Anak-anak di salah satu kampung wilayah Kabupaten Malaka menikmati makanan setelah berpartisipasi aktif dalam kerja bersama gotong royong "hakawak" |
Di dalamnya terdapat
nilai yang luhur, sehingga harus tetap ada dan terus menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Setiap pekerjaan
dilakukan secara bersama-sama tanpa melihat kedudukan seseorang, tetapi lebih
kepada keikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan yang ada di
masyarakat.
Dalam mempertahankan
eksistensinya tentu tidak mudah dan menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk
pemerintah. Gotong royong akan memudar apabila rasa kebersamaan mulai menurun
dan setiap pekerjaan atau kegiatan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan
telah dinilai dengan uang, sehingga, jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk
keuntungan materi.
Di sebagian kecil
masyarakat Indonesia, bentuk kegiatan gotong royong sudah mengalami perubahan
bentuk, yakni diganti dengan uang. Hal tersebut dapat mengakibatkan rasa kebersamaan
semakin menipis dan nilai yang selama ini dijunjung tinggi menjadi tidak ada
artinya lagi.
Gotong royong di
Indonesia yang menunjukkan adanya suatu kebersamaan, tentu tidak dapat
dipisahkan dari kondisi bangsa yang memiliki keanekaragaman. Terjaganya kembali
budaya tradisional dalam satu konteks modern, merupakan suatu keniscayaan agar
suku pribumi dapat bertahan hidup, seringkali dibicarakan dalam istilah yang
lebih luas berupa revitalisasi etnis.
Penemuan atau
penciptaan masa lampau orang Norwegia merupakan salah satu contoh klasik
gerakan revitalisasi bercorak tradisionalis, dalam arti bahwa gerakan-gerakan
itu berupaya menjadikan tradisi tersebut relevan dalam satu konteks yang dalam
dirinya tidak tradisional tetapi modern. Itu merupakan salah satu upaya
membangkitkan kembali warisan masa lalu yang terkikis oleh arus perkembangan
zaman.
Salah satu contoh
proses semacam ini adalah revitalisasi Hindu yang berkelanjutan di Trinidad.
Gerakan revitalisasi ini tentu muncul dari sebuah kegelisahaan akan hilangnya
tradisi dan nilai asli yang dianut oleh masyarakat Hindu di Trinidad. Ini hanya
sebagian kecil contoh kegelisahaan masyarakat terhadap hilangnya nilai asli
budaya dalam komunitasnya.
Indonesia juga tak
luput dari kegelisahaan seperti itu, jika dilihat secara serius perkembangan
budaya, tanpa disadari telah kehilangan banyak budaya asli yang kaya akan nilai
dalam kehidupan masyarakat. Salah satu budaya yang mengafirmasi identitas
kebangsaan indonesia yakni sistem kerja sama yang menjadi ciri khas bangsa ini.
Di Indonesia kerja sama
ini dikenal dengan istilah gotong royong atau saling tolong menolong dan saling
membantu satu sama lain untuk meringankan pekerjaan yang berat. Gotong royong
merupakan bentuk budaya kebersamaan yang memiliki nilai sangat tinggi dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Di sini nilai yang
paling penting adalah sosialitas dan solidaritas antara sesama anggota
masyarakat sebagai bentuk kepeduliaan dan tanggung jawab terhadap kehidupan
bersama dengan orang lain. Namun, tidak dapat di sangkal, kini praktik gotong
royong sebagai bentuk aplikasi praktis dari sosialitas manusia mengalami
degradasi (kemunduran) dari ruang publik kehidupan bermasyarakat.
Dewasa ini,
perkembangan kebisasaan gotong royong mengalami pergeseran terutama dalam hal
pekerjaan bercocok tanam dari pengerahan tenaga kerja diluar rumah tangga
dengan gotong royong, berubah menjadi cara menyewa buruh.
Tradisi ini mulai
mengalami pergeseran sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta modernisai yang merambah kesegala penjuru dunia bahkan hingga
ke desa-desa yang berakibat pada perubahan cara pandang dan pola hidup
masyarakat.
Contohnya, perubahan
praktik gotong royong yang terjadi pada masyarakat Jawa, perkembangan tradisi
gotong royong pada masyarakat Jawa saat ini sangat mengkhawatirkan. Banyak
daerah di Jawa, adat para petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen mereka
dengan buruh tani mulai mencapai batas kemampuan.
Secara amat radikal,
banyak tempat di Jawa telah timbul sistem pengerahan tenaga panen baru, yang
dengan cepat mulai menghapusakan adat panen berdasarkan gotong royong
yang disebut adat bawon, ke sistem tebasan.
Menurut sistem baru
itu, seorang petani pemilik usaha tani menjual sebagian besar padinya
yang sudah menguning kepada seorang pedagang dari luar desa, yang akan
mengusahakan pemotongan padinya. Pedagang sakaligus penebas ini akan datang
pada waktunya dengan buruh pemotong padi sendiri yang juga berasal dari desa
lain, dengan jumlah tidak lebih dari empat atau lima orang.
Perubahan ini juga
sangat dirasakan oleh masyarakat Malaka, NTT. Praktik gotong royong yang
dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan hakawak, kini mengalami pergeseran dari kehidupan mereka.
Kebiasaan pada mulanya
dikenal dengan haklibur (berkumpul)
ini merupakan salah satu tradisi budaya asli masyarakat Malaka. Tradisi ini
merupakan warisan nenek moyang yang telah sekian lama berkembang dalam
kehidupan masyarakat.
Namun, beberapa tahun
terakhir praktik hakawak ini telah
mengalami perubahan. Tradisi yang telah sekian lama menyatu bersama pola hidup
dan tingkah laku masyarakat dengan basis kerja sama yang harmonis atau kerja
sama yang berdasar pada rasa solidaritas, sosialitas dan kekeluargaan tinggi
ini menjadi luntur, bahkan perlahan-lahan menghilang dari kehiduapan
mereka.
Praktik hakawak bersifat suka rela kini berubah
menjadi menyewa buruh dan kadang juga bekerja sendiri. Pada zaman dahulu,
masyarakat melakukan pekerjaan membersihkan lahan perkebunan secara gotong
royong serta bersifat sukarela. Kini, cara kerja sudah berubah, setiap orang
ingin membuka kebun harus memiliki modal yang cukup untuk menyewa tenaga kerja.
Praktik hakawak sebagai kearifan lokal
masyarakat Malaka telah mengalami pergeseran makna dan nilai, berhadapan dengan
berbagai macam faktor yang telah mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jika
dilihat secara kasat mata, praktik hakawak telah memberi
kontribusi yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat
Malaka.
Dalam setiap kegiataan
baik yang bersifat pribadi maupun bersama yang berkaitan dengan kepentingan
umum, hakawak selalu dilakukan
sebagai salah satu cara meringankan pekerjaan yang berat dan lebih dari itu,
menolong sesama yang membutuhkan bantuan.
Menurut adat setempat,
kegiatan ini dijalankan untuk mempererat tali fratenitas (persaudaraan) dan
hubungan kekerabatan di antara mereka. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan
yang berlaku, dimana setiap orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut selalu
membawa berbagai macam materi yang dibutuhkan sesuai dengan status mereka
masing-masng.
Kebiasaan ini
menunjukan relasi kekerabatan yang sangat kuat didasari pada asas saling
membantu, kekeluargaan dan sikap solidaritas di antara mereka. Dalam kegiatan
gotong royong, kerabat-kerabat dan teman dekat yang turut membantu, seringkali
menerima sebagian dari hasil panenan sang pemilik lahan.
Jika melihat dan
meneliti secara serius pola relasi sosial antara warga masyarakat di wilayah
ini, nampak bahwa pola relasi kekerabatan begitu kuat mewarnainya. Kekerabatan
telah menjadi semacam cultural
force (kekuatan budaya) yang berhasil menjalin relasi antar individu
demikian intens melampaui batas-batas dan tembok pemisah yang datang dari
luar.
Namun tak dapat
disangkal, kekayaan nilai budaya asli kini harus berkontak dengan budaya asing,
modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Selain itu,
pengaruh kekuatan kapitalisme global merupakan salah satu faktor pendukung
terkikisnya potensi dan kekuatan witi kikir rema epak.
Perubahan ekonomi
Indonesia dibawah rezim Soeharto memungkinkan masuknya modal asing dan
liberalisasi. Nilai-nilai budaya asing mulai dengan deras masuk dan menjadi
bagian dari hidup masyarakat Indinesia. Kehidupan perekonomian masyarakat
berangsur-angsur berubah dari ekonomi agraris ke industri.
Industri berkembang
maju pada zaman sekarang, tatanan kehidupan lebih banyak didasarkan pada
pertimbangan ekonomi, sehingga bersifat materialistik, maka nilai
kegotongroyongan pada masyarakat semakin memudar. Selain itu, pengaruh
modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan telah mempermudah mobilisasi
manusia sebagai pengemban budaya, ilmu dan teknologi dari dan menuju
tempat-tempat baru.
Pola hidup bermasyarakat
yang ekslusif terpaksa berubah menjadi terbuka dan membaur. Realitas
modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknoligi telah menggeser
tradisi gotong royong yang berakibat pada hilannya kearifan lokal sebagai
kekayaan budaya yang mestinya harus dipertahankan.
Menyadari kenyataan
tersebut, melalui tulisan ini penulis berusaha mengangkat kembali praktik
gotong royong yang dikenal dengan istilah hakawak dalam masyarakat Malaka yang akhir-akhir ini mengalami pergeseran dari kehidupan
masyarakat.
Seperti yang sudah
diutarakan dalam penjelasan terdahulu, realitas praktik gotong royong dalam
masyarakat Malaka merupakan salah satu tradisi masyarakat yang sudah diwariskan
sejak lama. Namun dalam perkembangan selanjutnya, warisan budaya dari nenek
moyang ini telah mengalami pergeseran.
Untuk mememinimalisir
dan menelaah terjadinya kehilangan praktik gotong royong (hakawak) dalam masyarakat Malaka maka diperlukan upaya-upaya
merevitalisasi dengan mewacanakan praktik gotong royong bersama seluruh tokoh
masyarakat, merekontrukusi peran tokoh adat, melakukan sosialisasi hakawak, menciptakan pembangunan
berwawasan lokal, melakukan transformasi praktik hakawak, melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan, dan
membentuk organisasi masyarakat pencinta budaya hakawak.
Upaya-upaya di atas
masih bisa diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat Malaka. Hal ini dapat
dilakukan karena masih banyak peluang untuk upaya merevitalisasi gotong royong.
Peluang tersebut dapat dilihat melalui pola kehidupan keluarga yang masih
melakuakan praktik gotong royong.
Selain itu, dalam
kehidupan masyarakat revitalisasi gotong royong masih memiliki peluang karena
pada umumnya masyarakat Malaka masih bermata pencaharian sebagai petani, sistem
kekerabatan masih sangat kuat, didukung oleh kekuatan atas kekeluargaan dalam
kehidupan masyarakat.
Namun tak dapat disangkal
bahwa upaya-upaya merevitalisasi praktik gotong royong dan peluang yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat menghadapi tantangan besar, antara lain pesatnya
perubahan sosial dan perkembangan pembangunan dalam masyarakat Malaka.
Selain itu, masuknya
pengaruh-pengaruh dari luar yang didukung oleh pesatnya perkembangan
globalisasi dan teknologi informasi yang memperkuat tantangan terhadap upaya
merevitalisasi praktik gotong royong.
di Persimpangan Jalan
Minggu, 29 Mei 2022