatan
yang baik. Semua itu ia lakukan tanpa diketahui banyak orang, tentu karena ia
sadar itu bukan sebuah perbuatan baik. Apa yang terjadi ini sebenarnya
pemenuhan perkataan Iblis sebelumnya ketika Ia gagal mencobai Yesus di padang
gurun. “Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya
dan menunggu waktu yang baik” (Luk 4:13). Inilah waktu yang baik itu. Iblis
memakai Yudas untuk mengalahkan Yesus sekali lagi.
Yesus tahu bahwa Iblis
berada di balik pengkhianatan ini. Lantas Dia menyatakan bahwa mereka yang
terlibat dalam penangkapan-Nya, para pemimpin Yahudi dan Yudas berada di bawah
kuasa kegelapan (Luk 22:53). Berada di bawah kuasa kegelapan berarti hidup
dalam kejahatan, dikendalikan oleh hasrat dosa.
Kisah Para Rasul mencatat
bahwa Yudas mati secara tragis, perutnya terbelah dan isinya tertumpah keluar
di tanah yang dibeli dari upah kejahatannya (Kis 1: 18). Jadi perihal akhir
hidup Yudas terdapat dua versi. Mana yang tepat: Yudas mati karena menggantung
diri (Matius) atau dengan perut terbelah (KPR)? Pertanyaan ini kiranya kurang
penting. Sebab Teks Kisah para Rasul menonjolkan pergantian peran Yudas dalam
komunitas pelayanan: Dahulu ia salah satu ‘yang mengambil bagian dalam
pelayanan’ tetapi kemudian ‘menjadi pemimpin orang-orang yang menangkap Yesus’.
Karena itu harus ada orang lain yang menggantikannya (Bdk. Fitzmyer, The
Acts of the Apostles, 219-220). Akhir kisah kemuridan Yudas ialah putus asa,
bukan niat untuk bertobat.
Teks tersebut
menunjukkan bagaimana komunitas para Rasul dipertahankan oleh Tuhan sendiri
melalui doa dan persekutuan jemaat. Sikap Yudas mewakili kecenderungan manusia
menyalahgunakan kepercayaan dari Tuhan dengan memilih jalannya sendiri (bdk 1:
25). Namun sikap manusia itu tidak membatalkan rencana Tuhan untuk terus
memelihara jemaat-Nya (Bdk. Fitzmyer, The
Acts of the Apostles, 221).
Dalam Injil Yohanes, Yesus menegaskan bahwa Ia sendirilah yang memilih dua belas murid, namun salah satu di antaranya adalah Iblis: “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih kamu yang dua belas ini? Namun seorang di antaramu adalah Iblis” (6: 70). Penginjil memberi keterangan bahwa Iblis yang dimaksud Yesus ialah Yudas, anak Simon Iskariot; sebab dialah yang akan menyerahkan Yesus, dia seorang di antara kedua belas murid itu” (ay 71).
Kata-kata Yesus
tersebut memberi kesan bahwa pengkhianatan Yudas itu tidak terhindarkan. Apakah
dengan demikian Yudas tidak bebas. Pakar Injil Yohanes, Raymond Brown menolak
kesimpulan seperti itu. Baginya, “Judas’ betrayal has an air of inevitability;
this is no a denial of free will but reflects the inevetability of the plan of
salvation” (The Gospel According to John,
229).
Reputasi buruk Yudas
memang telah terlihat dari sikapnya sebagai bendahara yang tidak jujur. Ia
disebut pencuri karena sering mengambil uang yang disimpan dalam kas kelompok
(Yoh 12:6). Yudas lebih tertarik pada uang, bukan prihatian pada orang misikin.
Mirip dengan Lukas,
Yohanes menampilkan Yudas yang diperalat Iblis. Julukan ‘iblis’ yang dalam
tradisi Sinoptik ditujukan kepada Petrus (Mrk 8: 33; Mat 16: 23) di sini
dialihkan ke Yudas. Yudas adalah iblis, karena ia ‘kerasukan iblis’ dan ‘iblis
membisikkan rencana ke dalam hatinya’ (Yoh 13: 3, 27). Dalam bab 13, secara
ironi Yohanes menunjuk Yudas sebagai murid ‘yang menyerahakan Dia’ (11),
‘seorang yang sangat dekat dengan Yesus – makan roti-Ku’ (18), ‘seorang di
antara kamu’ (21), ‘yang kepadanya Aku akan memberikan roti’ (26) [bdk. M.
Harun, Yohanes Injil Cinta Kasih, 142, 204). Dalam tradisi Yahudi, orang
yang diundang untuk makan sehidangan adalah orang dekat, sahabat atau tamu
terhormat. Penginjil menampilkan semacam kontradiksi dalam diri Yudas: Ia
diperlakukan oleh Yesus seperti sahabat dekat, namun Ia menyalahgunakan
kebaikan itu.
Dalam Injil Yohanes,
pengkhianatan Yudas yang terjadi pada waktu malam (13:30) mengandung kiasan
bahwa Yudas sebenarnya sedang di bawah kuasa kegelapan, yaitu Iblis sendiri.
Yudas berasal dari kegelapan dan gagal untuk tinggal dalam terang. Dia
bergabung dengan para pemimpin Yahudi yang lebih memilih kegelapan (Yoh
9:39-41). Yesus adalah terang yang datang ke dunia yang tidak bisa dikuasai
oleh kegelapan (Yoh 1:5). Yudas adalah wajah dari mereka yang menolak untuk
percaya pada Yesus (Yoh 12:45; 14:9). Lebih dari seorang pengkhianat, Yudas
adalah gambaran mereka yang tidak percaya.
Selain teks-teks yang
telah ditunjukkan di atas, menarik untuk dicatat bahwa kesaksain tertua tentang
kebangkitan Yesus terkesan sebagai tradisi yang tidak mengenal narasi
pengkhianatan dari Yudas (Lindemann, “The Resurrection of Jesus”, 558-561).
Rasul Paulus memberi kesaksian bahwa Yesus yang telah bangkit menampakkan diri
“kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya” (bdk. 1 Kor 15: 3-5).
Sosok dan kisah Yudas
dalam Injil memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Jika memang kehendak Allah untuk
menyelamatkan banyak orang, apakah kehadiran Yudas merupakan bagian dari
skenario yang direncanakan Allah? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan
sulit, sesulit pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa Allah membunuh anak-anak
sulung Mesir, mengapa Allah menyuruh Abraham mengurbankan anaknya Ishak, dan seterusnya.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut (dan masih banyak lagi) kiranya
hanya dapat ditemukan pada logika Allah. Kesaksian Injil yang paling utama
ialah bahwa kasih Allah tidak terbatas.
Apakah Yudas menyesali
perbuatannya? Penginjil Matius mengisahkan dengan jelas bahwa Yudas memang
kemudian menyesal dan mengakui perbuatanannya sebagai dosa. Ia mengembalikan
uang yang diberikan kepadanya, dan akhirnya menggantung diri. “Pada waktu
Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati,
menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada
imam-imam kepala dan tua-tua, dan berkata: ‘Aku telah berdosa karena
menyerahkan darah orang yang tak bersalah’ (bdk. Mat 27: 3-5).
Menarik bahwa Yudas
sendiri mengakui di hadapan publik bahwa tindakannya adalah dosa. Ia tidak
menuduh orang lain, tidak membela diri. Ia sadar bahwa orang yang ia jual itu
tidak bersalah. Menggantungkan diri merupakan ungkapan penyeselan yang mendalam
(Steve Brown, Jesus Drank, Judas Repented, 58), meskipun itu bukan
tindakan yang baik secara moral maupun spiritual. Sedangakan tindakan
mengembalikan uang mengingatkan kita akan bentuk penyesalan Zakheus pemungut
cukai.
Terkait akhir kisah
keuridan Yudas, menarik untuk diperhatikan bahwa murid sekaliber Petrus pun
telah menyangkal Yesus sampai tiga kali: layak disebut pengkhinat juga. Namun
itu bukan akhir dari ziarah kemuridannya: setelah tahu kesalahannya, ia
berusaha bangun kembali untuk menjadi murid Yesus, berlari ke kubur Yesus, dan
kemudian menjadi Rasul yang hebat yang memberi kesaksian tantang Kristus.
Apakah Yudas bertindak
bebas? Jelas bahwa Yudas merancang tindakannya. Tampaknya ia tidak menduga
bahwa pengkhianatannya berujung pada kematian Yesus. Seperti mentalitas para
murid pada umumnya, sangat mungkin ia mengharapkan bahwa Yesus bangkit melawan
musuh-musuh-Nya. Ternyata harapan Yudas itu tidak terjadi pada Yesus. Yang
menarik Yudas bukan hanya uang, tetapi juga kekuasaan. Sekiranya Yesus bangkit
sebagai mesias politik, Yudas akan mendapat bagian kekuasaan pula. Tetapi tentu
tidak fair orang menuduh Yudas seorang diri. Ia hidup dalam mentalitas sosial
tertentu, dan berada dalam pengaruh para imam yang bersekongkol membunuh Yesus.
Dosa pribadi sering kali terjadi atau sulit dihindari karena pengaruh situasi
sosial.
Dalam Teologi berlaku
pandangan bahwa prinsip yang niscaya tidak bergantung pada prinsip yang
terbatas. Keselamatan Allah adalah niscaya, sebaliknya tindakan Yudas bersifat
terbatas (ia tidak harus bertindak jahat). Artinya tindakan Yudas bukan
prasyarat bagi tindakan Allah. Sebab, Allah mewujudkan keselamatan semata-mata
karena kasih-Nya yang bebas. Seandainya Yudas tidak berkhianat (dan dahulu Adam
tidak berdosa) pun, Allah tetap mewujudkan karya keselamatan seturut cara-Nya
sendiri – cara yang tentu melampaui logika manusia. Pandangan seperti ini,
dikemukakan oleh teolog Fransiskan Abad Pertengahan Yohanes Duns Scotus.
Dengan kata lain:
“Tanpa Yudas pun, pimpinan bangsa Yahudi yang mau membunuh Yesus tentu dapat
menangkap Yesus. […] Tanpa Yudas pun mereka akan menemukan-Nya. Peran Yudas
terbatas pada menunjukkan tempat Yesus di malam hari. Oleh karena itu, peran
Yudas bukan peran kunci”. (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia,
107).
Pemahaman akan peran
Yudas ini membantu kita memahami bagaimana cara Allah sendiri bertindak bagi
kita. Keselamatan dari Allah yang terwujud dalam diri Yesus, juga dalam
peristiwa salib, tidak bergantung pada disposisi manusia: “Tentu Yesus, ya
Allah, dapat menebus kita, mengampuni dosa-dosa kita dan membuka keselamatan
bagi kita dengan cara yang lain daripada dengan mati di salib. Bahkan, tanpa
kematian Yesus, Allah dapat mengampuni segala dosa kita […]. Sama sekali tidak
masuk akal bahwa tanpa pengkhianatan Yudas, Allah tidak dapat menebus manusia”
(Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 107).
Apakah Yudas diampuni
Yesus (diselamatkan)? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Namun doa Yesus, “Ya
Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk
23:34), kiranya berlaku pula bagi seorang Yudas. Dan pertanyaan serupa dapat
diajukan juga kepada kita sekarang: Adakah sesuatu yang Yesus berikan kepada
kita, yang setara atau bahkan lebih besar dari yang Ia berikan kepada Yudas?
Steve Brown menjawab dengan lugas: “I can think of none, other than my own sin”
(Jesus Drank, Judas Repented,
47).
Dengan pertanyaan lain,
apakah Yudas pasti masuk neraka? Dalam pandangan tradisional, berdasarkan
teks-teks Perjanjian Baru tentang pengkhianatan Yudas, diyakini bahwa Yudas
adalah orang yang pasti masuk neraka. Lagi pula, setelah mengetahui
kesalahannya, bukannya bertobat, ia malah membunuh diri. “Yudas memang seorang
penjahat, seorang pendosa berat. Tetapi itu tidak berarti bahwa Yesus tidak
mencintainya dan tidak menyelamatkannya. Di situ ada satu hal yang perlu kita
ingat: Kita pun pendosa. Barangkali tidak sedramatik Yudas […]. Tetapi Yesus
amat keras memperingatkan kit agar jangan menganggap diri lebih baik daripada
orang lain, misalnya dari Yudas” (Franz Magnis Suseno, Menggereja di Indonesia, 112-113). ***christusmedium.com