Dilansir dari Tempo, diantara perwakilan rohaniwan kristen dan katolik yang hadir adalah
Pastor Yohanes Dwi Harsanta, Kepala Paroki Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak
Bercela Kemetiran Yogyakarta. Dia turut datang demi memberi penghormatan
terakhir pada Buya.
"Bagi kami, beliau
sosok pendamai, bukan sekedar asal damai, tapi damai yang bermartabat dan
berkeadilan," kata Yohanes yang juga Wakil Uskup Urusan Kategorial itu.
"Kami menghormati
beliau sebagai sosok yang mengutamakan kebenaran berdasarkan keadilan,"
kata Yohanes.
Yohanes menilai Buya
Syafii sebagai sosok yang senantiasa menganggap perdamaian antar umat manusia
sebagai hal mutlak, merupakan fase tertinggi dari seseorang yang telah matang
spiritualitasnya.
"Dengan sosok yang
konsisten memperjuangkan perdamaian seperti Buya itulah, semua umat beragama
patut merasa kehilangan beliau," kata Yohanes.
Rohaniwan lain yang
melayat Buya Syafii di Masjid Gedhe Kauman adalah pendeta Gomar Gultom selaku
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Gomar mengatakan
duka atas wafatnya Buya Syafii tak hanya dirasakan oleh umat Islam dan
Muhammadiyah, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.
"Kami dan seluruh
bagian bangsa Indonesia turut kehilangan sosok besar seperti Buya," kata
Gomar.
Buya, kata Gomar, tak
semata dipandang sebagai salah satu bapak bangsa.
"Kami meneladani
beliau sebagai negarawan, tokoh republik, yang berkomitmen pada persoalan
soalan kebangsaan," kata Gomar.
Gomar mengatakan, telah
mengusulkan kepada pemerintah mengangkat Buya Syafii sebagai pahlawan bangsa.
"Beliau semasa
hidup telah banyak membuat pencerahan dengan pandangan pandangan kebangsaannya,"
kata Gomar.
Syafii Maarif lahir di
Nagari Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat pada 31 Mei 1935. Dia
bersentuhan dengan Muhammadiyah ketika sejak masih kecil. Dia pernah menimba
ilmu di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat.
Keputusannya menimba
ilmu di Yogyakarta semakin membuat Syafii dekat dengan Muhammadiyah. Dia
menerikan sekolahnya Mualimin Yogyakarta dan kemudian meneruskan ke jenjang
perguruan tinggi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta (Sekarang
bernama Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjadi pelajar
dan mahasiswa dia aktif di lembaga pers majalah Sinar, majalah pelajar
Mualimin. Dia juga pernah menjadi jurnalis hingga menjadi redaktur di Suara
Muhammadiyah. Syafii juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam kala itu.
Buya Syafii juga pernah
menempuh pendidikan S2 di Ohio State University, Amerika Serikat dan S3 dari
University of Chicago, Amerika Serikat.
Sepanjang hayatnya,
bungsu dari 4 bersaudara ini pernah menjabat sebagai menjabat sebagai Ketua
Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (1998-2005), Presiden World Conference on
Religion for Peace (WCRP), dan pendiri Maarif Institute.
Buya Syafii wafat
setelah mendapatkan serangan jantung ketiga pada Jumat pagi tadi, 27 Mei 2022.
Dia meninggal di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Yogyakarta.
Jenazah Syafii Maarif
dikebumikan di Pemakaman Muhammadiyah. Tepatnya di Dusun Donomulyo, Kecamatan
Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo. Jenazah Buya dibawa dari Masjid Kauman sekitar
pukul 15.30 WIB. Dia sebenarnya memiliki hak untuk dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan (TMP) Kalibata karena menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama
dari Presiden Jokowi pada 2015. Akan tetapi Buya Syafii memilih untuk tak
menggunakan haknya itu. *** tempo.co