Jika Ada Perempuan Murahan, Laki-laki Murahan Juga Pasti Ada (Secarik Catatan Kesadaran Jalan Setapak)

Jika Ada Perempuan Murahan, Laki-laki Murahan Juga Pasti Ada (Secarik Catatan Kesadaran Jalan Setapak)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Perempuan begitu mudah mendapatkan label perempuan murahan ketika berbuat zina. Padahal, di luar sana, laki-laki murahan juga pasti ada.

Tidak mudah menjadi perempuan di negeri kita tercinta. Dan tak harus menjadi perempuan untuk memahami itu.

Perempuan, dengan segala hal yang melekat pada tubuhnya, selalu dieksploitasi tak hanya untuk kepentingan industri kecantikan dan kepentingan media pada umumnya, tetapi juga untuk kepentingan moral dalam standar tertentu oleh masyarakat.

Penghakiman masyarakat dan media misalnya dalam kasus prostitusi menegaskan betapa perempuan selalu dipersalahkan. Sementara itu, laki-laki tidak terlalu disorot. Iya sih, dalam beberapa kasus, laki-laki memang ikut disorot lebih dominan. Namun, hanya jika ia figur publik dan itu pun jumlahnya tak banyak. Kita bisa menghitungnya dengan jari tangan dan kaki saja. Selebihnya, perempuan menjadi sorotan dan cap “perempuan murahan” akan diberikan.

Dahulu, saya sering mendengar frasa “cewek murahan” dari teman-teman. Frasa ini merujuk kepada cewek yang belum menikah dan selalu gonta-ganti pacar. Dari bisik-bisik tetangga, obrolan di warung kopi, berita di koran atau televisi, saya juga sering mendengar “perempuan murahan”. Sebuah frasa yang semakna dengan “cewek murahan”. hanya saja, kata “perempuan” sering merujuk pada cewek yang sudah dewasa atau yang sudah menikah.



Dalam konteks ini, biasanya, “perempuan murahan” ditujukan kepada perempuan yang menjual tubuhnya. Juga perempuan yang dianggap merebut suami perempuan lain. Beberapa bulan lalu ramai sekali soal pelakor dan perempuannya mendapat stempel “perempuan murahan”.

Sementara itu, pihak laki-lakinya sepi dari tuduhan yang heboh itu. Yang disalahkan perempuannya dengan sebutan perempuan nakal atau kegatelan. Emang lakinya tidak nakal dan kegatelan juga gitu?

Bagi saya, masyarakat memang tidak salah-salah amat dengan hukuman sosial seperti itu. Kita hidup dalam tatanan sosial budaya dengan seperangkat nilai dan norma yang diyakini dan dijunjung bersama.

Anggota masyarakat yang dianggap menyimpang bisa mendapat hukuman sosial karena dianggap menyalahi peradaban masyarakat. Biasanya, hal ini berkaitan dengan moralitas.

Kita tahu betul bahwa perkara seks bukan sekadar hubungan fisik. Perkara seks melibatkan seperangkat nilai-nilai hidup yang diyakini dari sisi agama dan adat. Masyarakat, memberikan label perempuan murahan karena dianggap sudah melakukan perbuatan zina. Sebuah perbuatan yang dianggap dosa besar.

Dalil dalam agama setahu saya cukup jelas. Lalu, jika dikaitkan dengan budaya ketimuran kita, perbuatan asusila adalah soal martabat dan harga diri beserta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Boleh saja seorang penulis di qureta.com menulis “Vanessa Angel Berhak Jual Diri”, tetapi harus diingat bahwa ia hidup dalam masyarakat yang percaya pada nilai yang bertentangan dengan perbuatannya. Penulis tersebut menyokong argumentasinya dengan mendasarkan pada pendapat John Lock, David Hume, Herbert Spencer, Ayn Rand, Robert Nozick, dan David Boaz.



Kesemua dari mereka adalah pemikir–seberapapun hebatnya–mewakili pandangan barat. Menurut saya, menggunakan pandangan pemikir barat secara taklid buta untuk menghakimi pandangan timur adalah kontradiktif. Nilai-nilai yang mereka yakini tak sama dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat kita. Tak serta pula, pendapat pemikir besar langsung auto-cocok dipakai untuk meneropong persoalan yang sama di tempat berbeda.

Mereka besar, tumbuh, dan hidup dalam budaya yang tidak terlalu mempersoalkan hubungan fisik sebagai bagian dari norma hidup. Yah sama dengan budaya di kota tempat saya tinggal sekarang. Mereka mau melacur dan melakukan seks bebas tidak ada masalah. Nilai dan norma di masyarakat sini tidak mempersoalkan itu.

Yang dipersoalkan tulisan ini adalah ketidakadilan sejak dalam pikiran ketika memperlakukan perempuan dan laki-laki pada satu neraca yang sama. Ketika ada perempuan ketahuan, maka ia dimaki sehina-hinanya dan jidatnya dicap “perempuan murahan”.

Mereka dianggap sebagai perempuan yang tidak lagi memiliki harga diri. Namun, adakah juga laki-laki pernah disebut “laki-laki murahan” dan “tak punya harga diri”? Rasanya amat jarang. Padahal hubungan tak terjadi tanpa transaksi atau hubungan dengan si laki-laki.



Laki-laki seperti menikmati keistimewaan ini tanpa perlu khawatir akan dicap pria murahan, nakal, atau kegatelan. Sialnya, laki-laki justru sering meledek perempuan dengan label-label yang sama. Laki-laki amat jarang dipersalahkan, padahal justru laki-laki yang sering jadi “perusak”.

Namun, laki-laki justru yang paling menuntut jika kelak calon istrinya harus solehah, perawan tanpa pernah tersentuh orang lain. Saya kira laki-laki justru jauh lebih berpotensi dan lebih bebas melakukan hubungan seperti itu dibandingkan perempuan. Mereka tak perlu khawatir hamil dan tak perlu khawatir jika sudah tidak perjaka. Lah ngukurnya tidak semudah menandai keperawanan perempuan, kan.

Padahal, selama ini, perempuan selalu diwanti-wanti sebagai sumber aib dan dosa. Memangnya laki-laki tidak? Perzinahan kan terjadi karena keduanya, bukan perempuannya saja.

Saya mengenal banyak laki-laki yang bangga ketika bercerita telah “merusak” masa depan pacar atau mantannya. Bagi mereka, hal seperti itu dianggap sebuah prestasi. Merusak anak gadis orang lain yang setengah mati dibesarkan oleh kedua orang tuanya itu letak kebanggaannya di mana? Tapi yah itu tadi, mereka tidak perlu khawatir akan mendapat label murahan, nakal, dan semacamnya seperti perempuan.

Malah, laki-laki sering turut memaki perempuan sebagai perempuan murahan. Saya sering mendengarnya dari teman-teman laki-laki saya atau para orang tua laki-laki ketika mereka berbincang soal seks dan perempuan seperti lelucon. Padahal sama sekali tidak lucu.

Dalam falsafah hidup masyarakat Bugis, ada tiga ujung (tellu cappa) yang harus dijaga laki-laki Bugis. Ketiganya adalah ujung lidah, ujung badik, dan ujung kelamin. Saya melihat beberapa teman bangga memperlihatkan dan menjaga ujung badiknya. Namun, ujung kelamin apa sudah dijaga juga?

Tapi yah itu lagi, laki-laki auto-bebas dari label-label yang selalu hanya ditujukan pada perempuan. Padahal, kalau ada istilah perempuan murahan, laki-laki murahan jelas pasti ada. *** mojok.co

 



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama