ILUSTRASI AKTIVITAS PENEBANGAN LIAR DI KAWASAN HUTAN HUJAN SUMATRA. FOTO OLEH ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES |
Matahari bersinar panas
dan menyengat saat VICE menyambangi Desa Tanjung Aman, Kecamatan Darul Hasanah,
Kabupaten Aceh Tenggara, awal Januari 2022. Pohon-pohon manggis hingga durian
yang tumbuh subur di kebun warga tak cukup menghalau terik.
“Dulu udara di sini
memang masih sejuk dan dingin, tapi sekarang sudah panas,” kata Adiansyah,
warga desa Tanjung Aman, yang selama belasan tahun menekuni karir sebagai
pelaku penebangan liar(illegal logging) di hutan Leuser. Lelaki paruh baya
itu tanpa ragu mengakui tindakannya sekian tahun lalu berdampak pada cuaca
gerah yang kini rutin dia rasakan.
“Bagaimana hutan di
kawasan ini tidak gundul,” katanya kepada VICE. “Aktivitas penebangan kayu
secara liar telah berlangsung selama bertahun-tahun dan secara sporadis di
kawasan ini.”
Pembabatan kayu tanpa
izin disinyalir menjadi salah satu penyebab deforestasi di kawasan ekosistem
Leuser—membentang dari Aceh hingga Sumatra Utara. Salah satu taman nasional di
Sumatra itu ditaksir mengalami deforestasi hingga 450.000 hektare, kini
menyisakan 1,8 juta hektare kawasan saja yang masih tertutup hutan perawan.
Kawasan Leuser yang
mengalami kerusakan terparah berada di wilayah Aceh Tenggara, pengelolaannya
terbagi atas dua resor—Pulo Gadung dan Lawe Mamas. Menurut data Global Forest
Watch, pembukaan hutan di kawasan Aceh Tenggara sepanjang kurun 2002 hingga
2020 mencapai 40.210 hektare.
Kerusakan itu juga
disinyalir jadi penyebab banjir bandang akibat luapan sungai Lawe Alas. Insiden
terparah terjadi pada 2005 dan 2017, mengakibatkan ratusan rumah rusak, memakan
korban jiwa dan merusak areal pertanian—belum termasuk banjir bandang yang
terjadi pada November 2021 dan Januari 2022.
Namun, aktivitas
penebangan liar itu, kata Adiansyah, umumnya dilakukan warga karena
keterpaksaan akibat kemiskinan yang menjerat penduduk desa sepertinya.
“Masyarakat desa
kekurangan lahan untuk bertani dan kekurangan lapangan pekerjaan. Anak-anak
juga sudah mulai sekolah dan butuh biaya, mau tidak mau, saya terpaksa
melakukan pekerjaan itu. Awalnya sebagai pengangkut kayu dari hutan,” urainya.
Seingat Adiansyah,
sekitar 60 persen petani di kawasan resor Lawe Mamas, yang sekaligus merangkap
sebagai penebang liar. Warga daerahnya, Desa Tanjung, ada yang menekuni karir
sebagai tukang senso (gergaji), tukang langsir, tukang belah, hingga pengangkut
yang fokus mengemudi truk berisi kayu jarahan. Aktivitas itu semakin marak
karena disokong sejumlah cukong kayu.
“[Penebangan liar makin
marak karena] di sini sempat berdiri pabrik pengolahan kayu,” katanya.
Kayu-kayu yang ditebang
umumnya dari pohon meranti, cengal dan damar berukuran besar, volumenya
rata-rata 10 ton. Sebagai gambaran, satu kelompok illegal logger lazimnya
sukses membabat satu pohon meranti raksasa dalam sebulan. Ketika 16 kelompok
beraksi dalam satu waktu, maka selama satu tahun saja, sudah ada 192 pohon
besar menghilang dari kawasan Leuser.
SALAH SATU WILAYAH LEUSER DI ACEH TENGGARA YANG RUSAK PARAH AKIBAT PENEBANGAN LIAR. FOTO OLEH YUDHA POHAN |
Penghasilan yang
menggiurkan membuat Adiansyah menjalani pekerjaan itu selama bertahun-tahun.
Karirnya terus merangkak naik, dari awalnya pengangkat kayu hingga menjadi
pengumpul kayu—tepatnya menampung kayu-kayu tebangan rekannya di hutan, untuk
menjualnya langsung ke cukong.
Saat beralih menjadi
pengumpul kayu, Adiansyah membeli kayu seharga Rp 7.000 per inci dari penebang,
dia bisa menjualnya ke cukong di kisaran harga Rp10.000 hingga Rp12.000,
tergantung jenis kayu. Kayu damar seingatnya yang paling dihargai mahal oleh
cukong. Dari selisih harga itu dia bisa meraup keuntungan rata-rata Rp2.000 per
inci setelah dipotong upah pekerjanya.
Dalam sebulan, dia bisa
empat kali mengantar kayu ke cukong, mendapatkan rata-rata keuntungan kotor
minimal Rp 10 juta. Adiansyah, pada masa jayanya, sempat memiliki 25 anak buah.
Penghasilan mereka cukup besar untuk ukuran kerja kasar macam ini, mencapai
rerata Rp200 ribu per hari.
Adiansyah ingat, dia
dan rekan-rekannya sanggup bertahan di hutan selama berminggu-minggu. Dia rutin
‘kucing-kucingan’ dengan petugas polisi kehutanan dan patroli Balai Besar Taman
Nasional Gunung Leuser. Caranya dengan membentuk jaringan informan di
kampung-kampung dekat hutan, demi mencari tahu kapan petugas akan melakukan
patroli. Saat keadaan sedang ‘aman’, barulah penebangan dilakukan.
“Biasanya pengangkutan
dilakukan pada malam hari, tidak pernah siang. Harus sembunyi-sembunyi, namanya
juga maling,” tukasnya.
Sepandai-pandainya
tupai meloncat, akhirnya jatuh juga. Berulang kali lolos dari petugas, pada 26
Agustus 2019 Adiansyah dan rekannya ditangkap petugas saat mengangkut kayu ke
cukong. Dia digiring ke pengadilan dan divonis 1,6 tahun penjara. Dia sempat
memperoleh remisi dan hanya menjalani hukuman bui 1 tahun 15 hari.
Hukuman penjara itu menuntun
Adiansyah ke jalur pertobatan. Dia kini berjanji melindungi tiap jengkal hutan
Leuser yang masih tersisa.
Upaya Panjang Restorasi Leuser
Industri kayu merupakan
salah satu pemicu utama deforestasi di Indonesia. Ironisnya penebangan liar
paling marak terjadi di kawasan hutan lindung dan taman nasional. Selama lima
tahun terakhir saja, Greenpeace mencatat dari total 95,6 juta hektare hutan
lindung Indonesia, sebanyak 2,13 juta hektare di antaranya mengalami
deforestasi.
Di kawasan Leuser, Aceh
Tenggara, pembukaan hutan disertai illegal logging sudah terjadi sebelum status
taman nasional disematkan pada 1980.
“Para perambah itu
umumnya adalah masyarakat di sekitar Leuser yang merambah di dalam kawasan
dengan alasan ketidaktahuan [bahwa itu kawasan taman nasional],” kata Kepala
Resor TNGL Wilayah Lawe Mamas, Sabaruddin Pinim saat dikonfirmasi VICE.
Dari 16 desa di sekitar
kawasan, kurang lebih 60-70 persen dulunya mengelola dalam kawasan Leuser untuk
lahan pertanian. Di dalam kawasan Leuser, Aceh Tenggara ini, ada blok hutan
Kute Ujung, Deleng Meruntuh, dan Rambung Telda.
“Di beberapa blok
dulunya sangat marak aktivitas illegal logging,” kata Pinim.
Upaya pemulihan hutan
telah lama dilakukan, namun upaya pemerintah belum memberikan hasil maksimal.
Pada 2015 pengelola kawasan TNGL coba mengusir para perambah tanpa izin, serta
melarang adanya perkebunan di kawasan hutan lindung. Namun, kebijakan ini
justru memicu aksi protes ribuan petani, dan mengakibatkan konflik rutin antara
masyarakat dengan petugas.
“Bahkan kantor resor
kita sempat dirusak masyarakat waktu itu, dan Polda Aceh menetapkan lima
tersangka,” kata Sabaruddin.
Pendekatan berbeda,
sebisa mungkin tanpa konflik, lantas dijajal. Pemerintah dan petugas membentuk
kelompok tani hutan konservasi (KTHK), yang belakangan diadopsi menjadi program
nasional setelah diterbitkannya Perdirjen No. 6 tahun 2018.
Pendekatan ini, menurut
Yashut, konservatoris yang sejak 2015 mendampingi masyarakat di kawasan Leuser,
Aceh Tenggara, terasa lebih humanis. “Setidaknya pendekatan dan upaya
menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan lebih memungkinkan karena mereka
diberi akses untuk mengelola kawasan, juga lebih efektif untuk menghindari
konflik dengan masyarakat,” katanya kepada VICE.
Melalui program ini,
masyarakat yang dulunya mengolah lahan secara ilegal dalam hutan lindung diberi
izin resmi, asal menjalankan program restorasi. Mereka diwajibkan menghijaukan
kembali lahan yang sempat digunduli untuk kebun, dengan pohon seperti matoa,
durian, jengkol, hingga petai. Mereka juga didorong agar berperan sebagai
penjaga kawasan hutan dari aktivitas illegal logging dan perburuan satwa.
Ada seorang anggota
KTHK, bernama Iskandar, yang dulunya pernah membabat kawasan seluas 8 hektare
di Leuser menjadi kebun kelapa sawit. Setelah dibujuk, dia merelakan semua
sawitnya ditebang dan diubah kembali menjadi hutan.
“Tanpa paksaan, Pak
Iskandar yang dulu mengelola lahan di dalam kawasan itu merelakan kelapa
sawitnya yang sudah berbuah pasir untuk ditebang, ini sangat mustahil dulu dapat
dilakukan, tapi sekarang bisa,” kata Yashut.
Pasca konflik
masyarakat dengan pihak TNGL, Yashut intens mendampingi masyarakat agar peduli
pada isu konservasi. Akhirnya pada 2021, terbentuk 13 KTHK yang diikuti 760
orang, bertugas merestorasi 1.000 hektare dari total 20.000 hektare kawasan
Leuser di Aceh Tenggara yang terlanjur rusak.
Para mantan perambah
ini pelan-pelan membuktikan bahwa mereka bisa dipercaya sebagai penjaga hutan Leuser.
Menurut Adiansyah, orang sepertinya bisa dengan mudah menerka siapa yang
berniat masuk hutan untuk menebang tanpa izin, serta memetakan siapa saja
pemain di belakang layarnya.
Akhir 2021, atas
informasi anggota KTHK, seorang polisi ditangkap atas dugaan mengongkosi
aktivitas illegal logging. Aparat itu akhirnya ditangkap dan diproses Polres
Kutacane. Di tahun yang sama, anggota kepolisian lain juga ditangkap setelah
lama dicurigai kerap meloloskan truk-truk pengangkut kayu dari hutan. Kasus
kini ditangani Polda Aceh.
KTHK saling
berkomunikasi dengan handy talkie, menyalurkan informasi lapangan ke
koordinator secepat saat mereka masih menjadi maling kayu. Metode komunikasi
itu terbukti efektif, seperti saat anggota KTHK berhasil mengusir beberapa orang
pendatang dari Gayo Lues yang mengaku ingin berburu rusa. Padahal, dari
gerak-geriknya, mereka dicurigai hendak melakukan perburuan satwa dilindungi
seperti badak, orangutan, dan harimauyang merupakan satwa kunci Leuser.
Dalam perjanjian
kerjasama dengan taman nasional, anggota KTHK kini boleh mengelola lahan di
dalam kawasan Leuser, asal tidak ditanami kelapa sawit dan karet. Mereka juga
boleh menanam tanaman palawija di samping tanaman hutan, untuk mendapatkan
nilai ekonomi jangka pendek dan rutin. Misalnya cabai, semangka, maupun tanaman
lain yang bisa dipanen dengan cepat.
Problemnya, saat ini
belum semua anggota KTHK sukses menanam palawija di lahan pemulihan karena
berbagai alasan, permodalan dan perlunya pembinaan teknik pertanian.
Badarun, ketua salah
satu KTHK—KTHK Gunung Lestari—yang ditemui di lahan pemulihan hutan di dalam
kawasan Leuser, mengatakan dia sudah lama ingin menanami semangka, cabai dan
tanaman palawija lainnya di sela-sela tanaman keras di lahan kelolanya, tapi
permodalan jadi kendala yang dihadapinya saat ini.
“Kalau menunggu hasil
tanaman keras, seperti durian, petai atau jengkol berbuah kan masih lama,
setidaknya tiga sampai lima tahun lagi,” katanya. Dia berharap bisa mendapatkan
pembinaan pengelolaan lahan dan bantuan bibit agar lahan itu juga bisa menjadi
sumber penghasilan rutin jangka pendek untuk keluarganya.
Iskandar, yang sudah
rela menebang pohon kelapa sawit di lahan yang dulu dia garap di dalam kawasan,
juga berharap segera dapat menanami palawija sembari memulihkan bekas lahan
garapannya dengan tanaman hutan.
Agar Tidak Kembali Merambah
Setelah menjalani
hukuman penjara, Adiansyah meninggalkan aktivitas ilegal sebagai perambah hutan
dan kini ikut menjadi penjaga hutan di kawasan TNGL, Resor Lawe Mamas, Aceh
Tenggara. Penjara membuatnya jera dan ingin menebus kesalahannya kembali
bertani sekaligus menjaga hutan.
Dia mendapatkan peran
memulihkan kawasan Leuser seluas 2 hektar. Di lahan yang gundul itu, dia kini
menanam durian, petai, jengkol, sembari menanam palawija seperti cabai, bawang,
dan sayuran.
“Di samping itu saya
juga menanami bibit pohon hutan, setidaknya saya menanam kembali pohon yang
dulu saya tumbang, seperti damar, cengal dan meranti,” katanya.
Sudah setahun lebih
Adiansyah beralih profesi menjadi penjaga hutan. Meski penghasilannya tak
‘seenak’ dulu semasa masih membalak, tapi kini dia merasa lebih tenang
menjalani aktivitas. Terlebih setelah dia dipercaya menjadi sekretaris Desa
Tanjung—di samping aktivitas hariannya sebagai petani hutan konservasi.
“Kalau mantan perambah
itu sudah dapat mengelola kawasan yang dulu dirambahnya dan menghasilkan nilai
ekonomi dari sana, otomatis dia tidak akan kembali merambah,” ujarnya yakin.
Keberhasilan merangkul
sebagian bekas pembalak liar bukan berarti menghapus sepenuhnya aktivitas
tesebut. Adiansyah menyebut illegal logging masih terjadi di Leuser, meski
tidak semasif dulu dan beberapa pemain kakap berhasil ditangkap petugas. Selama
kebutuhan kayu masih tinggi, terutama untuk bahan baku pembangunan rumah, maka
akan bermunculan panglong yang berusaha membayar orang membabat hutan.
“Kadang kalau [ketemu
pembalak di hutan], saya bilangin baik-baik, ‘jangan lagilah’, dan saya ajak
untuk bergabung di KTHK supaya tidak lagi menebang kayu secara liar,” katanya.
Dia berharap cara ‘halus’ itu bisa didengar. Walaupun tidak didengar,
setidaknya apa yang dia lakukan kini bisa jadi contoh—bahwa apa yang telah dia
lakukan dulu telah menjadi penyebab rusaknya ekosistem Leuser.
ISKANDAR, BEKAS PERAMBAH HUTAN LEUSER YANG MERELAKAN KEBUN SAWITNYA DIHIJAUKAN KEMBALI UNTUK KONSERVASI. FOTO OLEH YUDHA POHAN |
Adiansyah menyesali
tiap kali ingat tangannya secara langsung menyumbang perubahan iklim di
Sumatra. “Bencana banjir jadi sering terjadi, cuaca di sini belakangan ini pun
sudah mulai agak panas,” sesalnya.
Dia juga ingat betapa
ugal-ugalan kelompoknya membabat pohon yang sudah berusia puluhan hingga
ratusan tahun. Ada satu pohon meranti yang sampai kini dia ingat betul, karena
diameternya lebih dari dua orang dewasa. “Pokoknya kalau ada orang berdiri di
balik kayu itu, tak kelihatanlah. Kalau ditonkan, kurasa ada lebih 10 ton,”
katanya.
Ketika pohon itu
berhasil ditumbangkan dengan senso, dia melihat sedikitnya 20 – 30 kayu kecil
di sekitarnya ikut tumbang ditimpa kayu meranti. Kayu-kayu kecil itu tidak mereka
ambil dan dibiarkan mati begitu saja, sebab hanya jenis kayu meranti yang
diminta para cukong.
“Untuk mengambil satu
kayu [besar], 20 sampai 30 pohon di sekitarnya ikut tertimpa. Dari situ saya
berpikir, kok bodoh kali saya. Kayu yang tertimpa ini kan jadi enggak
bermanfaat, dan ujung-ujungnya hutan ini jadi gundul,” ujar Adiansyah lirih.
“Bila itu terus menerus dibiarkan terjadi, apa lagi nanti yang dapat diwariskan
untuk anak cucu kita dari hutan ini?”
***
Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center -
Southeast Asia Rainforest Journalism Fund.
Tonggo Simangunsong adalah jurnalis lepas, bermukim
di Medan