“Jim Caviezel adalah
aktor Hollywood” yang memerankan “Tuhan Yesus” dalam Film “The Passion Of the
Christ”.Berikut refleksi atas perannya di film itu.
Berikut kesaksian Jim
Caviezel, see\telah memerankan film itu: Sebagai manusia biasa saya menjadi
gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di
Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan
film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam
bisnis pertunjukan di Hollywood. Sehingga habislah seluruh karir saya dalam
dunia perfilman.
Dalam kesenyapan
menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan kepada
sutradara Mel Gibson. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga
sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama
dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan.?”
Mel menggeleng setengah
terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan..
Saya tidak membayangkan
tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya..
Di make-up selama 8 jam
setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang
satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa
menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar
yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting
membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin
seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu..
Saat mereka meletakkan
salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu
akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu
terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya
dengan sekuat tenaga..
Yang terjadi kemudian
setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang
sangat berat itu.
Dan sayapun melolong
kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa,
mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya.
Saat dalam pemulihan
dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin
melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk
melanjutkan film itu.
Saya bekata pada Mel,
"Saya tidak tahu
kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu.
Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat
malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film
ini."
Maka mereka mengganti
salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan,
agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan
salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih
kecil dari aslinya..
Bagian syuting
selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton
dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus..
Saya gemetar menghadapi
adegan itu..
Karena cambuk yang
digunakan itu sungguhan.. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan
setebal 3 cm..
Suatu waktu para
pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang
tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan
ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera
mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.
Tapi bagian paling
sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting
di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus
manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin..
Sementara saya harus
telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu.
Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya
terkena "hypothermia" (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh
tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak
terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi
taruhannya.
Semua tekanan,
tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan
tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan
lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan
saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua
membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia.
Saya sungguh hampir
gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh
dari tempat syuting untuk berdoa..
Hanya untuk berdoa,
berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi
kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak
bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana
menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar
biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya..
Dan peristiwa terakhir
yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas
kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang,
kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan
gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya
terjadi seperti yang diceritakan..
Saya ketakutan
tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada di bukit yang tinggi, saya
adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru
saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit
yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar
sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini).
Dan sayapun tidak
sadarkan diri.
Yang saya tahu kemudian
banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka
mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia
sadar! dia sadar.!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa
selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan
listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).
“Apa yang telah
terjadi.?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah
menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari
situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah
menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari
peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan
semua itu seringkali saya bertanya,
“Tuhan, apakah Engkau
menginginkan film ini dibuat.? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah
Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan.?"
Namun saya terus
berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan.
Selama itu benar, kita
harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita
tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya
bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. "Oh…
itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan
kata-kata.. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat
melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi
sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri."
Itu adalah pengalaman
yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan
Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Namun pengalaman
dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan..
Dan Tuhan sungguh baik,
walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir
saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya
sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran
sejak saya memerankan film ini.
Sejak banyak bergumul
berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam
hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap
juga hal yang sama terjadi pada hidup anda.
(diolah dari berbagai sumber).